Pagi Medan!
Dari sore kemaren hujan gak berenti. Cucu awak sempat ketakutan mendengar gemuruhnya suara guntur yang mengiringi petir.
Untungnya, suara itu hanya pengantar hujan lebat yang tak kalah membuat ciut nyali. Air bagai ditumpahkan dari langit.
Awak jadi tebayang naseb sodara-sodara awak yang tinggal di pinggiran sunge-sunge yang mengalir di tegah kota kami ni.
Biasanya kalok hujan lebat macam ni, apalagi lama macam sekarang, mereka bisa awak pastikan ketakotan dan bersiap mengungsi atau menyelamatkan peralatan ke tempat lebeh tinggi.
Baca Juga :Â Kesawan dan Pecinan
Ketakotan tu hampir berulang setiap hujan lebat, karena hujan lebat akan membawa aer yang sangat banyak dan tak sanggop ditampung sunge-sunge yang ada hingga sering membanjiri kediaman mereka.
Tapi kini ketakotan sodara-sodara awak tu makin bertambah sejak ada surat dari pemerintah kota untuk membongkar rumah mereka secara mandiri.
Kalok tidak akan dilakukan tindakan oleh pemerintah. Ketakotan digusur dari tanah kelahiran dan hidop sejak puluhan taon itu mengental di hati masyarakat kawasan Sunge Badera, Bura dan Deli
Belum lama ni, sebagian mereka semakin terpurok, puluhan rumah di pinggiran sunge terbakar. Sebelumnya sebagian rumah di pinggiran Sunge Badera sudah diratakan paksa.
Kata beberapa perwakilan orang tu, mereka hanya perlu kejelasan yang transparan dan adil bagi semua pihak yang berada di pinger sunge dalam kota, bukan tebang pileh, atau pileh kasih.
Karena sudah sangat banyak bangunan megah dan permanen di pingger sunge, termasuk perkantoran pemerintah.
Kalok transparan penggunaan lahan pingeran sunge untuk apa dan adil mereka pon bersedia berdialog dan menerima keputusan, sepanjang itu berkeadilan.
Tapi kalo isu penggunaan lahan itu untuk pembangunan yang berorientasi privat, mereka bilang itu tidak adil.
Nah masalah membangun dengan penggusuran paksa, awak ingat penjelasan kawan awak bang Edy Ikhsan, waktu diskusi sama dia tentang pembangunan sebuah kota.
Menurut sejarah yang pernah dipelajarinya sampe Belanda, Akan #LebihManusiawi kalok membangun itu tidak dengan menggusur, tapi menatanya sesuai kultur dan tata nilai. Itu dilakukan Belanda saat membangun Kota Medan.
Karena dengan menggusur akan banyak hal yang muncol. Nilai historis sampai perubahan nilai-nilai sosial, budaya, lingkungan bahkan ekonomi. Apalagi banyak nilai budaya dan historis bernilai lebih di kota ini.
Awak ingat, dulu juga pernah diskusi dengan dewan pembangunan kota New Orleans sebelum diluluhlantakkan badai beberapa waktu lalu.
Mereka berusaha keras mempertahankan tata nilai dan historis kota tanpa dan memperoleh nilai lebih dari pada membangunnya menjadi mal, bangunan tinggi bahkan jalan raya di kawasan kota tuanya.
Hal serupa juga awak pernah tengok di berbagai kota tua di beberapa negara, termasuk di Singapura yang berlahan terbatas.
Jadi kalo awak piker, dari kenyataan di atas pemerintah kota seharusnya hader untuk menjadi wali rakyatnya.
Dia berkewajiban mengelola tata hidup dan budaya kota sekaligus tanpa menyengsarakan sebagian diantaranya dan berpihak pada yang lain apalagi untuk kepentingan sempit. Cocok klen rasa?