mimbarumum.co.id – Pukat Harimau (trawl) yang sudah dilarang beroperasi 2018 di lepas pantai timur Sumatera Utara oleh Menteri Kelautan –ketika itu– Susi Pujiastuti, dewasa ini benar-benar masih beroperasi dan bahkan lebih ganas, sehingga menguras sumber hayati laut dangkal, dan pada gilirannya memiskinkan kaum nelayan tradisional.
Kondisi itu disampaikan salah seorang nelayan kecil dan tradisional di Pantailabu, Deliserdang, Sabtu (7/8/2021).
Buyung, 48, ayah dari 4 anak ini tidak melaut karena “bulan lagi terang” sehingga sulit dapat ikan. Selain itu, trawl sudah lebih dulu mencengkeram hampir seluruh sumber kekayaan laut di lepas pantai Pantailabu, Selat Malaka.
Trawl, atau yang lebih akrab dengan sebutan pukat harimau, merupakan kapal dengan jaring besar dan panjang untuk menangkap ikan. Dioperasikan secara vertikal menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat di sebelah bawahnya. Dengan demikian, pukat membentuk semacam dinding jaring di dalam air yang akan melingkari kumpulan ikan dan mencegahnya melarikan diri. Ada bermacam jenis pukat. dan jaring ini dioperasikan baik dengan menggunakan kapal ataupun dari darat (pantai).
Pukat harimau atau trawl, salah satunya, semacam pukat kantong yang dioperasikan dengan cara ditarik pada jarak yang panjang, untuk menangkap ikan-ikan yang berada pada daerah yang dilewati.
Pukat ini ada yang dioperasikan di tengah-tengah kolom air (midwater trawl),untuk menangkap ikan-ikan pelagis, dan ada pula yang dioperasikan di dasar perairan (bottom trawl).
Pukat harimau banyak mengundang protes kaum pecinta lingkungan maupun nelayan-nelayan lain, karena sifatnya merusak.
Terutama yang dioperasikan di dasar laut. Pukat ini merusak terumbu karang, menimbulkan kekeruhan di dasar perairan, dan menangkap ikan-ikan atau hewan-hewan bukan target (bycatch).
Tangkapan sampingan ini pada akhirnya dibuang, sehingga menimbulkan masalah lingkungan baru.
Pengurasan sumber daya laut itulah yang menyebabkan nelayan kecil dengan memakai perahu motor berkekuatan kecil kehilangan tangkapan ikan.
Buyung, nelayan Pantailabu hanya memiliki perahu dengan kekuatan mesin 21 PK. Dia dan juga tujuh rekannya sesama nelayan Pantailabu, memakai jaring (bukan pukat) yang ditebar di laut berkedalaman kurang-lebih 20 meter.
Perahu yang dioperasikannya sendirian itu, melaut sekitar Pukul 03.00 dinihari dan baru kembali ke pantai menjelang tengah hari.
Selama 9 – 10 jam di laut, dalam keadaan normal dan bila lagi “bernasib baik” dapatlah ia jaring lebih-kurang 50 kg ikan gembung, dencis (sarden keci), selar, merah, udang, dan kepiting.
Perahu senilai lebih-kurang Rp14 juta beserta perlengkapannya itu menghabiskan 4 – 6 liter solar, dan dengan hasil kotor Rp400 ribu hingga Rp500 ribu bisalah dapurnya “berasap” alias lepas-makan.
Pukat harimau yang ganas telah menguras semua sumber daya laut yang dilewatinya di lepas pantai Belawan, Percut, Pantailabu, Telukmengkudu. Ini yang menyebabkan Buyung dan rekan-rekan senasibnya “gigit jari” dan tak tahu lagi mau mengadukan nasibnya kemana.(B-024)
Editor : Jafar Sidik