Secara Istilah, bullying berasal dari kata ‘bully’, yaitu kata yang mengacu pada pengertian adanya ‘ancaman’ yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan terhadap orang lain yang lebih lemah dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut.
Dewasa ini, bullying dalam bentuk kekerasan sering terjadi di kalangan pelajar. Seorang pelajar dikatakan sebagai korban bullying ketika ia diketahui terkena tindakan negatif oleh seorang pelajar atau sekelompok pelajar lain.
Tindakan tersebut termasuk melukai atau membuat korban merasa tidak nyaman baik secara verbal, fisik maupun tindakan lain seperti memasang muka dan melakukan gerakan tubuh yang melecehkan atau mengasingkan korban dari kelompoknya.
Tak mengherankan, saat ini dunia pendidikan kembali digemparkan oleh kasus bullying . Disadari atau tidak, kasus semacam ini kerap kali terjadi di dunia pendidikan yang sampai saat ini belum ada tindakan nyata untuk mencegahnya sehingga kasus bullying berulang kali terjadi setiap tahunnya.
Bahkan lebih miris, hari ini bullying yang terjadi sudah mengarah ke ranah kekerasan fisik.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan. Untuk bullying baik di pendidikan maupun sosial media mencapai 2.473 laporan.
Bahkan Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap disuguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang jarinya harus diamputasi, kemudian siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong sekolah, serta siswa yang ditendang lalu meninggal.
Bullying ini juga kerap terjadi dikalangan pelajar mulai tingkat SD sampai SMA. Yang paling heboh, kasus bullying yang pernah viral dibeberapa tahun lalu yaitu kasus Audrey, siswi SMP Pontianak yang menjadi korban kekerasan bullyng dalam bentuk pengeroyokan oleh 12 orang siswi SMA. (Tribunnews, 10/4/2019). Kasus ini menjadi viral setelah dilakukan sebuah petisi di change.org dengan tagar #JusticeForAudrey yang sudah menjadi trending topik dunia.
Dalam insiden itu, parahnya pelaku pengeroyokan seolah-olah merasa tidak melakukan kesalahan. Bahkan dari video yang tersebar di media, pelaku dengan santainya berpose di kantor polisi mengupload videonya di sosial media. Mereka juga mengaku tidak takut melakukan bullying karena merasa memiliki “bekingan”.
Jika kita melihat perilaku mereka, tentu dada kita akan merasa sesak. Mengapa ada generasi yang berbuat keji seperti itu? Sudah tak punya malukah mereka? Atau, sudah hilangkah keimanan dalam dada mereka? Namun perlu kita ketahui bersama, sebenarnya mereka semua adalah korban dari kesalahan penerapan sistem saat ini. Mengapa demikian?
Pertama, pendidikan yang sekuler (memisahkan agama dari dunia pendidikan) menjadi akar persoalan yang mempengaruhi perilaku siswa yang semakin sulit diatur. Siswa yang tidak diberikan pendidikan yang tidak bersinergi dengan pendidikan agama menjadi hasil dari sekularisasi di dunia pendidikan. Alhasil, output yang dihasilkan dari pendidikan ini adalah siswa yang jauh dari pemahaman agama, dan terkikis akidahnya, bahkan berani melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama.
Kedua, media/tontonan saat ini juga cenderung sekuler bahkan tanpa filter. Anak bebas mengakses tontonan yang sangat tidak mendidik seperti film tawuran, pacaran, seks bebas, dll. Tentu semacam ini akan menjadi faktor dari perbuatan asusila yang menyerang generasi bangsa saat ini. Pada akhirnya tontonan seperti itu mudah ditiru dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Ketiga, tidak adanya ketakwaan individu, masyarakat dan negara. Penerapan sistem sekuler-liberal di segala bidangnya akan melahirkan generasi yang sekuler dan liberal. Mereka diberi kebebasan dalam menjalani kehidupan yang mereka inginkan. Tentu, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan tanpa batas dalam segala aspek. Termasuk aspek bertingkah laku. Ditambah lagi dengan adanya payung hukum HAM, maka akan menjadikan generasi berbuat semaunya bahkan berbuat kekerasan sekalipun dengan dalih Hak Asasinya.
Baca Juga : Terapeutik Bullying pada Remaja
Maka, jangan heran jika potret generasi saat ini jauh dari harapan. Generasi yang seharusnya menjadi tonggak peradaban, kini berubah menjadi generasi brutal tanpa arah. Generasi diserang dari berbagai arah dengan suntikan paham sekularisme. Dan problem ini bukan hanya terjadi di Indonesia melainkan sudah menjadi problem akut dunia.
Islam memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya tugas orang tua maupun guru, akan tetapi juga butuh peran negara dan masyarakat. Negara memiliki andil yang sangat besar dalam menyaring segala tontonan di media apapun yang berpengaruh besar terhadap pembentukan generasi. Tak hanya sekedar memfilter media, namun negara juga punya tanggung jawab besar untuk melindungi generasi dari segala ancaman yang akan terjadi.
Begitupun masyarakat, mereka juga memiliki andil yang besar untuk menasehati, mengajak pada kebaikan, dan mencegah tindakan yang buruk. Sebab, jika hanya orangtua yang berperan dalam menjaga generasi muda, sedangkan lingkungan masyarakat dan negaranya tidak mendukung, maka tidak menutup kemungkinan anak akan terkontaminasi dengan pengaruh buruk dari lingkungan sekitar.
Oleh sebab itu, peran orangtua sangat penting dalam membentuk generasi yang baik. Dukungan sistem kehidupan yang diterapkan negara dan kontrol masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang kondusif juga sangat diperlukan. Tentu, sistem kehidupan yang berasal dari Al-Khaliq (Sang Pencipta) yang akan membawa kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam.
Sedangkan penerapan aturan Islam secara sistematis secara sempurna akan melahirkan individu yang bertakwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup yang jelas visioner yang akan menjadi tonggak bagi peradaban bangsa.
Generasi yang diliputi rasa iman dan takwa tidak akan berani melakukan tindakan amoral dan keji karena di dalam hati mereka sudah tertanam kebaikan, dan diliputi rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Penulis : Nurul Hariani
(Mahasiswi UINSU Medan dan Aktivis Muslimah dakwah comunity)