mimbarumum.co.id – Saat matahari mulai meninggi dan panas mulai menyengat aspal kota, halaman Masjid Al-Jihad di Jalan Abdullah Lubis tak pernah sepi dari deru kendaraan. Para jemaah datang silih berganti, menenteng sajadah dan niat ibadah di tengah kesibukan kota. Namun, sebelum mereka melangkah ke dalam masjid, ada satu sosok yang selalu mereka temui pertama kali — seorang pria muda dengan rompi hijau lusuh, senyum ramah, dan peluit kecil di tangan.
Dialah Bagus Ariatriandi (24). Sejak dua tahun terakhir, Bagus setia berdiri di bawah terik matahari, hujan, dan debu kota. Bukan sebagai marbut, bukan pula pengurus masjid, melainkan sebagai tukang parkir. Pekerjaan yang kerap dianggap remeh, tapi tidak bagi Bagus — ia menjalaninya dengan sepenuh hati.
Bagus datang setiap hari dari Binjai. Perjalanan jauh itu ia tempuh tanpa mengeluh. “Berangkat pagi, sampai sini sebelum jam sepuluh. Pulang malam,” tuturnya sambil mengarahkan motor ke sisi kiri halaman masjid. Posisinya sebagai tukang parkir membuatnya menjadi wajah pertama yang menyambut setiap jemaah.
Tak ada seragam mewah, hanya rompi hijau stabilo yang warnanya mulai pudar, kaos abu-abu bermotif, celana jeans gelap, dan topi hitam yang ia kenakan terbalik. Tapi justru dari kesederhanaan itulah terpancar ketulusan. Bagus bukan sekadar tukang parkir — ia adalah penjaga keteraturan, pelayan diam di tengah keramaian.
Gajinya tak bergantung pada berapa banyak kendaraan yang datang. Dari masjid, ia menerima gaji tetap Rp2,5 juta per bulan. Tidak besar, tapi cukup, katanya. “Yang penting tenang, kerja di masjid bikin hati adem,” ucapnya ringan. Namun bukan berarti ia tak pernah menerima lebih. Banyak jemaah yang menyisipkan tip kecil sebagai ungkapan terima kasih.
Menariknya, Bagus tak selalu menyimpan tip itu untuk dirinya. Kadang, ia masukkan ke kotak infak. “Rezeki kan bisa datang dari mana saja,” katanya sambil tersenyum malu. Kalimat itu terdengar sederhana, tapi justru di situlah letak kekuatannya — ia bekerja bukan sekadar mencari uang, tapi mengejar keberkahan.
Di tengah dunia yang makin cepat dan tergesa, kisah Bagus menjadi pengingat bahwa pekerjaan apa pun, sekecil apa pun, bisa jadi ladang amal dan kebanggaan jika dijalani dengan niat yang tulus. Ia mungkin tak berdasi, tak duduk di balik meja ber-AC, tapi ia menjaga kenyamanan ratusan orang setiap harinya.
Di balik rompi lusuhnya, tersembunyi keteguhan hati dan keikhlasan yang jarang terlihat. Di tengah riuhnya Kota Medan, Bagus adalah satu dari sedikit orang yang masih percaya bahwa bekerja dengan hati jauh lebih bernilai daripada sekadar hitungan materi.
Penulis : Susanti Jambak
NIM : 0603221024
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
UINSU