Jakarta akhirnya kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) setelah melihat kenyataan bahwa “berdamai” dengan Corona justru semakin menambah korban jiwa.
Keputusan Pemprov DKI itu telah menuai banyak reaksi. Para pengkritik Anies Baswedan hingga pejabat di lingkungan istana mencibir dan menuding langkah tersebut telah mendorong keterpurukan ekonomi. Anjloknya saham di bursa efek saat itu, dianggap sebagai “gara-gara” Anies.
Tudingan dan kekhawatiran itu sebenarnya memang patut juga dimaklumi. Sebab, konsekuensi dari PSBB maka ruang gerak warga di luar rumah menjadi sangat terbatas.
Tempat ibadah harus ditutup, kegiatan keagamaan diminimalkan. Operasional transportasi umum dibatasi. Demikian juga sekolah harus diliburkan. Pertokoan, perkantoran dan industri juga harus mengurangi aktifitasnya terkecuali yang terkait langsung dengan hidup orang banyak. Inilah yang mereka khawatirkan karena akan berdampak langsung terhadap siklus ekonomi.
Menarik apa yang disampaikan Gubernur DKi Jakarta Anies Baswedan saat menjadi pembicara pada sebuah acara talkshow di salah satu televisi swasta nasional. “Pekerjaan yang hilang insya Allah kita cari jalannya cari pekerjaan, tapi saudara kita yang sudah dimakamkan tidak bisa dikembalikan lagi,” ucapnya ketika itu.
Dia mengakui kebijakannya akan berdampak luas, termasuk membuat orang-orang kehilangan pekerjaan. Tetapi dia memastikan bahwa keselamatan warga lebih utama dibanding persoalan ekonomi semata. Nyawa yang melayang tak bisa dikembalikan tetapi resesi ekonomi masih bisa dipulihkan.
Wajar memang jika Anies lebih memilih langkah pahit itu, sebuah langkah yang justru berseberangan dengan apa yang diterapkan pemerintah pusat. Dimana Presiden telah menyerukan agar kita “berdamai dengan corona”. Yakni, rakyat negeri diminta untuk tetap melakukan aktifitas seperti biasa, namun dengan memberlakukan protokol kesehatan khusus dan ketat.
Semasa pemberlakuan New Normal itu justru angka kematian dan terpapar Covid-19 tidak terkendali. Itu tidak hanya terjadi di DKI Jakarta, di provinsi lain pun tidak ada bedanya. Termasuk di Sumatera Utara. Bahkan wilayah-wilayah tertentu yang awalnya masih berada pada zona hijau, berangsur menjadi merah.
Kecemasan itulah yang membuat sejumlah pihak meminta agar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun ini ditunda. Terlebih sejumlah ahli mengatakan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia ternyata belum sampai pada puncaknya, masih berada pada fase lereng. Itu artinya, jika tidak ada upaya ekstrim memutus mata rantai penyebarannya, maka angka terpapar dan kematian akan semakin jauh lebh besar.
Tahapan pelaksanaan Pilkada serentak dipastikan akan menjadi sarana terbesar bagi penyebaran virus asal Wuhan ini. Bayangkan saja, hanya untuk proses pendaftaran calon di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat, ada calon yang mengerahkan ribuan pendukung untuk mengawalnya. Nyarisnya, mereka tanpa penerapan protokol kesehatan.
Belum lagi nanti pada masa kampanye. Dan biasanya, belum masuk pada masa kampanye sajapun, para calon itu sudah curi start mengumpulkan massa dengan beragam acara “akal-akalan”, mulai dari modus pengajian, olahraga, pemberian santunan, gotong royong dan lain-lain.
Pada saat pencoblosan nanti pun, sudah pasti akan terjadi kembali kerumunan massa, mulai dari panitia pemungutan suara, para saksi hingga para pemilih.
Di tengah kesadaran warga yang masih minim tentang penggunaan alat pelindung diri, apakah kita bisa berharap bahwa pada pelaksanaan tahapan Pilkada serentak itu warga mematuhi protokol kesehatan? Agaknya tidak mungkin.
Pun seperti itu, ternyata pemerintah tetap saja ngotot untuk melaksanakan Pilkada serentak. Presiden Jokowi mengisyaratkan pesta demokrasi itu tetap jalan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Prof. Machfud MD juga menguatkan dengan pernyataannya bahwa di Amerika Serikat sana, pelaksanaan pemilihan umumnya juga tidak ditunda.
Saran dua ormas terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah agar Pilkada serentak ditunda, juga tak mampu membuat pemerintah merevisi keputusannya. Presiden tetap bergeming. Padahal, banyak juga politisi senayan maupun di daerah serta tokoh bangsa yang mengusulkan penundaannya karena takut pandemi ini semakin meluas.
Nah, jika faktanya banyak pihak yang meminta penundaan Pilkada itu, lalu mengapa pemerintah justru memaksa agar tetap digelar? Apakah karena alasan regulasi? Atau alasan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi? Atau jangan-jangan karena “birahi” untuk memenangkan calon-calon tertentu?
Jika ditilik dari kebutuhan anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini yang nilainya mencapai Rp 4 Triliun (suara.com-3/9/2020) maka sangat penting agar pelaksanaannya ditunda.
Bukankah saat ini, rakyat sedang sangat kesulitan karena terdampak covid-19? Bukankah anggaran sebesar itu akan sangat bermakna, jika di-refocusing untuk kepentingan jaring pengaman ekonomi masyarakat?
Jika alasan ngotot pelaksanaan Pilkada serentak itu untuk memenuhi hak-hak demokrasi setiap warga negara, bukankah hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlindungan kesehatan dan ancaman keselamatan lebih mendasar?
Alasan tidak ada regulasi yang memungkinkan penundaannya, rasanya tidak mungkin. Refly Harun, seorang Pakar Hukum Tata Negara mengatakan, penundaan pilkada mungkin dilakukan. dengan adanya Pasal 201A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ( Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang kini telah ditetapkan sebagai Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020. (Kompas,com-21/9/2020)
Jika alasan-alasan yang dikemukan itu tidak beralasan, maka wajar publik mencurigai bahwa alasan sebenarnya adalah kepentingan untuk memenangkan calon-calon tertentu.
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret, Agus Riwanto mensinyalir sikap kukuh pemerintah tak ingin menunda gelaran Pilkada 2020 karena terkait erat dengan kepentingan dinasti politik.
“Incumbent banyak maju, begitu juga dinasti keluarga mulai dari menteri, wapres, presiden. Kalau sampai pilkada ditunda ya ini menyangkut kepentingan mereka juga,” kata akademisi itu kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/9/20).
Kita tahu, Putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon Wali Kota di Solo. Begitu juga menantunya, Bobby Nasution juga maju sebagai calon kepala daerah di Medan.
Sementara putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah juga maju di Pilkada Tangerang Selatan. Keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojojadikusumo juga maju dalam pemilihan wali kota di Tangsel bersama Muhammad.
Ada pula putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Hanindito Himawan Pramana yang mencalonkan diri sebagai Bupati Kediri. Belum lagi kandidat-kandidat lain yang memang diusung oleh partai pendukung pemerintah.
Alasan lain agar Pilkada serentak itu tetap dilaksanakan, kata Agus Riwanto karena terkait ongkos politik yang sduah dikeluarkan partai politik maupun calon yang akan maju.
“Mulai dari proses sampai tahapan pencalonan itu memakan biaya yang tidak murah. Belum lagi rekomendasi calon yang sampai berdebat, biaya mahar, apalagi sudah mendaftar. Ini agak sulit,” jelasnya.
Nah, jika dua hal itu yang sebenar-benarnya menjadi alasan utamanya. Lalu, apa tujuan kita berdemokrasi. Bukankah demokrasi itu menganut prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?
Keberadaan elit politik dan pejabat pemerintah sesungguhnya dihadirkan untuk menjamin hak-hak warga negara, bukan justru untuk menjadi alat meraih kekuasaan lalu memanfaatkannya demi kepentingan pribadi dan golongan.
Seharusnya keinginan rakyatlah yang menjadi pertimbangan. Ketika rakyat menghendaki dilakukan penundaan, maka lakukanlah karena ini konsekuensi berdemokrasi bahwa rakyat yang berdaulat.
Keinginan sekelompok warga yang akan menuntut pemerintah jika Pilkada serentak ini menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 juga harus ditangkap sebagai sinyal keinginan rakyat yang sangat menghendaki penundaannya.
Semoga harapan rakyat di tengah kekhawatiran terpapar Covid-19 ini mendapat respon yang baik dari pemerintah. Setidaknya, hak dasar warga negara untuk mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan dapat terpenuhi. (*)