Oleh Harji Sehatdo Nauli*
Pagi baru saja merekah di lereng perbukitan Kabupaten Karo. Embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika langkah-langkah kecil mulai menapaki jalan berbatu, menembus kabut, menuju sebuah sekolah sederhana di Desa Ujung Teran. Tak ada angkutan umum, tak ada sepatu bermerk, hanya kaki-kaki mungil yang terbiasa menyusuri tanah becek atau jalan setapak yang curam.
Di balik dinding sekolah yang mulai mengelupas, dengan cat pudar dan atap yang kadang bocor, semangat belajar justru tak ikut luntur. Ruang kelas tampak bersahaja. Meja kayu penuh coretan, papan tulis berdebu, dan bendera merah putih yang tergantung setia di sudut ruangan, seolah menjadi saksi bisu keteguhan para pelajar kecil ini.
Mereka duduk rapi, berseragam lusuh namun dengan wajah yang bersinar. Setiap penjelasan guru mereka simak dengan mata berbinar. Tangan-tangan kecil terangkat tinggi, berlomba menjawab soal. Di tengah keterbatasan, tawa dan semangat tetap mengisi ruangan. Mereka tidak hanya belajar membaca dan berhitung, tetapi juga memupuk harapan.
“Kami ingin terus sekolah, supaya bisa jadi orang pintar dan bantu orangtua,” ujar Rina (10), salah satu siswi kelas empat, dengan senyum malu-malu.
Antara Dinding Retak dan Mimpi Besar
Sekolah ini tak punya perpustakaan. Tak ada laboratorium, apalagi akses internet. Namun, bagi anak-anak Ujung Teran, ruang kecil ini adalah jendela dunia. Di sinilah mereka menyemai mimpi menjadi guru, perawat, bahkan presiden.
“Setiap hari saya melihat mereka datang dengan semangat, walau jalannya jauh dan sepatu kadang tak lengkap. Itu yang membuat saya tetap bertahan di sini,” kata Ibu Rani, seorang guru muda yang memilih mengajar di desa ini sejak tiga tahun lalu.
Ia bukan hanya pengajar, tetapi juga motivator, pendengar, bahkan terkadang ibu kedua bagi murid-muridnya. “Kami tak hanya mengajar pelajaran, tapi juga menanamkan keyakinan bahwa mereka bisa punya masa depan lebih baik.”
Perjuangan yang Tak Terlihat
Perjalanan menuju sekolah adalah kisah lain yang tak kalah menggugah. Anak-anak ini harus berjalan sejauh 3 hingga 5 kilometer setiap hari. Tak sedikit yang harus melewati sungai kecil atau menyeberang ladang. Di musim hujan, jalanan menjadi licin dan berbahaya. Namun, tak satu pun dari mereka menyerah.
“Kadang kalau hujan besar, kami tunggu reda dulu di pondok, tapi tetap ke sekolah,” kata Dodi, siswa kelas enam.
Sepatu basah, buku-buku dibungkus plastik bekas belanja, dan tubuh yang menggigil tak menghalangi mereka. Bagi anak-anak ini, setiap pagi adalah perjuangan, setiap langkah adalah bentuk kesetiaan mereka pada mimpi.
Di balik semangat anak-anak ini, ada sosok orang tua yang tak kalah kuat. Hidup sebagai petani atau buruh harian, mereka mungkin tak bisa memberi fasilitas terbaik, namun mereka memberikan restu dan doa terbaik.
“Kalau anak kami bisa sekolah tinggi, mungkin hidupnya tak seberat kami,” ujar Lasma, seorang ibu yang setiap pagi menyiapkan nasi goreng dan air putih sebagai bekal anaknya.
Harapan itu tumbuh dalam kesederhanaan. Tidak ada ambisi muluk, hanya satu keyakinan: pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan yang mereka warisi.
Asa dari Ruang Kecil
Sekolah ini memang kecil, namun perannya besar. Di sinilah benih-benih masa depan bangsa disemai. Setiap coretan di meja, setiap lubang di atap, adalah jejak perjuangan yang nyata. Mereka tidak butuh belas kasihan, yang mereka butuhkan adalah kesempatan.
Pemerintah memang telah menyalurkan beberapa bantuan, namun belum cukup. Sekolah-sekolah di pelosok seperti Ujung Teran membutuhkan lebih dari sekadar bangunan baru: mereka membutuhkan pelatihan guru, bahan ajar yang layak, dan program pendampingan jangka panjang.
Cahaya Kecil di Ujung Negeri
Semangat belajar anak-anak Desa Ujung Teran adalah pengingat bahwa makna pendidikan tidak terletak pada kecanggihan teknologi atau kemewahan gedung. Ia tumbuh dari tekad, ketulusan, dan pengorbanan.
Dari balik dinding yang lusuh, dari meja yang penuh coretan, mereka sedang menulis masa depan. Mereka adalah cahaya kecil yang bisa menyinari Indonesia, jika kita semua mau menyalakan lilin harapan di sekitar mereka.
Karena sejatinya, pendidikan bukanlah hak istimewa — melainkan hak setiap anak negeri, di manapun mereka dilahirkan.
*Penulis adalah mahasiswa FIS UIN Sumut