
Indosat Perkuat Jaringan di Samosir
Begini Indosat Mewujudkan Pelayanan Terbaik untuk Pelanggan di Sumut

Oleh Muhibbullah Azfa Manik
Standar kecantikan bukan sekadar konstruksi budaya, tapi juga proyek kapitalis yang sangat menguntungkan. Di balik slogan “cantik itu pilihan,” tersembunyi logika pasar yang menjadikan tubuh perempuan sebagai ladang konsumsi tanpa akhir. Industri kecantikan global, yang nilainya mencapai lebih dari USD 500 miliar, tidak hanya menjual produk, tetapi juga menciptakan ketidakpuasan yang terus diperbarui. Tubuh perempuan diposisikan sebagai sesuatu yang belum selesai, selalu kurang, selalu bisa “diperbaiki”—asalkan ada uang dan produk untuk itu.
Di rak-rak toko, marketplace daring, dan feed media sosial, kita dibanjiri dengan krim pencerah kulit, serum anti-aging, lipstik matte tahan 24 jam, hingga alat pelurus hidung tanpa operasi. Ada masker wajah dari emas, masker payudara, hingga masker untuk bokong. Alis harus diukir, bulu harus dicabut, kulit harus dilapisi. Bahkan pori-pori pun kini dianggap sebagai cacat yang harus “dihilangkan.” Seluruh tubuh perempuan dijadikan medan tempur antara harapan sosial dan tekanan visual.
Industri ini bergerak sistematis. Iklan-iklan yang menampilkan wajah dan tubuh perempuan ideal terus membombardir ruang visual kita. Dari televisi, billboard, hingga Instagram, mereka menjual mimpi yang diulang-ulang: putih itu cantik, langsing itu elegan, mulus itu sempurna. Ketika seseorang merasa dirinya tidak sesuai dengan standar itu, industri segera datang menawarkan “penyelamat”: produk pemutih, pelangsing, pengencang, penghalus, atau penghapus noda. Perempuan dipaksa merasa tidak cukup—lalu ditawarkan jalan keluar yang bisa dibeli.
Lihat saja bagaimana industri hair removal berkembang. Alat cukur, krim perontok, wax, hingga laser penghilang bulu dipasarkan dengan narasi bahwa rambut tubuh perempuan adalah “gangguan.” Padahal, keberadaan bulu tubuh bersifat alami dan fungsional. Namun industri berhasil mengubahnya menjadi sesuatu yang memalukan dan harus disingkirkan. Dalam semalam, sesuatu yang biasa bisa dijadikan cacat, lalu dijual solusinya.
Yang lebih ironis, logika pasar ini sering dibungkus dengan narasi “self-love” atau “empowerment.” Padahal, alih-alih membebaskan, kampanye tersebut justru melanggengkan ketergantungan. Dalam banyak kasus, perempuan diajak “menerima diri” dengan cara membeli lebih banyak produk. Cinta pada tubuh dijadikan dalih untuk terus mengubahnya. Kecantikan diklaim sebagai bentuk kendali diri, padahal yang mengendalikan tetap industri.
Dalam konteks ini, tubuh perempuan menjadi komoditas. Ia dijual, diukur, dinilai, dan diatur. Industri kosmetik, klinik kecantikan, dan platform digital bekerja bersama membangun standar yang semakin tinggi dan semakin mahal. Skincare routine yang dulu hanya tiga langkah kini menjadi sepuluh tahap. Makeup yang dulunya fungsional kini berubah menjadi seni kontemporer berbiaya besar. Satu produk tak lagi cukup. Setiap serum butuh booster, setiap foundation butuh primer, setiap perawatan butuh retouch.
Kapitalisme kecantikan tidak hanya menjual barang, tapi juga menciptakan kebutuhan. Ia menyasar kerentanan psikologis yang dibentuk dari kecil: dari boneka Barbie, film Disney, majalah remaja, hingga influencer Instagram. Anak perempuan tumbuh dengan pesan bawah sadar bahwa nilai dirinya ditentukan oleh wajah dan tubuhnya. Dan ketika mereka dewasa, pasar telah siap dengan segala produk untuk menjawab rasa tidak aman itu.
Lebih dari itu, tekanan ini bersifat lintas kelas. Perempuan kaya bisa membeli kecantikan dengan prosedur mahal: filler, botox, tanam benang, hingga operasi plastik. Tapi perempuan kelas menengah dan bawah tetap menjadi target: lewat versi lebih murah, cicilan, atau bahkan “pake dulu, bayar belakangan.” Perawatan wajah bisa dicicil. Alis bisa dicicil. Kecantikan dijadikan utang yang harus dibayar demi eksistensi sosial.
Kondisi ini makin diperparah oleh algoritma media sosial yang terus menampilkan wajah-wajah “sempurna” hasil filter, editan, atau prosedur estetika. Banyak remaja perempuan kini merasa wajah mereka tidak layak dipublikasikan tanpa filter. Mereka hidup dalam bayangan standar yang tidak nyata, tetapi sangat memengaruhi cara pandang terhadap tubuh sendiri.
Tentu, tak salah jika seseorang ingin merawat diri atau merasa cantik. Tapi kita perlu bertanya: dari mana standar itu berasal? Untuk siapa kecantikan itu ditujukan? Dan siapa yang paling diuntungkan dari kegelisahan itu?
Jawabannya sudah jelas: industri. Mereka yang memproduksi produk kecantikan, membiayai iklan, mengatur tren, sekaligus menciptakan rasa tidak puas. Mereka adalah arsitek dari kecantikan yang tak pernah selesai. Karena selama perempuan merasa dirinya “belum cukup,” roda bisnis akan terus berputar.
Maka, kritik terhadap industri kecantikan bukan soal menolak lipstik atau krim malam. Ini tentang membongkar sistem yang menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi pasar. Ini tentang menuntut agar kecantikan tidak ditentukan oleh katalog belanja, tetapi oleh agensi perempuan itu sendiri.
Tubuh perempuan bukan ruang kosong yang bisa diisi oleh iklan dan produk. Ia adalah wilayah personal, politik, dan kultural yang harus dibebaskan dari cengkeraman industri. Sebab selama kecantikan hanya ditentukan oleh pasar, maka kebebasan perempuan hanyalah ilusi yang dikemas dalam botol kecil berlabel mewah.
Penulis adalah dosen Universitas Bung Hatta
mimbarumum.co.id – Anggota DPRD Medan Komisi I, Robi Barus menanggapi video viral empat orang debtcollector yang melakukan tindakan penarikan mobil dan perampasan handphone di sekitar Polsek Medan Kota.
Ketua Fraksi Partai PDI Perjuangan ini juga mengapresiasi dan mendukung kinerja Polrestabes Medan yang telah menangkap dan menahan empat orang debtcollector tersebut.
Hal itu disampaikan Roby Barus kepada awak media, Jumat (13/6/2024).
“Terkait penarikan dengan ancaman dan kekerasan yang dilakukan debt collector itu, kita apresiasi kinerja dari kepolisian, Polrestabes Medan, yang telah menangkap dan menahan para debtcollector ini,” kata Robi.
Ia juga sangat menyayangkan atas tindakan yang dilakukan oleh debtcollector tersebut.
“Sebetulnya kan cukup berani mereka melakukan itu, apalagi di depan Polsek, kita menyayangkan itu. Sudah jelasnya aturan masalah leasing-leasing ini. Mana bisa debtcollector itu semena-mena menarik gitu, kan ada aturannya semua. Apalagi itu kan di depan kantor Polisi. Berarti mereka tidak menghargai ada penegak hukum di situ, ” ujarnya.
Menurutnya, pihak leasing juga harus bertanggung jawab dengan kejadian itu.
“Ini bisa jadi pelajaran bagi masyarakat Kota Medan, kalau ada masalah leasing sebaiknya diselesaikan dengan baik, kemudian bagi pihak leasing janganlah langsung main eksekusi gitu kan, kan bisa secara persuasif,” pungkasnya.
Reporter: Rasyid Hasibuan
mimbarumum.co.id – Wakapolsek Tanjung Beringin, Ipda Brimen, mewakili Kapolsek Tanjung Beringin Akp Pamilu H Hutagaol, S.H, M.H, menghadiri minilokakarya lintas sektor di UPTD Puskesmas Tanjung Beringin pada Jumat (13/6/2025).
Kegiatan forum interaktif yang berlangsung di Aula Puskesmas Tanjung Beringin ini bertujuan memperkuat koordinasi dan sinergi antarlembaga dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di Kecamatan Tanjung Beringin.
Turut hadir dalam acara tersebut antara lain Camat Tanjung Beringin Nur Chinta Defi Tambunan, Serda Peris Panggabean dari Babinsa Koramil 11 Tanjung Beringin, Kanit IK Bripka Syafruddin, para Kepala Desa se-Kecamatan Tanjung Beringin, serta para Bidan Desa se-Kecamatan Tanjung Beringin dan kader posyandu.
Dalam paparannya, Kepala Puskesmas Tanjung Beringin, drg. Sherlyta Mutia Hutabarat menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor. Pembahasan mencakup ILP (Indeks Lingkungan Produktif) dan program kesehatan lingkungan seperti ODF (Stop Buang Air Besar Sembarangan) serta pencegahan malaria.
Camat Nur Chinta Defi Tambunan, S.Si memberikan arahan strategis, menggarisbawahi peran aktif setiap elemen masyarakat dan instansi dalam mendukung program kesehatan. Sesi tanggapan dan saran dari peserta juga mewarnai rapat, menunjukkan antusiasme aktif dalam mencari solusi bersama.
Wakapolsek Tanjung Beringin, Ipda Brimen turut memberikan saran masukan dan apresiasi kehadiran lintas sektoral bersama-sama mendukung program kesehatan yang dicanangkan pemerintah dan perlunya aksi nyata peningkatan kesehatan masyarakat.
Kehadiran berbagai pihak, termasuk kepolisian, TNI, pemerintah daerah, dan tenaga kesehatan, diharapkan dapat memperkuat sinergi untuk peningkatan kesehatan masyarakat. Kolaborasi ini menjadi fondasi kuat untuk mewujudkan lingkungan yang lebih sehat dan masyarakat yang lebih sejahtera.
Reporter: Jafar Sidik
mimbarumum.co.id – Anggota DPRD Sumatera Utara Frans Dante Ginting, meminta pemerintah kabupaten di kawasan Deliserdang, Karo, hingga Dairi untuk segera melakukan penertiban terhadap praktik pencucian kendaraan di pinggir jalan yang tidak memiliki sistem drainase atau saluran pembuangan air yang memadai.
Permintaan itu disampaikan Frans menyusul maraknya praktik pencucian kendaraan yang dilakukan secara sembarangan di tepi jalan raya, di mana air bekas cucian dibiarkan mengalir ke badan jalan. Menurutnya, kebiasaan ini tidak hanya membahayakan pengguna jalan, tetapi juga mengancam ketahanan infrastruktur jalan yang dibangun dengan anggaran besar.
“Kalau kita perhatikan, banyak warung atau tempat-tempat kecil di pinggir jalan yang menyediakan selang air, dan sopir kendaraan berat maupun pribadi mencuci kendaraannya di situ. Sayangnya, air bekas cucian itu langsung mengalir ke jalan tanpa saluran pembuangan khusus. Ini bisa merusak permukaan jalan dalam waktu singkat,” kata Frans Dante Ginting saat ditemui di ruang kerjanya di DPRD Sumut, Kamis (12/6/2025).
Politisi Partai Golkar itu menegaskan bahwa praktik seperti itu harus segera dihentikan dan ditertibkan oleh pemerintah daerah. Ia menyarankan agar pemerintah kabupaten bersama jajaran di bawahnya, mulai dari kecamatan hingga desa, mengambil peran aktif dalam pengawasan dan penataan fasilitas pencucian kendaraan.
“Kalau memang ingin membuka usaha cuci kendaraan, ya harus ada saluran air khusus. Jangan buang air bekas cucian ke jalan umum. Kalau tidak bisa menyediakan itu, sebaiknya tidak diberi izin beroperasi. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga soal keamanan dan ketahanan infrastruktur jalan,” jelasnya.
Frans mengingatkan bahwa kerusakan jalan akibat air cucian kendaraan bisa berdampak panjang. Jalan yang berlubang atau cepat rusak bukan hanya membahayakan pengendara, tetapi juga membutuhkan anggaran besar untuk perbaikan. Sementara, proses penganggaran dan pelaksanaan perbaikan jalan, terutama jalan nasional, tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
“Bayangkan saja kalau jalan sudah rusak, bisa bertahun-tahun baru diperbaiki karena menunggu anggaran. Sementara masyarakat setiap hari melewati jalan itu, aktivitas mereka terganggu, termasuk pengangkutan barang dan jasa,” imbuhnya.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran bersama, baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat, untuk menjaga kualitas jalan yang sudah dibangun. Menurutnya, jika jalan dalam kondisi baik, maka manfaatnya akan kembali ke masyarakat, terutama dalam memperlancar arus transportasi dan meningkatkan aktivitas ekonomi.
“Kalau jalan bagus, masyarakat juga yang untung. Lalu lintas lancar, distribusi barang lebih cepat, dan ekonomi bisa tumbuh lebih baik. Ini adalah tanggung jawab bersama, tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah pusat atau Kementerian PUPR saja,” terangnya.
Frans berharap upaya penertiban ini bisa menjadi perhatian serius seluruh pemerintah kabupaten yang wilayahnya dilintasi jalan utama. Ia menilai, menjaga jalan agar tetap dalam kondisi baik adalah bentuk partisipasi aktif daerah dalam menjaga fasilitas publik yang manfaatnya dirasakan luas oleh masyarakat.
Reporter : Djamaluddin
mimbarumum.co.id – Polrestabes Medan kembali menggelar Jumat Curhat di Balai Desa Marendal, Kecamatan Patumbak, Sumatera Utara, Jumat (13/5/2025).
Kapolrestabes Medan, Kombes Pol. Dr. Gidion Arif Setyawan mengatakan jika Patumbak ini karakternya adalah satu lingkungan atau satu ekosistem yang menuju perkotaan, karena sebagai daerah penyangga dari ibu kota Provinsi di Medan.
“Oleh karna itu banyak persoalan, karena mulai banyak orang dan kepentingan. Kita harus berbesar hati, berati kota saya akan menuju statusnya lebih tinggi lagi menjadi Kota,” kata Gidion dalam curhatnya.
Ia menuturkan, begitu juga dengan kota, pastinya akan berbenah menjadi kota yang layak.
“Untuk persoalan soaial di Kota Medan ini penyelesaiannya atau solusinya ada di kita masing-masing,” tegasnya.
Mantan Kapolres Metro Jakarta Utara itu menuturkan, Kota yang layak, madani, nyaman, dan aman itu terwujud karena peran serta semua pihak.
“Bergerak bersama demi mencapai impian dan cita-cita,” tukasnya.
Dia tidak memungkiri, seiring berjalannya waktu, dalam lingkungan timbul persoalan kenakalan remaja. Genk motor, penyalahgunaan narkoba, dan tawuran.
“Oleh karena itu, alangkah baiknya jika ada Kepala Lingkungan (Kepling) yang mengenal siapa perseorangan nya. Maka akan mengurangi atau mengeleminir kesempatan untuk melakukan perbuatan pidana,” ucapnya.
Ia menambahkan, persoalan-persoalan sosial, baik itu narkoba dan tawuran semuanya berawa dari keluarga.
“Yakinlah bahwa kehidupan ke depan akan semakin baik, maka persiapkan diri kita dan keluarga kita. Agar tak menjadi bagian dalam persoalan sosial,” pungkasnya.
Reporter: Rasyid Hasibuan/R