Kamis, Maret 28, 2024

Suku Mentawai Kian Terkikis Akibat Moderenisasi

Baca Juga

mimbarumum.co.id – Suku Mentawai semakin terkikis akibat moderenisasi. Suku Mentawai dikenal sebagai produsen seni tato tertua di jagad raya.

Mereka juga dikenal sebagai satu dari sedikit masyarakat pemburu, peramu dan pengumpul tertua di dunia yang masih eksis hingga kini.

Hal tersebutlah yang kemudian hendak disampaikan oleh Rengga Satria lewat pameran foto yang bertajuk “Disrupsi”.

Baca Juga : Pantai Ini, Bak Gadis Tua tak Bersolek

Pameran yang berlangsung di Matalokal Art Space, M Bloc Space menampilkan 20 karya foto yang merepresentasikan kondisi masyarakat Mentawai hari ini.

“Di satu sisi kita gencar mempromosikan budaya sebagai jualan untuk mendatangkan devisa, namun di sisi lain pembangunan infrastruktur juga secara tidak langsung mengikis eksistensi budaya itu sendiri,” ujar Rengga seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Media Indonesia.

Dalam pameran ini, Rengga juga menyoroti upaya pemerintah untuk memberangus kepercayaan masyarakat adat Mentawai, Arat Sabulungan. Sejak Orde Lama, pemerintah telah melarang kepercayaan yang disebut sebagai “agama daun” ini lewat SK No.167/PROMOSI/1954.

“Arat Sabulungan adalah inti yang menjadi poros dari keluhuran budaya Mentawai. Tanpa kita sadari juga, kepercayaan ini menjadi sistem konservasi alami yang selama ribuan tahun melindungi hutan Mentawai. Sehingga hilangnya Arat Sabulungan bukan hanya bisa mengancam budaya Mentawai tetapi juga kelestarian hutan Mentawai,” lanjut Rengga.

Rencananya, pameran ini sendiri akan berlangsung hingga 15 Desember 2019. Selain pameran foto, akan diselenggarakan juga bedah buku foto “Disrupsi” dan diskusi “Why Print is Matter” dengan menghadirkan narasumber para penggiat penerbitan indie yang fokus pada ranah buku foto dan buku seni.

Para penerbit media konvensional dewasa ini memang tengah berjuang agar tidak punah dengan terus merilis produk-produk fisik mereka. Di tengah masa-masa paceklik penerbitan konvensional ini pun muncul kejutan yang justru lahir dari ranah non mainstream. Dengan merk dagang yang terbilang baru, mereka cukup percaya diri untuk terus memproduksi rilisan cetak.

Gilanya lagi, kata Rengga, mereka berani menerbitkan produk-produk yang tidak populer di kalangan masyarakat luas. Sebut saja majalah indie, photo book, art book atau bahkan zine.

Rengga sendiri mengaku senang terhadap apresiasi pengunjung selama acara pembukaan pameran tersebut. Meski begitu, Rengga mengatakan ini hanya awalan, dia mengaku bahwa apa yang disoroti lewat pameran dan buku “Disrupsi” masih secuil dari kompleksnya permasalahan dan budaya Mentawai.

“Sekedar membuka ruang dialektika, terkait posisi masyarakat adat di tengah era modern dan pembangunan. Pameran ini mengajak segala pihak yang peduli dengan hal itu untuk menyusun formula yang tepat untuk menyikapi posisi masyarakat adat,” sebutnya.

Pameran ini juga menuai banyak apresiasi, karena Rengga mengangkat isu yang cukup sensitif, terkait pemberangusan kepercayaan masyarakat adat khususnya Mentawai. Namun juga tidak sedikit pula himbauan diberikan kepada Rengga.

“Banyak apresiasi, namun juga tidak sedikit yang menghimbau saya terkait kontribusi saya dari pameran dan penjualan buku terhadap masyarakat Mentawai,” ungkap Rengga.

Rengga mengaku semua keuntungan yang diperoleh dari buku dan pameran akan sepenuhnya digunakan untuk melakukan riset lanjutan, terkait masyarakat adat dan budaya Mentawai.

“Saat produksi buku ini pun saya memakai kocek sendiri. Agar bisa menjaga independensi saya. Begitupun nantinya, keuntungan buku ini akan saya gunakan untuk melakukan riset lanjutan secara mandiri,” ungkapnya. (dd/rel)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img
Berita Terbaru

42 Siswa-siswi SMAN 1 Lubuk Pakam Lulus SNBP Tahun 2024

mimbarumum.co.id - Sebanyak 42 siswa dan siswi kelas 12 SMA Negeri 1 Lubuk Pakam Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Provinsi...

Baca Artikel lainya