PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maros dan UMA Benchmarking Pengelolaan Limbah Kulit Durian
mimbarumum.co.id – Dalam rangka mendukung pengembangan program berkelanjutan serta implementasi teknologi ramah lingkungan, PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maros bekerja sama dengan Universitas Medan Area (UMA) menyelenggarakan kegiatan Benchmarking Pengelolaan Limbah Kulit Durian.
Kegiatan ini menjadi wujud nyata sinergi antara dunia industri dan perguruan tinggi dalam memajukan inovasi lingkungan berbasis masyarakat yang dilaksanakan di Kampus UMA, Rabu (11/6/2025).
Acara ini dihadiri oleh jajaran sivitas akademika Universitas Medan Area, di antaranya, Ketua Green Metric UMA Saipuh Sihotang S.Si, M.Biotek, Kepala Bidang Green Metric UMA Dr. Nisfa Hanim, S.Si., M.Si dan Kepala Biro Informasi Promosi dan Kemitraan UMA Dian Fajar Prayoga, S.Kom. Tampil sebagai pembicara Dr Effiati Juliana Hasibuan, M.Si, Bobby Umroh, S.T, M.T dan Dr. Ahmad Prayudi, S.E, M.M.
Sedangkan pihak PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maros dihadiri Supervisor HSSE & Fleet Safety Yunianto Arif Suryawan, Junior Supervisor HSSE Agil Bagus, Comdev Officer Zukhruf Arifin, Comdev Officer Muhson Arifin, Kepala Desa Alasmalang Katam yang ikut berpartisipasi dalam mendukung pemanfaatan potensi limbah lokal.
Supervisor HSSE & Fleet Safety Yunianto Arif Suryawan menyebutkan,
PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos melakukan benchmarking ke Pusat Kampus Hijau UMA untuk mempelajari inovasi pengelolaan limbah kulit durian menjadi serat dan tepung bernilai guna tinggi.
“Kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam pengembangan riset dan teknologi ramah lingkungan yang mendukung prinsip circular economy. Semoga sinergi ini membawa dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat,” katanya.
Sedangkan Ketua Green Metric Saipuh Sihotang menambahkan, kegiatan benchmarking ini membahas secara langsung praktik pemanfaatan limbah kulit durian dan bahan-bahan alami lainnya menjadi berbagai produk yang bermanfaat dan ramah lingkungan, hingga potensi produk inovatif lainnya.
“Tujuannya tidak hanya untuk mengurangi dampak lingkungan, tetapi juga membuka peluang ekonomi melalui pengembangan produk berkelanjutan berbasis limbah organik,” terangnya.
Diskusi yang berlangsung dalam kegiatan ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara dunia pendidikan, industri, dan pemerintah desa dalam menciptakan ekosistem pengelolaan limbah terpadu yang efektif, efisien, dan berbasis kearifan lokal.
“Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan terbangun kesadaran kolektif dan komitmen bersama untuk terus mengembangkan inovasi lingkungan yang tidak hanya bermanfaat secara ekologis, tetapi juga berdaya guna secara sosial dan ekonom,” jelas Saipuh.
Pada kesempatan itu juga dilakukan penandatangan MoU antara PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maros bekerja sama dengan UMA dilanjutkan penyerahan plakat kepada kedua belah pihak diakhiri foto bersama.
Reporter : M Nasir
Edi Saputra Laksanakan Sosper : Jangan Sembarangan Berikan Data Adminduk ke Publik
mimbarumum.co.id – Anggota DPRD Kota Medan dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Edi Saputra, ST kembali melaksanakan Sosialisasi Perda (Sosper) Kota Medan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan (Adminduk) di Jalan Rawa Cangkuk Tiga (RCTI), Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, Sabtu (14/6/2025) siang. Edi Saputra mengingatkan kepada kalangan masyarakat agar jangan sembarangan dalam memberikan data identitas diri atau adminduk ke publik atau pihak lain.
“Ingat, jangan sembarangan memberikan identitas diri atau adminduk kita kepada orang lain. Misalnya meminjamkan Adminduk kita ke orang lain, bisa saja terjadi penyalahgunaan, antara lain digunakan untuk pinjaman online (pinjol), pembelian ilegal hingga aksi kejahatan, begitu juga dengan penyalahgunaan buku tabungan yang bisa dijual,”katanya di hadapan ratusan warga yang hadirnya umumnya kaum ibu.
Edi Saputra juga mengingatkan masyarakat agar jangan sembarangan dalam pengurusan NIK KTP dan salah dalam pengurusan nama dan data adminduk, seperti KK, KTP, hingga akte kelahiran.”Jangan gara gara kesalahan orang tua yang salah dalam pengurusan nama dan data adminduk, maka masa depan anak yang menjadi korban. Sekali lagi saya ingatkan, jangan korbankan masa depan anak gara-gara orang tua salah mengurus adminduknya,”kata Edi Saputra, wakil rakyat dari daerah pemilihan IV meliputi Kecamatan Medan Denai, Medan Area, Medan Kota dan Medan Amplas.
Lebih lanjut Edi Saputra menjelaskan sejumlah manfaat adminduk, selain sebagai identitas diri dan keluarga. Diantaranya yakni, untuk pengurusan bantuan dari pemerintah, administrasi sekolah atau pendidikan, berobat ke rumah sakit, surat nikah atau akta pernikahan, hingga akte waris.
Selanjutnya diingatkannya, dalam pengurusan adminduk harus memastikan sinkronisasi datanya satu sama lainnya. “Seperti data atau nama di Kartu Tanda Penduduk (KTP, Kartu Keluarga, ijazah, akte lahir maupun buku nikah, jangan sampai salah data dan penulisannya walau sata huruf pun. Sebab hal itu bisa mempengaruhi keabsahan adminduk atau surat berharga lainnya,”tuturnya.
Edi Saputra yang dikenal sebagai wakil rakyat yang konsisten dalam mengurusi berkas adminduk warga secara gratis tersebut, di akhir paparannya membuka tanya jawab kepada warga. Para warga yang menyampaikan keluhan tersebut umumnya persoalan BPJS, belum menerima bantuan, berobat gratis dan lain sebagainya.
Usai menyampaikan paparan Sosper adminduk, Edi Saputra seperti biasanya membagikan berkas-berkas adminduk yang telah selesai diurus secara gratis atau nol rupiah di Posko Rumah Peduli. Masyarakat yang menerima merasa bangga dan menyampaikan terimakasih terutama yang mengurus nol data dan pindahan menjadi warga Kota Medan.
Reporter: Djamaluddin
Tubuh Perempuan dalam Cengkeraman Industri Kecantikan
Oleh Muhibbullah Azfa Manik
Standar kecantikan bukan sekadar konstruksi budaya, tapi juga proyek kapitalis yang sangat menguntungkan. Di balik slogan “cantik itu pilihan,” tersembunyi logika pasar yang menjadikan tubuh perempuan sebagai ladang konsumsi tanpa akhir. Industri kecantikan global, yang nilainya mencapai lebih dari USD 500 miliar, tidak hanya menjual produk, tetapi juga menciptakan ketidakpuasan yang terus diperbarui. Tubuh perempuan diposisikan sebagai sesuatu yang belum selesai, selalu kurang, selalu bisa “diperbaiki”—asalkan ada uang dan produk untuk itu.
Di rak-rak toko, marketplace daring, dan feed media sosial, kita dibanjiri dengan krim pencerah kulit, serum anti-aging, lipstik matte tahan 24 jam, hingga alat pelurus hidung tanpa operasi. Ada masker wajah dari emas, masker payudara, hingga masker untuk bokong. Alis harus diukir, bulu harus dicabut, kulit harus dilapisi. Bahkan pori-pori pun kini dianggap sebagai cacat yang harus “dihilangkan.” Seluruh tubuh perempuan dijadikan medan tempur antara harapan sosial dan tekanan visual.
Industri ini bergerak sistematis. Iklan-iklan yang menampilkan wajah dan tubuh perempuan ideal terus membombardir ruang visual kita. Dari televisi, billboard, hingga Instagram, mereka menjual mimpi yang diulang-ulang: putih itu cantik, langsing itu elegan, mulus itu sempurna. Ketika seseorang merasa dirinya tidak sesuai dengan standar itu, industri segera datang menawarkan “penyelamat”: produk pemutih, pelangsing, pengencang, penghalus, atau penghapus noda. Perempuan dipaksa merasa tidak cukup—lalu ditawarkan jalan keluar yang bisa dibeli.
Lihat saja bagaimana industri hair removal berkembang. Alat cukur, krim perontok, wax, hingga laser penghilang bulu dipasarkan dengan narasi bahwa rambut tubuh perempuan adalah “gangguan.” Padahal, keberadaan bulu tubuh bersifat alami dan fungsional. Namun industri berhasil mengubahnya menjadi sesuatu yang memalukan dan harus disingkirkan. Dalam semalam, sesuatu yang biasa bisa dijadikan cacat, lalu dijual solusinya.
Yang lebih ironis, logika pasar ini sering dibungkus dengan narasi “self-love” atau “empowerment.” Padahal, alih-alih membebaskan, kampanye tersebut justru melanggengkan ketergantungan. Dalam banyak kasus, perempuan diajak “menerima diri” dengan cara membeli lebih banyak produk. Cinta pada tubuh dijadikan dalih untuk terus mengubahnya. Kecantikan diklaim sebagai bentuk kendali diri, padahal yang mengendalikan tetap industri.
Dalam konteks ini, tubuh perempuan menjadi komoditas. Ia dijual, diukur, dinilai, dan diatur. Industri kosmetik, klinik kecantikan, dan platform digital bekerja bersama membangun standar yang semakin tinggi dan semakin mahal. Skincare routine yang dulu hanya tiga langkah kini menjadi sepuluh tahap. Makeup yang dulunya fungsional kini berubah menjadi seni kontemporer berbiaya besar. Satu produk tak lagi cukup. Setiap serum butuh booster, setiap foundation butuh primer, setiap perawatan butuh retouch.
Kapitalisme kecantikan tidak hanya menjual barang, tapi juga menciptakan kebutuhan. Ia menyasar kerentanan psikologis yang dibentuk dari kecil: dari boneka Barbie, film Disney, majalah remaja, hingga influencer Instagram. Anak perempuan tumbuh dengan pesan bawah sadar bahwa nilai dirinya ditentukan oleh wajah dan tubuhnya. Dan ketika mereka dewasa, pasar telah siap dengan segala produk untuk menjawab rasa tidak aman itu.
Lebih dari itu, tekanan ini bersifat lintas kelas. Perempuan kaya bisa membeli kecantikan dengan prosedur mahal: filler, botox, tanam benang, hingga operasi plastik. Tapi perempuan kelas menengah dan bawah tetap menjadi target: lewat versi lebih murah, cicilan, atau bahkan “pake dulu, bayar belakangan.” Perawatan wajah bisa dicicil. Alis bisa dicicil. Kecantikan dijadikan utang yang harus dibayar demi eksistensi sosial.
Kondisi ini makin diperparah oleh algoritma media sosial yang terus menampilkan wajah-wajah “sempurna” hasil filter, editan, atau prosedur estetika. Banyak remaja perempuan kini merasa wajah mereka tidak layak dipublikasikan tanpa filter. Mereka hidup dalam bayangan standar yang tidak nyata, tetapi sangat memengaruhi cara pandang terhadap tubuh sendiri.
Tentu, tak salah jika seseorang ingin merawat diri atau merasa cantik. Tapi kita perlu bertanya: dari mana standar itu berasal? Untuk siapa kecantikan itu ditujukan? Dan siapa yang paling diuntungkan dari kegelisahan itu?
Jawabannya sudah jelas: industri. Mereka yang memproduksi produk kecantikan, membiayai iklan, mengatur tren, sekaligus menciptakan rasa tidak puas. Mereka adalah arsitek dari kecantikan yang tak pernah selesai. Karena selama perempuan merasa dirinya “belum cukup,” roda bisnis akan terus berputar.
Maka, kritik terhadap industri kecantikan bukan soal menolak lipstik atau krim malam. Ini tentang membongkar sistem yang menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi pasar. Ini tentang menuntut agar kecantikan tidak ditentukan oleh katalog belanja, tetapi oleh agensi perempuan itu sendiri.
Tubuh perempuan bukan ruang kosong yang bisa diisi oleh iklan dan produk. Ia adalah wilayah personal, politik, dan kultural yang harus dibebaskan dari cengkeraman industri. Sebab selama kecantikan hanya ditentukan oleh pasar, maka kebebasan perempuan hanyalah ilusi yang dikemas dalam botol kecil berlabel mewah.
Penulis adalah dosen Universitas Bung Hatta
DPRD Medan Dukung Polisi Tindak Tegas Empat Debtcollector
mimbarumum.co.id – Anggota DPRD Medan Komisi I, Robi Barus menanggapi video viral empat orang debtcollector yang melakukan tindakan penarikan mobil dan perampasan handphone di sekitar Polsek Medan Kota.
Ketua Fraksi Partai PDI Perjuangan ini juga mengapresiasi dan mendukung kinerja Polrestabes Medan yang telah menangkap dan menahan empat orang debtcollector tersebut.
Hal itu disampaikan Roby Barus kepada awak media, Jumat (13/6/2024).
“Terkait penarikan dengan ancaman dan kekerasan yang dilakukan debt collector itu, kita apresiasi kinerja dari kepolisian, Polrestabes Medan, yang telah menangkap dan menahan para debtcollector ini,” kata Robi.
Ia juga sangat menyayangkan atas tindakan yang dilakukan oleh debtcollector tersebut.
“Sebetulnya kan cukup berani mereka melakukan itu, apalagi di depan Polsek, kita menyayangkan itu. Sudah jelasnya aturan masalah leasing-leasing ini. Mana bisa debtcollector itu semena-mena menarik gitu, kan ada aturannya semua. Apalagi itu kan di depan kantor Polisi. Berarti mereka tidak menghargai ada penegak hukum di situ, ” ujarnya.
Menurutnya, pihak leasing juga harus bertanggung jawab dengan kejadian itu.
“Ini bisa jadi pelajaran bagi masyarakat Kota Medan, kalau ada masalah leasing sebaiknya diselesaikan dengan baik, kemudian bagi pihak leasing janganlah langsung main eksekusi gitu kan, kan bisa secara persuasif,” pungkasnya.
Reporter: Rasyid Hasibuan