Dalam beberapa bulan belakangan ini umat Islam di tanah air lagi dihebohkan dengan sebutan Islam moderat.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ketika membuka Annual International Conference on Islamic Studies ke-16 Tahun 2016 di Bandar Lampung misalnya mengatakan, Islam moderat adalah Islam yang tetap menjalankan tauhid, namun dalam praktiknya tetap toleran.
Bahkan, Islam yang moderat pun harus mampu hidup berdampingan secara damai dengan umat lainnya, tidak hanya di Indonesia namun juga belahan dunia. Islam yang moderat mempertahankan ketauhidan, namun tetap toleransi. Karena Indonesia begitu heterogen, beragam suku, agama dan budaya.
Dalam perspektif Barat misalnya hampir seragam. Rabasa, Graham E Fuller dan Ariel Cohen sudah seperti ijma. Muslim moderat, kata Fuller adalah yang menolak literalism dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain.
Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia.
Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya.
Kalangan yang terang-terangan anti Islam juga seolah menganjurkan bahwa Islam moderat itu tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, pro Israel atau netral, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terrorisme.
Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 malah tegas-tegas menyatakan siapapun yang membela syariah tidak dapat dikatakan moderat. (no one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.
Kita harus berhati-hati menerima pemahaman Islam moderat. Sebab pada awal kemunculan Islam, kita tidak pernah mengenal kata moderat.
Kita kawatir istilah moderat yang dikaitkan dengan kata Islam tersebut adalah satu upaya untuk menghilangkan semangat keyakinan kita yang kuat akan kebenaran ajaran Islam yang sesungguhnya. Sekaligus mematahkan semangat kita berjihad menegakkan ajaran Islam, melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat).
Fenomena ke arah yang kita kawatirkan itu sepertinya telah muncul dengan kuatnya desakan terhadap umat Islam untuk bersikap toleransi.
Dalam berbagai kasus misalnya membiarkan mendirikan rumah ibadah non muslim di tengah warga perkampungan yang mayoritas muslim, tidak boleh mempersoalkan jika ada penganut agama lain yang menistakan agama Islam, tidak melarang umat Islam memilih pemimpin dari kalangan non muslim, membiarkan wanita menjadi pemimpin negara, harus menggap agama yang dianut non muslim sama benarnya dengan yang dianut muslim, tidak boleh mencegah kemunkaran misalnya di tempat-tempat maksiat, dan tidak boleh membawa keyakinan agama ketika berhadaan dengan persoalan politik.
Sebagian umat yang mengaku Islam juga sangat sepakat dengan gaya toleransi atau Islam moderat yang salah kafrah tersebut. Tentu ini juga terkait dengan semakin tajamnya pertarungan politik antara mereka yang berjuang untuk Islam dengan mereka yang berjuang untuk kepentingan perut belaka.
Masalah ini tentu saja tidak mudah untuk dihadapi, karena memerlukan kemampuan untuk meyakini dan memberi argumen yang kuat tentang Islam yang sesungguhnya, dan yang lenbih penting lagi adalah mengatakan yang benar (haq) meskipun pahit (kulilhaq walaukana murran).
Kita sepakat dengan gerak Islam yang rahmatan lilalamin (rahmat bagi sekalian alam), Islam yang cinta damai, Islam yang tidak disebarkan dengan kekerasan. Tetapi tentu saja kita tidak sepakat bahwa Islam harus bersikap lemah terhadap kezaliman, penistaan agama, kesewenang-wenangan terhadap hak-hak umat Islam sebagai umat yang mayoritas di negeri ini.
Jika ini sebagai sikap yang dianggap toleran atau Islam moderat, maka kita termasuk umat yang cendrung mengabai ajaran-ajaran Islam itu sendiri.
Untuk menjadi moderat, tidak harus kita meninggalkan nilai-nilai agama ketika kita bermasyarakat dan bernegara. Karena Islam sendiri mengajarkan tentang perhitungan amal baik dan amal buruk, mengajarkan tentang hari pembalasan. Islam yang sesungguhnya adalah taat akan perintah Allah dan Rasulnya.