Beranda blog Halaman 2603

Awas Telat Sadar

0

Menarik ketika membaca sebuah postingan teman, pada suatu malam. Sembari menyandarkan diri di dipan empuk yang sedari awal memang sudah menjanjikan ku relaksasi dan sebuah mimpi indah, aku membaca postingan itu dengan seksama. Tentu permaisuri ku protes. Setelah seharian bekerja di kantor dan pulang agak larut malam, aku tak lantas mengajaknya bercengkerama. Malahan serius dengan gadget yang aku pegang. Disitu, istriku merasa aku dua-kan. Sejenak aku sapa dia dan belai kepalanya untuk mengakomodir protesnya. Lalu, mataku kembali ke segenggam benda elektronik di depanku.

Postingan berupa tulisan itu, bagiku sangat menarik dan menggelitik. Teman itu menceritakan sejarah tentang kekalahan sebuah imperium besar yang menguasai sepertiga bumi selama lebih tiga abad. Negara adidaya itu takluk hanya oleh kekuatan kecil yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan.

Negara Islam dibawah kekuasaan Bani Abbasiyah itu berhasil dihancurkan pada sekitar tahun 1258 oleh bangsa Mongol yang nomaden. Selain memprihatinkan, peristiwa itu juga menyisakan duka yang sangat mendalam dan persoalan kemanusiaan yang luar biasa.

Selama 40 hari non stop, katanya, kaum muslimin dibantai. Kota dibakar, wanita diperkosa dan dibunuh, bayi disembelih, jutaan tengkorak kaum muslimin ditumpuk menjadi bangunan pyramid. Tanah memerah dengan genangan darah. Sementara Sungai Tigris menghitam akibat tinta dan ribuan kitab di perpustakaan Bait al Hikmah dibuang ke dalamnya.
***

Yang besar dibantai yang kecil, itu memang sangat mungkin. Yang mayoritas dibantai minoritas juga bukan tidak mungkin. Hancurnya Negara Islam, seperti yang diceritakan di atas itu bisa terjadi karena memang pemimpin dan umat ketika itu menganggap remeh bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan. Mereka baru tersentak dan tersadar, ketika satu persatu wilayah Negara itu telah hancur.

Saya yakin, teman yang mempostingkan tulisan itu tidak hanya sekadar menyampaikan rasa keprihatinannya atas kondisi yang dialami sebuah Negara besar, bisa dikalahkan hanya oleh bangsa kecil yang kekuasaannya ketika itu sangat terbatas. Tetapi dia juga bermaksud mengingatkan siapa saja yang membaca postingannya agar tetap sadar. Jangan sampai terlambat baru menyadari atau seperti kata pepatah “nasi sudah menjadi bubur” dan kata seorang bijak “penyesalan itu datangnya belakangan”.

Teman tadi dalam tulisannya juga mengajak kita mengingat-ingat kejadian pada tahun-tahun lalu, ketika untuk pertama kalinya simbol “Naga Merah” muncul dalam logo hari ulang tahun (HUT) Propinsi DKI Jakarta. Lalu, dia juga menyandingkan dengan fenomena betapa massifnya baru-baru ini penggunaan logo “Palu Arit” di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Benarkah ini sebuah kebetulan, dua logo yang berasal dari satu ideologi yang sama (komunis) muncul secara beriringan di negeri ini?

Dalam perang-perang klasik, menancapkan panji-panji (simbol) di pusat-pusat kerajaan lawan, itu bertujuan untuk memberitahukan bahwa pemilik simbol telah mampu melakukan penaklukan atas wilayah tersebut. Itu juga makanya paska bentrok OKP di Kota Medan beberapa waktu lalu, aparat kepolisian segera melakukan pembersihan simbol-simbol OKP di sejumlah tempat karena keberadaan simbol-simbol itu seakan melegalisasi “kekuasaan” OKP di daerah tertentu. Ini dianggap bisa memicu konflik susulan karena ada upaya saling klaim.

Tindakan kepolisian, meski ketegasannya itu belum menunjukkan kesungguhan penuh tetapi tentunya yang melatarbelakangi tindakan pembersihan pamflet, posko dan coretan-coretan cat itu karena menyadari bahwa simbol-simbol itu memiliki makna tertentu.

Dan memang, manusia itu dikenal sebagai makhluk simbol, yakni seringkali mengasosiasikan dirinya dengan simbol-simbol tertentu. Jadi, simbol-simbol itu sesungguhnya memang memiliki makna dan perhatian khusus dari manusia. Sehingga keliru kalau dikatakan bahwa pemakaian logo “Palu Arit” yang gujug-gujug (tiba-tiba) ramai itu dianggap sesuatu yang sama sekali tidak bermakna apa-apa.

Berbanding terbalik dengan apa yang justru dialami simbol-simbol Islam di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Banyak simbol-simbol Islam yang dipermaslahkan kehadirannya. Wanita muslim menggunakan hijab (pakaian panjang dan berkerudung lebar sesuai syar’i) justru dipersoalkan. Ketika pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), misalnya mewajibkan berbusana muslim/muslimah, banyak yang memprotesnya.

Tragisnya, ketika seseorang yang menggunakan cadar atau gamis, justru dicurigai sebagai kelompok teroris atau sempalannya yang harus diwaspadai. Demikian juga seorang pria berjenggot dan menggunakan celana di atas mata kaki juga mendapat perlakuan aneh. Ada juga seorang pemuda yang mengenakan kaos oblong bertuliskan kalimat tauhid “Lailahaillallah” yang berarti sebuah bentuk pengakuan atas keimanannya kepada Tuhan Yang Esa, malahan di tangkap.

Masih banyak lagi perlakuan buruk yang dialami siapa saja ketika ingin menunjukkan simbol-simbol Islam dalam kehidupannya. Seakan itu haram. Akhirnya mereka dihadapkan pada dua pilihan, konsisten dengan simbol yang sangat dia hormati namun harus rela termarjinalkan di lingkungan sekitarnya atau harus mengikuti arus dengan menanggalkan simbol-simbol itu untuk tetap bisa memiliki bargaining di tengah-tengah lingkungan.

Ironi memang. Mayoritas justru terasing di negaranya sendiri. Sementara minoritas bisa bebas mengekspresikan nilai-nilai yang mereka yakini.

Mari kita ingat. Tak sampai setahun sejak simbol “Naga Merah” muncul, banyak masyarakat pribumi di Jakarta yang justru terusir dari tempat tinggalnya. Ada ratusan kasus penggusuran di ibu kota. Proyek reklamasi dan demi penataan kota yang lebih baik menjadi salah satu senjata pengusiran. Pada sisi lain, mereka yang jumlahnya lebih kecil itu justru terus melebarkan basis koloni dan menguatkan pondasi ekonominya.

Yang membuat kita seharusnya risih adalah ketika kita sibuk mengirim ribuan tenaga kerja ke luar negeri karena kesempatan kerja di dalam negeri yang sangat terbatas, pada saat yang bersamaan justru masuk ribuan tenaga kerja asal Cina. Mereka bukanlah pekerja professional dengan kemampuan tertentu, tetapi mereka hanyalah sebatas pekerja non formal (buruh kasar) yang kemampuan bekerjanya (baca : etos) belum tentu lebih baik dari tenaga kerja yang ada di republik ini.

Tidak mungkinkah di antara ribuan pekerja itu ada disusupkan sejumlah orang yang bertugas untuk melakukan infiltrasi? Ingatkah kita tentang kasus 5 orang pekerja dari Cina yang melakukan penyusupan dan berhasil menggali tanah di kawasan pangkalan udara militer Halim Perdana Kusuma? Benarkah itu hanya sebatas persoalan remeh temeh atau administrasi keimigrasian belaka?

Memang wajar jika muncul kecurigaan. Terlebih setelah terkuaknya kasus Lion Air yang menurunkan penumpang asal Singapura, bukannya ke terminal kedatangan luar negeri tetapi justru ke terminal domestik sehingga penumpang yang ada lolos dari pengecekan pihak keimigrasian. Teman tadi dalam postingannya mengajak pembaca untuk mengenali siapa pemiliki Lion Air dan apa posisinya di dalam lingkungan Istana Merdeka.
***

Fakta-fakta itu seharusnya sudah bisa menyentakkan kesadaran kita dari lamunan dan khayalan atau bahkan dari tidur nyenyak. Tapi ya itu, kata kawan tadi, penyakit kita adalah hanya kaget saja sesaat setelah itu “bobok” lagi. Umat ini juga banyak yang mengidap penyakit lupa. Sering lupa bahwa serigala itu kerap memakai jaket berbulu domba.

Sebenarnya tak berlebihan jika ada sebagian pihak yang mewanti-wanti tentang maraknya investasi Cina yang dibarengi dengan masuknya ribuan tenaga kerjanya di dalam negeri, bisa jadi adalah bagian dari aktivitas susup menyusup.

Apalagi memang sekarang ini orang luar gampang sekali menyusup karena memang ada celah sangat besar di sana. Lihat saja, Mendagri sudah sangat longgar mengeluarkan kebijakan, untuk pembuatan e-KTP tidak perlu ada pengantar dari RT/RW setempat. Alasannya untuk mengejar target segera semua rakyat Indonesia memiliki data kependudukan elektronik.

Bukankah ini berbahaya. Seorang RT/RW yang menjadi unit paling kecil dalam sistem keamanan lingkungan (Siskamling) bakalan tidak akan lagi bisa sepenuhnya mengenal warga yang ada di lingkungannya. Kebijakan yang pasti akan memudahkan siapa saja untuk mengantongi identitas sebagai warga Negara.

Kecemasan seperti apa yang terjadi dalam sebuah film Trojan War mudah-mudahan tidak terjadi di negeri tercinta ini. Maraknya investasi dan masuknya buruh asing itu semoga bukan meniru strategi perang dalam film itu. Ketika kita sudah lengah dan terpesona lalu jumlah mereka pun sudah membanyak, selanjutnya ribuan pasukan naga itu menyerang pertiwi. Semoga itu bukan bagian dari strategi. Dan jika pun memang iya, maka seharusnya kita sudah siaga membenahi posisi berdiri, jangan telat sadar. Karena penyesalan pasti datang belakangan.

Perang Proxy

0

Peringatan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tentang Proxy War (perang proksi) tidak boleh diabaikan begitu saja. Seorang panglima perang mengatakan hal itu, tentunya berdasarkan data dan fakta yang nyata, bukan sekadar bicara belaka.

Proksi war adalah perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Musuh tidak lagi menggunakan kekuatan militer untuk melumpuhkan negeri ini, tetapi cukup dengan menanamkan ide-ide tertentu yang akan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa.

Sesungguhnya perang proksi ini sudah pernah terjadi pada  sejak hampir seratus tahun lalu. Dimana ketika itu, Barat menyadari bahwa perang fisik tidak akan pernah mampu mengalahkan kekuatan Islam.  William Ewart Gladstone (1809-1898), mantan PM Inggris mengatakan: “Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasasinya selama di dalam dada pemuda-pemuda Islam bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka. Minuman keras dan musik lebih menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam. Oleh karena itu tanamkanlah ke dalam hati mereka rasa cinta terhadap materi dan seks.”

Ini adalah bentuk perang proksi yang memang mulai diterapkan para kapitalis. Dan mereka berhasil mencapai kemenangan itu. Kejayaan peradaban Islam terhenti berbarengan dengan bubarnya Daulah Islamiyah di Turki.  Umat Islam ketika itu tidak lagi menjadikan Islam sebagai pedoman hidup. Islam dibatasi hanya pada ranah ibadah ritual semata. Penganutnya hanya sibuk menjalankan ibadah mahdhoh, yakni hubungannya kepada Sang Pencipta. Padahal, Islam tidak hanya mengatur itu. Islam adalah peratuan hidup yang juga mengajarkan tentang ekonomi, politik, hubungan manusia dengan manusia lainnya juga hubungan manusia dengan alam.

Ketika prinsip Islam itu tercerabut dari hati umatnya, disanalah titik lemah itu berada. Umat Islam tidak lagi menganggap sesama muslim sebagai saudara.Mereka sudah terkotak-kotak dengan semangat-semangat primordial, semangat ke-suku-an, semangat ke-daerah-an atau ke-wilayah-an, dan semangat senasib sepenanggungan. Bukan lagi semangat ideologi Islam.

Barat akhirnya dengan mudah menaklukkan Islam, lalu membagi-bagi negeri-negeri muslim itu sebagai daerah jarahan. Semua negeri-negeri muslim tunduk di ketiak negara kapitalis. Kondisi ini, hingga hari ini masih terjadi, meskipun secara dejure, negara-negara itu sudah merdeka namun secara defakto-nya mereka belum berdaulat secara penuh. Jikapun tidak seluruhnya, namun banyak kebijakan-kebijakan dari para penguasa negeri-negeri Islam yang kini bercera-berai itu selalu mendapat intervensi asing.

***
Kembali ke persoalan kekhawatiran Panglima TNI tentang perang proksi ini, maka itu sebuah kewajaran. Dan memang faktanya, Daulah Islam yang begitu hebatnya ketika itu saja akhirnya bisa hancur.

Peperangan budaya yang disebutkan Panglima TNI, faktanya memang sudah massif terjadi di negeri ini. Rakyat negeri ini lebih mengidolakan artis-artis barat yang berperilaku jauh dari adat ketimuran. Berpakaian seksi dan umbar aurat menjadi sebuah trend yang digemari. Pesta minuman keras, pesta kencan, dan clubbing,  menjadi tradisi baru di negeri ini. Tak gaul rasanya, jika belum pernah masuk ke dalam ritual itu. Teranyar adalah “pemaksaan” perkawinan sejenis masuk dalam legislasi negeri ini. Perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sudah terang-terangan diperkenalkan kepada generasi bangsa. Perilaku yang nyata-nyata menyimpang norma adat dan agama itu, justru sudah ada yang membelanya. Ironinya, pembelaan itu justru datang dari orang-orang yang dianggap faham agama.

Infiltrasi asing melalui ekonomi yang juga dikhawatirkan Panglima TNI itu, justru keberadaanya semakin menggurita. Pemerintah malahan mengajak asing untuk beramai-ramai mengelola kekayaan alam negeri ini. Berapa banyak sudah tambang emas, tambang minyak, tambang batubara, dan tambang mineral lainnya yang  dikuasai asing.

Ketika rakyat negeri ini sibuk dengan aktifitas yang tidak produktif, ketika generasi bangsa ini fikirannya rusak karena “bius kenikmatan” seks dan narkoba, ketika rakyat negeri ini larut dengan kehidupan yang hanya mementingkan pemuasan nafsu hewan-nya, ketika rakyat negeri ini miskin karena tidak ada lagi kekayaan alam yang bisa dikelola untuk dinikmati, maka pada saat itulah negeri ini hilang dari peta peradaban dunia.

Orang-orang asing dengan sistem kapitalismenya itu akan menjadi tuan di negeri ini. Kita akan menjadi jongos untuk memuaskan keinginan mereka. Lalu, tidakkah kita menyadari ancaman ini?

***
Ketika rakyat negeri ini “saling memukul”, itu juga menjadi bagian dari perang proksi. Konflik atas nama ke-suku-an dan ke-daerah-an muncul. Juga konflik atas nama agama terus mengemuka. Ironinya, konflik sesama Islam pun terjadi hanya karena perbedaan pendapat terhadap perkara-perkara khilafiyah.Terbaru adalah apa yang menjadi pernyataan Banser NU belum lama ini . Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor H Yaqut Cholil Qoumas menyerukan anggotanya untuk menangkap  dan mengamankan siapa saja  yang menyuarakan penegakan  syariat Islam secara kaffah. Bukankah ini bisa memicu konflik sesama muslim?

Jika ada perbedaan pandangan terkait itu, semestinya dilakukan diskusi untuk mencari titik temu dan titik benarnya. Bukan langsung menghakimi pihak lain yang dianggap berseberangan pandangan. Bukankah mereka juga selalu melontarkan tagline Islam yang damai?

Tentu ini adalah bagian dari perang proksi itu. Musuh tidak perlu bersusah payah memukul dan terciprat darah untuk melemahkan perjuangan umat Islam, cukup sesama muslim itu saja diperadukan.

Seandainya keberanian Banser itu disampaikan kepada siapa saja yang menyakiti saudaranya sesama muslim, alangkah itu sangat bijaknya. Banyak saudara kita yang menjadi korban kekejaman asing. Malah, ketika kini Islam selalu diidentikkan dengan teroris, mungkin itu lebih tepat untuk kita sikapi. Jikapun memang ada fakta, sejumlah saudara kita melakukan aksi kekerasan dan melakukan tindak pidana dalam memperjuangkan apa yang diyakininya, maka seyogyanya kita nasihati untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar. Wallahu’alam.