Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia memenuhi panggilan suci ke Tanah Haram.
Mereka bertalbiyah, menyambut seruan Allah dengan pakaian ihram, menanggalkan segala simbol kemewahan dan status sosial.
Tanpa berkeluh, bertawaf mengelilingi Ka’bah yang merupakan simbol ketauhidan dan poros semesta kehidupan seorang Muslim. Mereka juga berwukuf di Arafah, tempat puncak keinsafan dan ketundukan total kepada Sang Pencipta.
Namun, sebuah pertanyaan menggantung di udara. Mengapa sekembalinya dari ibadah haji, banyak dari mereka justru kembali tenggelam dalam lumpur maksiat, korupsi, cinta harta dan tahta?
Bukankah haji adalah deklarasi totalitas penghambaan kepada Allah SWT?
Bukankah tawaf adalah pernyataan bahwa hidup ini harus terus berputar mengelilingi satu poros: keridhaan-Nya?
Bukankah ihram mengajarkan kita untuk melepaskan segala keduniaan dan menyadari bahwa semua manusia setara di hadapan-Nya?
Ironisnya, banyak dari yang telah menyandang gelar “haji” justru tak mencerminkan makna agung dari ibadah itu.
Haji menjadi sekadar status sosial, prestise spiritual yang sering dipajang namun tidak dihayati. Bukan pencerahan yang lahir, melainkan rutinitas yang kehilangan ruh.
Dan lebih menyakitkan lagi, ketika momen haji yang sejatinya melukiskan kesatuan umat — dari berbagai bangsa, warna kulit, bahasa dan budaya — tidak bertransformasi menjadi kesadaran kolektif umat untuk bersatu.
Di tengah terik Arafah, umat Islam menyatu. Tapi di luar Arafah, kita tercerai-berai. Persaudaraan yang dititipkan lewat haji, tak mampu menjembatani jurang perpecahan di dunia nyata. Palestina tetap terjajah, dan para pemimpin Muslim masih lebih sibuk dengan urusan kekuasaan ketimbang penderitaan saudaranya.
Seharusnya ibadah haji tidak hanya berhenti sebagai simbol, tapi menjelma sebagai nilai hidup yang terus hidup di tengah umat.
Agaknya menjadi penting menginternalisasi makna-makna haji dimulai sejak sebelum keberangkatan.
Manasik haji hendaknya bukan hanya soal teknis thawaf dan sa’i, tapi juga perenungan ruhani tentang makna penghambaan, kesederhanaan, dan komitmen sosial.
Para pembimbing haji dan institusi keagamaan perlu menanamkan bahwa tujuan akhir haji bukan gelar “haji”, tapi perubahan diri.
Mereka yang pulang dari Tanah Suci harus didorong menjadi agen perubahan di lingkungan sekitarnya: menjadi teladan dalam kejujuran, keadilan, kedermawanan, dan kepedulian pada sesama — bukan hanya tampil dalam pakaian putih dan berlobe pada saat hari raya.
Para pemimpin umat hendaknya menjadikan haji sebagai titik tolak persatuan. Mereka harus benar-benar menghayati tentang nilai kesetaraan dan solidaritas umat. Dengan demikian berbagai persoalan keumatan di belahan dunia manapun dapat terselesaikan, termasuk persoalan Palestina. Tapi jika haji tak lebih dari wisata religius, maka perubahan tak akan pernah datang.
Dan kita semua sebagai bagian dari harus menjaga semangat haji dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan Allah sebagai pusat hidup, tidak silau pada dunia, bersikap adil dan peduli pada sesama.
Karena sesungguhnya haji mengajarkan kita bahwa hidup ini fana, dan yang kekal hanyalah penghambaan.
Haji bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan ruhani menuju keikhlasan, pengabdian dan persatuan.
Selama pesan-pesan itu kita abaikan, maka haji kita tak ubahnya seperti ritual yang kosong — indah di luar, tapi hampa di dalam. Maka, saatnya kita menghidupkan kembali ruh haji, agar umat ini bangkit — bukan hanya secara simbolik, tapi sejatinya.