Catatan : Chairuddin Pasaribu
mimbarumum.co.id – Saat tragedi nasional percobaan pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia), diawali penculikan dan pembunuhan keji terhadap sejumlah perwira tinggi TNI-AD, berlangsung di Jakarta, Jumat dinihari 1 Oktober 1965, saya berusia 12 tahun. Saya masih duduk di bangku SLTP (Madrasah Tsnanawiyah NU) di Sibuhuan, kini ibukota kabupaten Padanglawas.
Peristiwa itu begitu cepat tersebar melalui siaran RRI, meski jarak antara Jakarta dengan Sibuhuan mencapai 1.500 km. Saya ikut mendengarkan siaran RRI Jakarta melalui pesawat radio Philips merah marun. Antenanya tinggi pakai galah, didukung energi 100 buah baterai kering yang dihubung-hubungkankan dalam peti kayu. Angin dan hujan sering juga menggangu siaran.
Saya dan teman-teman mendengar Mayjen Suharto, Pangkostrad, berpidato sekitar pukul 21.00 malam. Dan pada siaran-siaran sesudahnya diketahuilah percobaan kudeta oleh PKI, penculikan disertai pembunuhan keji sejumlah jenderal AD, pembentukan Dewan Revolusi untuk mengoper kekuasaan dari Predisen Sukarno, dan ……. pada hari, bulan dan tahun sesudahnya terjadilah pembantaian massa, termasuk terhadap tokoh-tokok PKI, juga di kampung saya Pasirjae serta kampung-kampung lainnnya di Kecamatan Sosa dan Barumun.
Dalam demonstrasi-demonstrasi kaum pelajar (KAPPI – Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), saya dan teman-teman seusia menjadi “anak bawang” (suruhan) para senior di SLTA (SMAN dan MAS NU), misalnya untuk mengantar surat ke Asisten Wedana (sekarang: Camat), Puterpra (sekarang: Danramil) dan ke berbagai pihak
lainnya.
Untungnya, dalam semangat antikomunis yang berkobar-kobar, terkadang kami juga diberi kesempatan berpidato atau memekikkan yel-yel anti-PKI di podium, di hadapan ratusan atau ribuan massa pelajar dan umum.
Satu hal paling kami syukuri waktu itu, ialah selamatnya Jenderal Nasution –kelahiran Mandailing, Tapanuli Selatan (sekarang: Madina) dan terkenal kesalehannya– dari percobaan pembunuhan, meski kemudian “digantikan” ajudannya Piere Tendean dan putri kesayangannya, Ade Irma Suryani Nasution.
>>> PKI, Komunis?
Tentu siswa seusia kami belum memahami apa itu ideologi komunis. Apalagi, di daerah kami, mereka yang masuk PKI itu pun ada juga pak haji-haji.
Hanya, di pesantren NU Aekhayuara, tempat saya jadi santri, almarhum Tuan Guru Syekh Mukhtar Muda Nasution (rohimahulloh) mengajarkan, pembunuhan seperti dilakukan PKI di Jakarta, adalah dosa besar.
Membunuh seorang Muslim sama artinya membunuh semua ummat Islam. Karena itu, melawan, memerangi atau memberantasnya adalah: jihad! Wafat dalam jihad di jalan Allah adalah: syahid. Syahid adalah cara wafat paling mulia, ganjarannya: surga!
Dalam terminologi Islam dikenal tiga tingkatan mencegah kemunkaran. Tertinggi: cegahlah dengan tangan (kekuatan)-mu. Di bawahnya: cegahlah dengan lisan (kata-kata)-mu. Paling bawah: cegah atau benci-i-lah melalui hatimu, tetapi itu adalah cerminan selemah-lemah iman.
Jauh hari kemudian, setelah saya menjadi jurnalis kantorberita nasional, di Medan, tahulah saya lika-liku kup PKI 1965 sebagai “kelanjutan” dari pemberontakan Madiun 1948. Melalui rangkaian ceramah, wawancara, buku-buku, termasuk karangan Stalin, Lenin, Trotsky dan mengikuti gaya pemerintahan Mao Tse Tung (Mao Zedong), dipahami ada dua kutub ideologi besar dunia: Kapitalisme dan Komunisme.
Khusus komunisme, dikenal penghalalan segala cara –termasuk pembunuhan, infiltrasi, kudeta– untuk mencapai tujuan. Dan…., itulah sesungguhnya yang dipraktekkan oleh Musso dkk (1948), Aidit, Kamaruzzaman dkk (1965) saat mereka merasa memiliki kesempatan melakukannya sendiri, atau memanfaatkan otoritas pihak lain untuk mewujudkannya.
***
Tragedi pembunuhan keji para perwiran tinggi AD pada dinihari 1 Oktober 1965, tepat 61 tahun silam –dinamai G30S karena penentuan operasinya masih berada pada jam-jam tanggal 30 September– sesungguhnya merupakan pelaksanaan dari doktrin “penghalalan segala cara” komunis itu, dan PKI memperalat alat-alat kekuasaan negara yang telah mereka “bina” sejak lama.
PKI merasa terlalu yakin dapat menguasai AD setelah membunuh para jenderalnya. Lalu melalui penguasaan AD mereka lebih mudah menguasai seluruh struktur pemerintahan. Sebab, mereka menghitung AD-lah batu sandungan utama untuk bisa mengoper pemerintahan.
Mereka benar-benar tidak memperhitungkan kemungkinan gagal (plan-A) karena, misalnya, bisa saja ada yang lolos dari penculikan, serta masih ada “sisa” jenderal lain yang bisa menjadi batu sandungan. Karena itu mereka tidak membuat cadangan (plan-B).
Lebih ekstrem lagi, mereka tidak mengira ada “tangan Tuhan” yang dapat mencegah rencana jahat mereka. Karena, ideologi komunis memang tidak mempercayai adanya Tuhan!
***
Di bawah ini ditampilkan kronologi yang diringkas dari tulisan Pak Nas (almarhum Jenderal Besar Dr AH Nasution – rohimahulloh, wafat September 2000 pada usia 81 tahun) untuk menggambarkan situasi Jakarta mulai 1 Oktober hingga 5 Oktober 1965.
Bila kini Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo (61), mantan Panglima TNI, selalu sengit dan sensitif menghadapi isu kemungkinan bangkitnya faham komunisme, maka paling tidak mudah dipahami, karena meresapi betapa buruknya paham komunisme itu bila bisa kembali karena kekurang-waspadaan kita.
Gatot mengatakan, komunisme sudah menjadi bahaya laten: tetap ada dan tersembunyi untuk waktu yang lama, tetapi bisa muncul sewaktu-waktu.
Berikut kronologi peristiwa 1965:
# 1 OKTOBER
– Pukul 03:30 WIB : Sepasukan gerombolan berseragam Cakrabirawa (dbp – dibawah pimpinan Serka Bungkus) menyerbu kediaman Mayjen MT Haryono, Deputi III Panglima AD (Angkatan Darat), kemudian menculiknya dengan meninggalkan bekas-bekas darah pada lantai dan dinding kamar tidurnya.
Pada waktu yang kurang-lebih sama, pasukan-pasukan serupa juga mendatangi: Kediaman Jenderal AH Nasution, Menko Hankam / KSAB – Kepala Staf Angkatan Bersenjata (dbp Letda Jaharub dari Ckrabirawa); Kediaman Jenderal A Yani, Menteri Panglima AD (dbp Peltu Mukijan dari Brigif 1/Jaya); Kediaman Mayjen Suprapto (dbp Serka Sulaiman); Kediaman Mayjen S Parman (dbp Serma Sutar dari Cakrabirawa); Kediaman Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (dbp Serma Surono); dan Kediaman Brigjen DI Panjaitan (dbp Serma Sukarjo dari batalyon 454/Diponegoro).
Aksi penculikan disertai pembunuhan biadab itu berhasil mereka lakukan, kecuali terhadap Jenderal AH Nasution yang bisa lolos, tetapi “digantikan” ajudannya Letda Piere Tendean, serta putri bungsunya Ade Irma Suryani tertembak dan beberapa hari kemudian meninggal dunia.
– Pukul 07.20 WIB : G30S mengadakan siaran lewat RRI. Diterangkan bahwa Letkol Untung telah melakukan penangkapan beberapa perwira tinggi yang dikatakan sebagai anggota “Dewan Jenderal.”
– Pukul 09.00 WIB : Perintah Harian AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) Laksamana Omar Dhani tentang adanya G30S, untuk membersihkan kalangan AD. Dewan Jenderal hendak melakukan perampasan kekuasaan negara atas bantuan CIA (Central Intelligence Agency). AURI menyokong gerakan tersebut.
– Pukul 11.00 WIB : Siaran Gestapu tentang pembentukan Dewan Revolusi.
– Pukul 13.00 WIB : Pengumuman Komandan Cakrabirawa bahwa Presiden Sukarno dalam keadaan selamat dan sehat.
– Pukul 14.00 WIB : G30S menyiarkan terbentuknya Dewan Revolusi, dan penurunan pangkat diatas Letkol.
– Pukul 19.00 WIB : RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) menguasai gedung telekomunikasi dan RRI Jakarta.
– Pukul 20.50 WIB : Mayjen Suharto berpidato di RRI Jakarta, dan untuk sementara memegang pimpinan AD.
# 2 OKTOBER
– Pukul 06.00 WIB : RPKAD menguasai lapangan Halim. Sore hari Mayjen Suharto menghadap Presiden di Bogor bersama Panglima AL, AU dan Polisi.
– Pukul 24.00 WIB : KOTI (Komando Operasi Tertinggi) mengumumkan order Presiden, bahwa Presiden memegang sendiri komando AD, dan Mayjen Pranoto Reksosamudro ditunjuk untuk menyelesaikan soal-soal sehari-hari, sedangkan Mayjen Suharto ditugaskan memulihkan kembali keamanan.
# 3 OKTOBER
– Pukul 01.30 WIB : Perintah Presiden (tentang komando AD, Pranoto dan Suharto) diulangi RRI Jakarta.
– Pukul 01.45 WIB : Mayjen Suharto berpidato radio di muka RRI, bahwa kini Presiden-lah yang memegang komando AD, dan bahwa ia taat sepenuhnya pada perintah Presiden dan diberi tugas memulihkan keamanan.
# 4 OKTOBER
– Pukul 01.00 WIB : Presiden memberikan amanat dari Istana Bogor, mengatakan bahwa tuduhan AURI tersangkut G30S tidaklah benar, Presiden pergi ke lapangan Halim atas kehendak sendiri. Beliau memperingatkan supaya kita waspada jangan sampai AURI dan AD dapat diadu-domba.
– Pukul 09.00 WIB : Panglima Kostrad dan rombongan menuju tempat disembunyikannya janazah para jenderal di Lubang Buaya.
– Pukul 12.00 WIB : Menko Hankam / KSAB dan sebagian besar menteri serta Jenderal Sucipto dan staf KOTI bertemu di SAB.
– Pukul 12.30 WIB : Pengambilan jenazah Jenderal Yani dan kawan-kawan dari sumur tua memakan waktu hampir dua jam.
# 5 OKTOBER
– Pukul 10.00 WIB : Menko Hankam / KSAB melepaskan janazah Jenderal Yani dan kawan-kawan (diangkut satu per satu dengan panser dan disaksikan “lautan” warga Jakarta) di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat), diteruskan dengan pemakaman di (Taman Makam Pahlawan) Kalibata, selesai pukul 14.00 WIB.
***
KUNCI penangkal paham komunisme, yang dalam perkembangannya dapat saja bertransformasi menjadi bentuk-bentuk baru, adalah: cermati dan waspada!
(CP – Chairuddin Pasaribu alumni 1972 Pondok Aekhayuara Sibuhuan, domisili di Medan. Referensi: “Memenuhi Panggilan Tugas” susunan Dr AH Nasution Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru halaman 206 – 207, terbitan PT Gunung Agung Jakarta,1987).