Bom Waktu Baru? Krisis Agraria Mengintai di Balik Tanah Eks HGU

Berita Terkait

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam kunjungannya ke Medan, Sumatera Utara beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa tanah eks HGU milik PTPN kini berstatus tanah negara bebas. Ini membawa dua sisi mata uang: angin segar untuk reforma agraria, sekaligus awan gelap potensi konflik agraria yang mengintai.

Secara teori, tanah negara memberi peluang untuk redistribusi lahan yang lebih adil kepada rakyat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan persoalan yang jauh lebih kompleks.

Siapa Menguasai?

Di Sumatera Utara, tercatat ada 5.873 hektare lahan eks HGU PTPN II yang kini berstatus tanah negara bebas. Lahan ini tersebar di Deliserdang seluas 3.366 hektare, di Langkat: seluas 1.210 hektare dan di Kota Binjai: seluas 1.057 hektare

Namun faktanya, banyak dari lahan tersebut telah dikuasai oleh individu, kelompok, ormas, mafia tanah, hingga korporasi besar.

Kondisi di lapangan menunjukkan saling klaim hak atas tanah yang sama, bahkan tumpang tindih kepemilikan. Ketika status hukum belum tuntas, tapi penguasaan fisik telah terjadi, maka konflik horizontal tak bisa dihindari.

Potensi konflik bisa terjadi antara warga desa vs ormas besar, petani kecil penggarap  vs pengusaha,  antar kelompok masyarakat sipil, bahkan bisa terjadi antar ormas.

Jika Reforma Agraria Tak Transparan

Jika distribusi tanah dilakukan tanpa mekanisme yang ketat, transparan, dan akuntabel, maka negara bisa menciptakan bom waktu sosial.

Terlebih lagi, distribusi tanah bisa menjadi alat transaksi politik elektoral, apalagi jika ada keterlibatan aktor politik dan oknum birokrasi yang menyalahgunakan wewenang.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 telah dengan tegas menyatakan bahwa tanah adalah untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Namun implementasi di lapangan kerap tersandera kepentingan kekuasaan dan ekonomi-politik.

Pemerintah tidak cukup hanya membagikan tanah. Ia harus hadir sebagai penjamin keadilan agraria dan kepastian hukum.

Untuk meminimalisir konflik dan memperbaiki kepercayaan publik, pemerintah harus melakukan audit tanah nasional, terutama tanah eks-HGU, untuk mengidentifikasi siapa yang menguasai dan atas dasar apa

Pemerintah juga harus membuka peta konflik dan tumpang tindih lahan secara publik agar dapat diuji secara sosial dan hukum.

Terpenting juga pemerintah segera membentuk badan independen yang melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi petani untuk mengawal distribusi lahan-lahan eks HGU tersebut. .

Prioritaskan Penggarap, Bukan Pemodal

Seyogyabta Pemerintah harus memprioritaskan penggarap tanah yang produktif dan bertanggung jawab, bukan mereka yang hanya bermodal besar atau memiliki kedekatan politik.

Distribusi tanah tak boleh menjadi alat transaksi kekuasaan, melainkan langkah nyata menuju keadilan sosial dan ekonomi.

Tanah seharusnya menjadi sumber kehidupan, kedaulatan, dan keadilan sosial, bukan pemicu konflik dan ketimpangan baru.

Pemerintah masih punya kesempatan untuk membuktikan bahwa reforma agraria bukan sekadar jargon, tapi komitmen nyata yang berpihak pada rakyat kecil dan petani.

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

Kurban Bergeser dari Esensi ke Formalitas? Refleksi Iduladha dan Keadilan Sosial

Setiap Iduladha tiba, suasana euforia menyelimuti banyak penjuru negeri. Masjid-masjid dipenuhi kegiatan penyembelihan hewan kurban. Relawan sibuk membagikan daging...