Benchmark-nya di Mana?

0
195

Pagi Medan !

Keknya gak bosan awak cerita kampong besar Medan nii laaa. Melihat geografisnya kampong awak ni berada di bagian timur laut pulau Sumatra, di 3,6% dari keseluruhan wilayah provinsi Sumatera Utara

Letaknya pas di tepi Sungai Deli dan Sungai Babura yang mengalir ke pelabuhan Belawan yang terlindung secara alami di sisi barat Selat Malaka.

Dulu, kata orang-orang tua kami, air kedua sungai ini bening dan menjadi tempat anak negeri mandi dan keperluan lain. Bahkan jadi rempat rendezvous.

Keknya dari sinilah kisah klasik buaya Deli dikiaskan. Raja ulok, raja piol dan tukang kombur pon sempat jadi hiasannya, sehingga sempat punya tagline agak cemanaaa gituu, “Ini Medan Bung”.

Tapi keknya, pagi ini awak gak banyak ceritakan hal di atas tadi. Tapi awak belajar dari banjir Jakarta baru-baru ini. Awak bukan laaa ahli untuk itu, tapi logika awak mengajak untuk melihat beberapa fakta yang bisa dipelajari.

Semisal Benchmark kota, atau titik ikat dasar kota untuk informasi dasar dan tolok ukur kontur kota. Hal ini keknya perlu dipahami pengelola kota untuk tidak terjebak kejadian seperti di Jakarta.

Dari data yang dulu pernah awak lihat waktu masih kerja-kerja proyek, Benchmark Kota Medan itu diukur dari titik 0 kota. Di sana dijadikan patok dasar ketinggian kota dari permukaan laut.

Memang ketingian itu bervariasi di seluruh kota, antara 2,5 dan 37,5 meter (8 kaki 2 in dan 123 kaki 0 ​​in) di atas permukaan laut, tapi kalau dijadikan patokan membangun dan menata wilayah, kota ini bisa lebih nyaman dan aman dari dampak negatif pemanfaatan lahan.

Dari data dasar elevasi kota itu keknya dulu Belanda merancang drainase kota. Tapi, Medan yang kini memiliki luas 26.510 hektare (265,10 km²) tentunya jalur drainasenya jauh lebeh panjang dari yang dibuat Belanda dulu.

Kalau drainasenya gak sinkron elevasinya dari pemukiman hingga anak sungai terdekat, tentunya itu bisa jadi ancaman.

Istimewa

Setidaknya itu yang belakangan ini pernah kita rasakan dampaknya. Hujan beberapa saat saja aer dah melimpah keluar paret. Keadaan makin berat saat debit sungai meningkat. Genangan makin luas dan lama surutnya.

Saat pembangunan tidak lagi menghitung tinggi rendahnya permukaan kota, aliran air buangan domestik dan tertutupnya permukaaan tanah tanpa memikir dampak, memperparah keadaan. Banjer meluas ke daerah yang tak punya sejarah banjer.

Keknya Belanda dulu gak salah kaleee menata ruang kota, sehingga memikirkan aspek ke belakamg pembangunan dan pengembangan kota, gak asal bangun dan bongkar.

Dari buku tentang kota dan diskusi sama kankawan awak yang peduli sama kota ni, awak cuma lihat sekali saja belanda membangun dengan membongkar bangunan sebelumnya, yaitu gedung Bank Mandiri di sudut jalan Raden Saleh dan Balaikota.

Tapi, kalau sekarang, Lapangan Merdeka yang menjadi alun-alun kota pon dah macam diperkosa. Untuk kepentingan bisnis, kepentingan publik untuk alun-alun kota dikorbankan.

Padahal Lapangan Merdeka itu Benchmark nya kota Medan, dimana dulu awak memakainya untuk patok mengukur elevasi sebuah proyek. Hebatnya, Lapangan Merdeka tu juga Benchmark proklamasi di kawasan Sumatera Timur, di sana proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan untuk pertama sekali di Sumatera Timur..

Hehehe awak gak tau lagi sekarang apa proyek-proyek dalam kota, terutama jalan, drainase, perpipaan masih memakainya menjadi Benchmark. Kalok la iya, itu mantap dan itu #LebihManusiawi.

Dengan begitu resiko dan kesalahan pembangunan terhadap lingkungan bisa dieliminir da dicarikan jalan keluarnya saat proyek memang sangat penting dan bertubrukan dangan kondisi alam dan ancamannya. Cocok klen rasa?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini