OLEH : GURGUR MANURUNG*
UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan bahwa salah satu sumber dana desa bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Anggaran Dana Desa tahun 2021 sebesar Rp 72 triliun.
Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Kejaksaan dan Kepolisian ditugaskan pemerintahan Jokowi untuk mengawasi agar dana desa tepat sasaran. Bagaimana jika kejaksaan dan kepolisian bermain proyek dengan dana desa?
Istilah pengawasan dari APH inilah rawan penyalahgunaan wewenang sehingga tujuan dana desa tidak tepat sasaran.
Di Kabupaten Samosir ada kepala desa mengeluh karena desa membeli lampu taman padahal lampu taman itu tidak menjadi kebutuhan prioritas desa tetapi karena lampu taman itu diduga milik oknum jaksa yang menggunakan distributor pihak ketiga.
Menurut pengakuan seorang kepala desa pembelian lampu taman itu tidak berdasarkan musyawarah desa. Mekanisme penggunaan dana desa itu jelas. Harga lampu itu pun melambung yaitu Rp 20 juta. Lampu itu sangat mahal sekali. Jika satu saja lampu itu tiap desa maka uang desa yang habis adalah jumlah desa di Kabupaten Samosir sebanyak 128. Diperkirakan 128 desa dikali Rp 20 juta maka dana desa di Samosir akan habis Rp 2.560.000.000.
Demikian juga program Bimtek yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang narasumbernya adalah para jaksa dari Samosir yang hampir tiap tahun dikerjakan. Bimtek itu adalah sosialisasi penyadaran hukum yang dilaksanakan oleh kejaksaan dan beban membeli spanduk dibebankan ke desa dan peserta dari desa dengan biaya Rp 5 juta.
Peserta tiap desa sebanyak 2 orang dengan demikian dana desa yang habis untuk Bimtek adalah Rp 10 juta rupiah. Jika tiap desa memungut dana Desa untuk Bimtek Rp 10 juta rupiah maka dana desa kabupaten Samosir habis 128 desa dikali Rp 10 juta adalah Rp 1.280.000.000.
Seorang kepala desa di Samosir mengakui bahwa desanya menggelontorkan dana Bimtek tahun 2021 sebanyak Rp 20 juta. Lampu taman Rp 60 juta rupiah dan penyuluhan hukum ke desa sebanyak Rp 5 juta.
Perlu diteliti lebih dalam kondisi tiap desa di Samosir?. Bisa dibayangkan jika 1 desa saja menggelontorkan dana sebanyak Rp 85 juta tiap desa?
Tulisan ini adalah informasi awal bagi pihak terkait untuk menelusuri dugaan penggunaan dana desa ini terkait dengan kejaksaan di Samosir. Apakah kegiatan ini oknum atau kelembagaan perlu juga diteliti secara cermat dan mendalam. Kegiatan Bimtek diberikan kepada pihak ketiga dan juga lampu taman. Dalam konteks itulah maka saya sebut bersifat dugaan. Bimtek yang dikelola pihak ketiga itu narasumbernya adalah jaksa di Samosir.
Isu ini teramat penting karena terkesan lampu taman itu dibeli kepada desa karena isu milik jaksa. Isu ini harus diluruskan untuk menghindari isu yang tidak benar. Nama baik jaksa sebagai APH harus kita jaga agar tidak terjadi krisis kepercayaan ke APH. Sulit membayangkan jika masyarakat tidak percaya dengan APH. Jaksa Pengawas dan Komisi Kejaksaan harus secara serius menagani isu ini karena sangat mencederai demokrasi yang kita bangun.
Pertanyaan yang amat serius untuk dilontarkan adalah apakah kejaksaan memiliki dana dari negara untuk Bimbingan Teknis (Bimtek) prioritas dana desa dalam mencapai SDGs? Apakah dana Bimtek tersedia di kejaksaan atau memang dana itu dari desa?
Dalam kondisi ini rentan ada satu kegiatan yang sumber dananya dua yaitu dari kejaksaan dan dari dana desa?
Dengan kata lain potensi penyalahgunaan anggaran sangat tinggi. Sejatinya kejaksaan telah memiliki anggaran untuk Bimtek desa. Jika tidak ada tidak perlu menggunakan dana desa. Kesan yang kita tangkap adalah kejaksaan menggunakan pihak ketiga dengan alasan Bimtek dan penyuluhan hukum untuk memperkaya oknum jaksa.
Kesan kuat adalah dana desa yang menggiurkan itu dibuat program untuk menambah pundi pundi orang tertentu. Karena itulah dugaan ini harus dituntaskan agar tidak menjadi polemik.
Dari kasus yang bersifat dugaan ini terkesan bahwa APH melirik dana desa dan diciptakan sebuah kegiatan yang ujung-ujungan meraup keuntungan. Sebagai contoh kegiatan Bimtek Sistem Keuangan Desa Kabupaten Samosir yang dilaksanakan oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Nature Sinergy, Bimbingan Teknis prioritas dana desa dalam mencapai SDGs oleh Lembaga Kajian Pelatihan Manajemen Indonesia.
Apakah ada kaitan lembaga ini dengan jaksa dan bagaimana dengan harga Rp 5 juta? Siapa sebetulnya yang bertanggungjawab atas kemampuan kepala desa dan aparatnya agar fasih dalam mengelola keuangan desa?
Dalam buku pintar dana desa dijelaskan bahwa dana desa adalah dana APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan diprioritaskan untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Tujuan Dana Desa adalah Meningkatkan pelayanan publik di desa; Mengentaskan kemiskinan; Memajukan perekonomian desa; Mengatasi kesenjangan pembangunan antardesa; Memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.
Dari tujuan prioritas dana desa hampir tidak ada terkait Bimtek yang diduga program jaksa yang dikerjakan oleh pihak ketiga.
Presiden Jokowi berulangkali mengingatkan kita agar semua komponen bangsa mengawasi dana desa. Apakah masyarakat desa memiliki kemampuan mengawasi dana desa di daerahnya? Tentu saja potensi konflik tinggi karena kepala desa sebagai penguasa desa biasanya kuat secara politik. Dalam konteks inilah dibutuhkan intervensi dari luar untuk mengawasi dana desa agar tepat sasaran.
Dalam rangka mengawasi dana desa maka kita harus menyadari bahwa dana desa harus fokus kepada kebutuhan yang mendesak desa. Betapa bahayanya jika dana desa dibelanjakan berdasarkan barang yang dimiliki oleh kekuasaan seperti yang diduga milik APH. Bagaimana mungkin demokrasi berjalan dengan baik jika kepala desa membelanjakan barang karena ada tekanan?
Jika kepala desa tersandera karena kesalahannya dan kesalahannya menjadi titik awal harus membelanjakan barang yang diduga milik APH melalui pihak ketiga dengan tujuan “aman” maka demokrasi kita akan mati suri.
Desa tidak akan maju dan dana desa menjadi mubajir jika desa membelinya jika berdasarkan “pesanan” penguasa seperti kejaksaan atau kepolisian. Karena kekuatiran itulah dugaan Bimtek dan lampu taman yang diduga terkait APH di Samosir harus dituntaskan.
Selain dana desa yang rawan dan potensi untuk kepentingan APH, dugaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga rawan digunakan APH dengan dalih penyuluhan hukum. Dalam rangka objektifitas APH maka kegiatan penyuluhan hukum atau kegiatan apapun itu tidak boleh menggunakan dan BOS. Dana BOS kurang untuk kebutuhan sekolah.
Cukuplah anggaran negara yang diberikan ke Kejaksaan untuk melakukan punyulahan atau sosialisasi hukum ke sekolah. Betapa buruknya dunia pendidikan kita jika penyuluhan hukum oleh APH didukung Kepsek dalam rangka Kepsek “aman” dari APH. Harapan kita APH harus terdepan menjadi teladan dalam penegakan hukum secara cerdas, jujur dan objektif.
* Tenaga Ahli Komisi VI DPR RI/Alumni Pascasarjana Institut Pertanian Bogor