Rabu, Juni 26, 2024

Buku Kumcer “Siksa Dosa di Ujung Usia” Warisan Lintas Generasi

Baca Juga

mimbarumum.co.idBuku kumpulan cerita pendek “Siksa Dosa di Ujung Usia” Karangan A. Yusran merupakan warisan budaya lintas generasi, baik kini maupun mendatang.

Hal itu menjadi simpulan sejumlah pengamat dan narasumber yang membedah buku tersebut di kompleks Taman Budaya Sumatra Utara, belum lama ini.

Ketua Deli Art Community, Dini Usman,  selaku penggagas acara kepada Mimbar, Selasa (5/4/22), mengatakan, Ali Yusran banyak meninggalkan karya tulis. Buku kumpulan cerita pendek “Siksa Dosa di Ujung Usia” adalah buku keduanya.

“Buku pertamanya terangkum dalam buku puisi berjudul Petapa Akhir Abad, Kumpulan 77 puisi yang diluncurkan pada tahun 2016,” sebut Dini.

Menurutnya, ke depan kumpulan esai kebudayaan dan novel almarhum Ali Yusran direncanakan untuk diterbitkan. Peluncuran cerpen berjudul “Siksa Dosa di Ujung Usia” akhir Maret lalu dilakukan untuk mengenang setahun kepergian A. Yusran sebagai salah satu pengarang di Sumatra Utara yang juga mengabdikan dirinya bagi gerakan perubahan sosial.

Pengarang yang terlahir dengan nama Ali Yusran bergelar Datuk Majoindo, kelahiran Bukittinggi, 19 Januari 1940 dan wafat pada 30 Maret 2021, meninggalkan lima orang anak dan delapan cucu.

Pengisi Rubrik Mimbar Umum

Menurut catatan Mimbar, almarhum A. Yusran alias Aly Yusran Dt. Modjoindo, sering mengisi rubrik Mimbar Budaya Harian Mimbar Umum. Bahkan, Redaktur Eksekutif Sabirin Thamrin berani meletakkan esai A. Yusran berjudul “Amok” di halaman pertama Mimbar Umum bersamaan konflik bersenjata yang parah di bumi Serambi, Aceh, tahun 2000.

“Semoga karya-karya karya A. Yusran bisa menyemarakkan dunia sastra dan mendorong berkembangnya gerakan literasi di Sumut dan Indonesia,” harap Dini Usman, penulis dan istri almarhum, penuh semangat.

Zulkifli, anak laki-laki tertua almarhum pada peluncuran buku itu mengaku sangat bangga menjadi anak biologis almarhum ayahnya tersebut. Kata jurnalis Medan ini, dari penjelasan narasumber dan tanggapan hadirin, ia semakin banyak mengerti jalan pikiran almarhum Ayahandanya selama ini.

“Sejauh ini ibu sambung sayalah (Dini Usman) yang bisa menerjemahkan pikiran-pikiran bapak saya,” katanya.

Aishah Bashar, seorang sahabat dekat almarhum yang berprofesi sebagai guru dan Kepala SMAN I Barus, Tapanuli Tengah mengungkapkan, Ali Yusran tidak saja sebagai kawan dalam dunia sastra tapi lebih dari itu.

“Datuk adalah seorang Ayah bagi kami. Ia tempat kami berkeluh kesah dan selalu menerima kami dalam kondisi apa saja. Pikiran-pikirannya luas, orangnya ramah dan sangat cerdas serta begitu peduli. Tenanglah di sana ya Datuk, kami semua menyayangimu,” kata Aishah dengan suara serak menahan air matanya agar tak tumpah.

Bedah

Kumpulan 13 cerita pendek dalam satu buku berjudul “Siksa Dosa di Ujung Usia” karya A. Yusran, dibedah Romulus Z.I. Siahaan, penyair sekaligus Bishop Gereja Methodist Merdeka Indonesia dan Tikwan Raya Siregar, pengamat sastra yang pandangan-pandangannya sangat tajam, dalam  dan mumpuni, dipandu Haykal Abimayu, aktor dan guru Bahasa Indonesia.

Aktor Eko Satrio menunjukkan kemampuannya dalam pertunjukan dramatical reading. Ia memilih sebuah cerpen “Di Sepenggal Waktu” karya A. Yusran untuk dipertunjukkannya dalam satu adegan yang memikat.

Keaktoran Eko tidak usah dipertanyakan lagi. Selain pandai bernyanyi ia berhasil menunjukkan penghayatannya terhadap teks-teks dalam cerpen. Olah vokalnya yang bagus dan kemampuan mengubah peran dari tokoh imajinatif itu mulus dimainkan secara apik.

Dalam paparannya, Romulus mengungkapkan kalau buku yang berisi ketiga belas cerpen ini menunjukkan isi pikiran, pengamatan pribadi bahkan potret pribadi dari pengarang yang dirinya cukup mengenal dan menjadi sahabat dalam diskusi yang bisa ditumpahkan berjam-jam bila bertemu.

“Apa yang ditulis dalam cerpen-cerpen ini menunjukkan pikiran-pikiran. Saya rasa karya ini memang sangat berguna bagi generasi mendatang,” katanya.

Tikwan Raya secara detail menjelaskan pemahamannya. Bagi Tikwan, karya Ali Yusran Datuk Majoindo yang lebih dikenal dengan nama pena A. Yusran ini merupakan sebuah tawaran untuk menemukan jalan pulang.

Memang, katanya kemudian, karya Pak Datuk tidak dimaksudkan untuk semua kalangan. Apalagi untuk generasi milenial yang kurang membaca.

Cerpen-cerpen Datuk ini sedikit peminatnya. Karena untuk memahami jalan pikirannya harus banyak membaca. Dan tentu saja harga yang harus dibayar mahal oleh pengarang sendiri ialah dirinya kesepian, karena jalan pikirannya tidak banyak diminati dan dimengerti oleh banyak orang ketika ia hidup, tapi hanya sedikit orang.

Reporter: Suyadi San

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Fraksi Demokrat Minta Pemko Medan Persiapkan Generasi Emas 2045

mimbarumum.co.id - Guna melahirkan generasi emas di Tahun 2045, Fraksi Demokrat DPRD Medan memberikan sejumlah masukan ke Pemko Medan...

Baca Artikel lainya