Pagi Medan!
Agak terasa penat awak pagi ini, mungkin karena kemaren awak terlalu lama mengawani istri antri dan menunggu untuk sebuah urusan.
Aneh juga awak rasa, penat dan letihnya menunggu dan mengantri ternyata lebeh dari bekerja keras baik itu menulis maupon menyangkol. Bosan dan kesal menguras tenaga lahir batin. Apalagi melihat ada yang berlaku tidak sesuai dalam antrian.
Cak laaa klen piker, kalo awak kerja menulis ato nyangkol, tenaga dan pikiran yang terkuras. Memang energinya banyak, namun dengan cepat bisa dipulihkan dengan makan dan minum pengganti tenaga yang terkuras tu. Yaaa kaaan? Sementara pengganti energi akibat kesal dan bosan tak tau awak apa laa itu
Awak jadi yaken kalo menunggu dan antri bisa memakan lebeh dari sekadar tenaga fisik, tenaga batin juga bisa terkuras. Selain bisa tertekan melihat suasana yang sama selama antri atau menunggu, secara psikologis bisa muncul ego berlebihan bagi yang merasa dirinya lebeh dari orang sekelilingnya dan nekat membuat terobosan sesuai kemampuannya.
Gak caya klen, coba laaa mengantri panjang untuk sesuatu yang klen butuhkan, klen bisa jadi akan melihat ada beberapa orang yang kasak kusuk untuk bisa lebeh cepat dari orang lain di sana, apalagi merasa punya pengaruh, jabatan bahkan uang yang belakangan dianggap bisa membeli dua hal sebelumnya. (Maaf ya kalo gak sengaja awak sempat juga terpancing macam tu, tapi awak berusaha untuk kembali ke tata nilai manusia sejatinya)
Mungkin untuk menghindari hal itu, seperti pernah awak baca2, sebuah negara maju lebih merasa penting pendidikan moral alias budi pekerti yang ada dalam pertimbangan akal serta nurani dari pada kapandaian artifisial yang ada dalam pikiran. (Ini pelajaran penting yang awak pandang cocok untuk awak dan keturunan awak laa.)
Awak tidak heran saat melihat kawan awak yang besar dan belajar di negeri tadi, bangga saat anaknya bisa mengerti dan mengalah pada sebuah antrian rumah saket karena melihat kondisi pasien yang antri.
Tapi dia suruh anaknya tegas saat ada orang merebot antrian Carousel (cakap kitanya di Medan, Kuda pusing) di sebuah arena bermain.
Bahkan dia tidak pernah marah apalagi sampai ngamuk saat nilai rapot anaknya tidak sampai peringkat ranking teratas. Tapi akan menegur tegas anaknya saat memaksakan kehendak pribadinya kepada kawan bermainnya.
Iri laaa awak melihat kenyataan itu. Jadi tepiker awak, ternyata cerdas itu lebeh paten ketimbang pande.
Nah karena itu, awak terotak siket, untung gak sampe kram otak pula, kenapa laaa perencana dan pengelola pendidikan tempat kawan awak itu besar bisa? Sementara di negeri awak yang terkenal ramah dan berakal budi ini, lebeh mementingkan pemeringkatan angka sejak dini. Sehingga tata nilai pon bergeser dan mempengaruhi hampir semua sendi kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan budaya bangsa.
Awak banyak belajar hal2 unik seputar peralihan tata nilai itu di musim2 politik negeri. Karena masyarakat negeri masih memandang patron dari atas, awak tengok mulai dari strata teratas anak negeri, angka2 menjadi tolok ukur untuk hampir semua hal. Dengan sejumlah uang kuasa dan suara bisa dikuasai.
Saat ini, hanya orang bodoh laaa yang tidak bisa ikot dalam sistim seperti itu, akan hidop susah, tertindas dan miskeen.
Jadi jangan heran kalo ada yang sangat egois saat merasa dirinya punya angka2 dan peringkat2 tertinggi dalam strata apapun, bahkan tidak ada rasa malu saat secara itongan umum sudah gagal melaksanakan tugas yang diamanahkan kepadanya.
Jangankan untuk mundor, mereka bahkan semakin bersemangat untuk membuktikan uang dan kuasa yang mereka punya paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Tapi, biar laaaa awak dianggap bodo. Awak akan tetap berusaha mencari dan berpegang akan tata nilai yang murni secara akal nurani untuk BISA LEBEH MANUSIAWI. Aamiin ya Allah ya rabbal’alamin. Cocok klen rasa?