SETIAP tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mengingatkan kita pada semangat persatuan dan perjuangan melawan penjajahan yang digelorakan oleh Boedi Oetomo pada 1908. Namun, di tengah gegap gempita kemerdekaan, nasionalisme hari ini diuji oleh berbagai masalah: korupsi yang merajalela, ketidakadilan hukum, kesenjangan pendidikan, dan ketimpangan ekonomi.
Bagaimana karya sastra Indonesia merefleksikan nasionalisme di tengah tantangan ini? Mari kita telusuri melalui beberapa mahakarya sastra yang masih relevan dengan kondisi terkini.
“Arok Dedes” (Pramoedya Ananta Toer) melawan korupsi dan kekuasaan yang zalim. Novel Pramoedya ini mengisahkan perebutan kekuasaan dan pengkhianatan: Arok melawan sistem feodal yang korup. Di Indonesia hari ini, kasus korupsi masih menjadi momok—seperti skandal korupsi dana COVID-19, BLBI, BUMN atau proyek infrastruktur yang dikorupsi elite politik.
Nasionalisme sejati harusnya mengutamakan kejujuran dan kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir orang. Seperti Arok yang memberontak terhadap ketidakadilan, kita pun harus berani menuntut akuntabilitas dari pemimpin.
“Rumah Kaca” (masih dari Pramoedya Ananta Toer) menyoroti ketidakadilan hukum dan pengkhianatan terhadap rakyat. Dalam tetralogi Bumi Manusia, Pram menggambarkan bagaimana hukum kolonial digunakan untuk menindas pribumi. Ironisnya, di era sekarang, hukum masih sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Kasus seperti penyalahgunaan wewenang oleh aparat– yang kini populer dengan sebutan parcok (oknum berseragam coklat), kriminalisasi aktivis, atau mafia peradilan menunjukkan bahwa keadilan masih menjadi impian. Nasionalisme harusnya berarti perlawanan terhadap ketidakadilan, seperti yang dilakukan tokoh Minke dalam novel tersebut—berjuang meski sistem menghancurkan dirinya.
“Laskar Pelangi” (Andrea Hirata) bicara tentang pendidikan sebagai fondasi nasionalisme. Novel ini mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Namun, hingga 2025, kesenjangan pendidikan masih lebar—sekolah di kota maju fasilitasnya lengkap, sementara di pelosok NTT atau Nias, banyak anak kesulitan akses.
Nasionalisme sejati adalah ketika negara hadir memastikan setiap anak Indonesia mendapat pendidikan berkualitas, bukan hanya bagi yang mampu.
“Salah Asuhan” (Abdul Muis) tentang mental inlander dan ketergantungan pada asing. Novel ini mengkritik mental inferior orang Indonesia yang mengagung-agungkan budaya asing. Hari ini, kita masih terjebak dalam ketergantungan impor, utang luar negeri, dan gaya hidup konsumtif yang melemahkan ekonomi nasional.
Nasionalisme ekonomi harusnya berarti kemandirian, seperti yang dicita-citakan Bung Hatta: berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Di tengah gempuran hoaks, polarisasi politik, dan pragmatisme, nasionalisme tidak boleh sekadar seremonial. Kita bisa belajar dari sastra bahwa kritik sosial adalah bentuk cinta tanah air, seperti yang dilakukan Pramoedya atau W.S. Rendra. Nasionalisme bukan hanya slogan, tapi aksi nyata: melaporkan korupsi, mendorong transparansi anggaran, atau menjadi relawan pendidikan.
Hari Kebangkitan Nasional 2025 harus menjadi momentum untuk mengoreksi diri sebagai bangsa. Karya sastra mengajarkan bahwa nasionalisme bukan hanya tentang bendera dan upacara, tapi tentang memperjuangkan keadilan, melawan korupsi, dan memastikan setiap warga merasakan kemerdekaan sejati.
Meminjam kata Pramoedya: “Nasionalisme adalah keberanian untuk mengakui realitas bangsa sendiri, lalu berjuang tanpa henti untuk memperbaikinya.”
Selamat Hari Kebangkitan Nasional! Bangkitlah, Indonesiaku!
• Suyadi San, pegiat sastra dan peneliti BRIN