Beranda blog Halaman 2600

Tragedi Pilu di Bulan Ramadhan

0

Medan, (Mimbar) – Seorang siswi SMA yang masih duduk di bangku sekolah kelas 1, sebut saja namanya Bunga (17) warga Belawan mengaku telah disekap selama 2 hari dan diperkosa oleh pria yang baru ia kenal, B (22) warga Jalan Garuda Perumnas Mandala, Percut Sei Tuan, Deliserdang.

Atas peristiwa itu keluarga korban tak terima, sehingga Bunga dibawa keluarganya ke Polsek Percut Sei Tuan guna membuat laporan pengaduan, Jumat (10/6) siang.

Bunga ketika ditanyai wartawan di kantor polisi mengungkapkan, sebelum peristiwa keji yang menimpanya itui terjadi, Senin (6/6) pagi ia ditelepon oleh teman perempuannya, W yang juga warga Belawan. Disitu W meminta Bunga supaya menjemputnya di daerah Jalan Garuda Perumnas Mandala.

“Aku sempat mengatakan kepada W jika aku tak mengetahui Jalan Garuda. Namun W memaksa dan menjelaskan alamat yang dimaksud. Selanjutnya aku naik angkot dan tiba di warung internet (Warnet) Jalan Garuda. Aku masuk ke dalam warnet, namun W tak ada di lokasi,” ungkapnya.

Korban menambahkan, tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya dan memperkenalkan namanya dengan inisial B, yang juga pemilik warnet. Saat itu, sambung Mawar, B menarik tangannya menuju ke ruang tamu dan memperkenalkannya kepada ibu dan kakak pelaku.

“Pelaku mengatakan kepada ibu dan kakaknya jika aku pacarnya. Padahal aku baru pertama itu kenal dengan pelaku. Kakak pelaku mengatakan jika B ingin menikah, terlebih dahulu membuatku hamil, dan itu membuat aku sangat terkejut serta syhock,” katanya.

Setelah itu, tambah korban, pelaku menarik tangan Bunga menuju kamar di lantai 2 rumah yang sekaligus dijadikan warnet tersebut. B saat itu langsung mengunci pintu kamar. Bunga menyempatkan diri berkata kepada pelaku jika ia hendak pulang lantaran sedang berpuasa. Namun B mengancam akan membuang serta menelantarkannya, sebab Bunga tak tau jalan-jalan di Perumnas Mandala.

“Dengan terpaksa aku hanya bisa diam lantaran di ancam. Pelaku kemudian turun ke lantai 1 untuk menjaga warnetnya, dan mengunciku di dalam kamar. Saat sore tiba, pelaku mengantar makanan bukaan berpuasa. Pelaku kembali lagi ke lantai 1, dan aku terkurung di dalam kamar hingga malam dan tertidur lelap,” ujarnya.

Dibeberkan korban lagi, Selasa sekira pukul 02.00 WIB, tiba-tiba B masuk ke dalam kamar dan membangunkan Bunga. Saat itu, lanjutnya, pelaku mengancam korban supaya jangan berteriak. Di bawah ancaman, pelaku dengan leluasa memperkosa korban hingga terjadi pendarahan. Usai berbuat bejat, pelaku meninggalkan korban di dalam kamarnya dalam keadaan terkurung.

“Hingga Rabu siang aku tetap dikurung B di dalam kamarnya. Sorenya pelaku kembali ke kamar dan melihat cincin emasku, serta memintaku menjualnya. Namun aku menolaknya, tetapi pelaku kembali mengancam akan membuang serta menelantarkan aku. Aku ketakutan, sehingga menyetujuinya. Pelaku mengajakku ke lantai 1, dan kemudian memboncengku dengan sepedamotornya menuju Jalan Aksara,” ucapnya.

Bunga melanjutkan, di Jalan Aksara cincin emasnya terjual dengan harga Rp 180 ribu. Namun B justru memaksa dan mengancam supaya uang tersebut dibagi dua.

“Saat diancam, aku tak bisa berbuat apa-apa sehingga uang itu dibagi dua. Pelaku meninggalkanku di Jalan Aksara, dan kemudian aku menumpangi angkot menuju rumahku,” tutupnya.

Orangtua korban serta kakak-kakaknya saat ditanyai mengaku heran, sebab pada Jumat pagi Bunga terlihat murung. Pihak keluarga menginterogasi korban, namun ia tak berani menceritakan peritiwa naas yang dialaminya. Setelah didesak, baru Bunga bercerita kepada keluarganya. Sontak seluruh keluarga terkejut dan tak terima, sehingga membawa Bunga ke kantor polisi guna membuat laporan.

Pantauan wartawan, korban didampingi keluarganya masih menjalani pemeriksaan di ruang unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polsek Percut Sei Tuan. (An)

Orang Terhormat di Palas Ditangkap

0

Sibuhuan, ( Mimbar ) – Meski menyandang predikat sebagai orang yang terhormat, justru perilaku seorang anggota DPRD Kabupaten Palas ini berbanding terbalik. Oknum legislator itu bersama sejumlah rekanya ditangkap polisi karena ketahuan bermain judi.

Personil Reserse dan Kriminal ( Reskrim ) Polres Tapanuli Selatan (Tapsel), pada awalpekan lalu menangkap dua orang penjudi kartu leng di Kecamatan Huristak, tepatnya di Desa Gunung Manaon sekira pukul 02.00 dinihari . Salah satu tersangka judi Leng tersebut seorang anggota DPRD Kabupaten Palas Berinsial GH.

Kapolres Tapsel AKBP Rony Samtana SIK. MTCP dikonfirmasi wartawan , Rabu ( 15/6) memalui telelpon seluler , membenarkan pengakapan kasus 303 tentang perjudian dengan dua orang tersangka , satu diantarnya adalah anggota DPRD Palas bernisial GH dari Partai Hanura yang juga Ketua Komisi A DPRD Palas .

Dikatakan, penangkapan terhadap kedua tersangka pemain judi di TKP Kecamatan Huristak , berdasarkan informasi dari masyarakat setempat yang menginformasikan tentang maraknya judi jenis kartu leng diwilayah tersebut .

“Atas dasar informasi yang diberikan masyarakat tersebut, Saya langsung memerintahkan Kasat Reskrim Polres Tapsel AKP Jamakita Purba , untuk melakukan pengerebekan dilokasi perjudian yang dinfokan masyarakat, ” kata AKBP Rony

Sekretaris DPC Partai Hanura Palas Burhanuddin ketika dikonfirmasi Mimbar perihal penangkapan salah seorang kader partai, menyatakan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat kepolisian.

Namun dia meminta semua pihak untuk menhgedepankan asas praduga tak bersalah. “Masih kita tunggu dari pihak Polres nantinya. Apabila terbukti bersalah secara hukum, maka akan kita limpahkan kewenangannnya kepada penegak hukum,” ucapnya.

Selanjutnya, katanya partai akan menindaklanjuti hal itu dengan menyampaikannya ke pimpinan wilayah untuk diambil kebijakan. (Sly)

Awas Telat Sadar

0

Menarik ketika membaca sebuah postingan teman, pada suatu malam. Sembari menyandarkan diri di dipan empuk yang sedari awal memang sudah menjanjikan ku relaksasi dan sebuah mimpi indah, aku membaca postingan itu dengan seksama. Tentu permaisuri ku protes. Setelah seharian bekerja di kantor dan pulang agak larut malam, aku tak lantas mengajaknya bercengkerama. Malahan serius dengan gadget yang aku pegang. Disitu, istriku merasa aku dua-kan. Sejenak aku sapa dia dan belai kepalanya untuk mengakomodir protesnya. Lalu, mataku kembali ke segenggam benda elektronik di depanku.

Postingan berupa tulisan itu, bagiku sangat menarik dan menggelitik. Teman itu menceritakan sejarah tentang kekalahan sebuah imperium besar yang menguasai sepertiga bumi selama lebih tiga abad. Negara adidaya itu takluk hanya oleh kekuatan kecil yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan.

Negara Islam dibawah kekuasaan Bani Abbasiyah itu berhasil dihancurkan pada sekitar tahun 1258 oleh bangsa Mongol yang nomaden. Selain memprihatinkan, peristiwa itu juga menyisakan duka yang sangat mendalam dan persoalan kemanusiaan yang luar biasa.

Selama 40 hari non stop, katanya, kaum muslimin dibantai. Kota dibakar, wanita diperkosa dan dibunuh, bayi disembelih, jutaan tengkorak kaum muslimin ditumpuk menjadi bangunan pyramid. Tanah memerah dengan genangan darah. Sementara Sungai Tigris menghitam akibat tinta dan ribuan kitab di perpustakaan Bait al Hikmah dibuang ke dalamnya.
***

Yang besar dibantai yang kecil, itu memang sangat mungkin. Yang mayoritas dibantai minoritas juga bukan tidak mungkin. Hancurnya Negara Islam, seperti yang diceritakan di atas itu bisa terjadi karena memang pemimpin dan umat ketika itu menganggap remeh bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan. Mereka baru tersentak dan tersadar, ketika satu persatu wilayah Negara itu telah hancur.

Saya yakin, teman yang mempostingkan tulisan itu tidak hanya sekadar menyampaikan rasa keprihatinannya atas kondisi yang dialami sebuah Negara besar, bisa dikalahkan hanya oleh bangsa kecil yang kekuasaannya ketika itu sangat terbatas. Tetapi dia juga bermaksud mengingatkan siapa saja yang membaca postingannya agar tetap sadar. Jangan sampai terlambat baru menyadari atau seperti kata pepatah “nasi sudah menjadi bubur” dan kata seorang bijak “penyesalan itu datangnya belakangan”.

Teman tadi dalam tulisannya juga mengajak kita mengingat-ingat kejadian pada tahun-tahun lalu, ketika untuk pertama kalinya simbol “Naga Merah” muncul dalam logo hari ulang tahun (HUT) Propinsi DKI Jakarta. Lalu, dia juga menyandingkan dengan fenomena betapa massifnya baru-baru ini penggunaan logo “Palu Arit” di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Benarkah ini sebuah kebetulan, dua logo yang berasal dari satu ideologi yang sama (komunis) muncul secara beriringan di negeri ini?

Dalam perang-perang klasik, menancapkan panji-panji (simbol) di pusat-pusat kerajaan lawan, itu bertujuan untuk memberitahukan bahwa pemilik simbol telah mampu melakukan penaklukan atas wilayah tersebut. Itu juga makanya paska bentrok OKP di Kota Medan beberapa waktu lalu, aparat kepolisian segera melakukan pembersihan simbol-simbol OKP di sejumlah tempat karena keberadaan simbol-simbol itu seakan melegalisasi “kekuasaan” OKP di daerah tertentu. Ini dianggap bisa memicu konflik susulan karena ada upaya saling klaim.

Tindakan kepolisian, meski ketegasannya itu belum menunjukkan kesungguhan penuh tetapi tentunya yang melatarbelakangi tindakan pembersihan pamflet, posko dan coretan-coretan cat itu karena menyadari bahwa simbol-simbol itu memiliki makna tertentu.

Dan memang, manusia itu dikenal sebagai makhluk simbol, yakni seringkali mengasosiasikan dirinya dengan simbol-simbol tertentu. Jadi, simbol-simbol itu sesungguhnya memang memiliki makna dan perhatian khusus dari manusia. Sehingga keliru kalau dikatakan bahwa pemakaian logo “Palu Arit” yang gujug-gujug (tiba-tiba) ramai itu dianggap sesuatu yang sama sekali tidak bermakna apa-apa.

Berbanding terbalik dengan apa yang justru dialami simbol-simbol Islam di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Banyak simbol-simbol Islam yang dipermaslahkan kehadirannya. Wanita muslim menggunakan hijab (pakaian panjang dan berkerudung lebar sesuai syar’i) justru dipersoalkan. Ketika pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), misalnya mewajibkan berbusana muslim/muslimah, banyak yang memprotesnya.

Tragisnya, ketika seseorang yang menggunakan cadar atau gamis, justru dicurigai sebagai kelompok teroris atau sempalannya yang harus diwaspadai. Demikian juga seorang pria berjenggot dan menggunakan celana di atas mata kaki juga mendapat perlakuan aneh. Ada juga seorang pemuda yang mengenakan kaos oblong bertuliskan kalimat tauhid “Lailahaillallah” yang berarti sebuah bentuk pengakuan atas keimanannya kepada Tuhan Yang Esa, malahan di tangkap.

Masih banyak lagi perlakuan buruk yang dialami siapa saja ketika ingin menunjukkan simbol-simbol Islam dalam kehidupannya. Seakan itu haram. Akhirnya mereka dihadapkan pada dua pilihan, konsisten dengan simbol yang sangat dia hormati namun harus rela termarjinalkan di lingkungan sekitarnya atau harus mengikuti arus dengan menanggalkan simbol-simbol itu untuk tetap bisa memiliki bargaining di tengah-tengah lingkungan.

Ironi memang. Mayoritas justru terasing di negaranya sendiri. Sementara minoritas bisa bebas mengekspresikan nilai-nilai yang mereka yakini.

Mari kita ingat. Tak sampai setahun sejak simbol “Naga Merah” muncul, banyak masyarakat pribumi di Jakarta yang justru terusir dari tempat tinggalnya. Ada ratusan kasus penggusuran di ibu kota. Proyek reklamasi dan demi penataan kota yang lebih baik menjadi salah satu senjata pengusiran. Pada sisi lain, mereka yang jumlahnya lebih kecil itu justru terus melebarkan basis koloni dan menguatkan pondasi ekonominya.

Yang membuat kita seharusnya risih adalah ketika kita sibuk mengirim ribuan tenaga kerja ke luar negeri karena kesempatan kerja di dalam negeri yang sangat terbatas, pada saat yang bersamaan justru masuk ribuan tenaga kerja asal Cina. Mereka bukanlah pekerja professional dengan kemampuan tertentu, tetapi mereka hanyalah sebatas pekerja non formal (buruh kasar) yang kemampuan bekerjanya (baca : etos) belum tentu lebih baik dari tenaga kerja yang ada di republik ini.

Tidak mungkinkah di antara ribuan pekerja itu ada disusupkan sejumlah orang yang bertugas untuk melakukan infiltrasi? Ingatkah kita tentang kasus 5 orang pekerja dari Cina yang melakukan penyusupan dan berhasil menggali tanah di kawasan pangkalan udara militer Halim Perdana Kusuma? Benarkah itu hanya sebatas persoalan remeh temeh atau administrasi keimigrasian belaka?

Memang wajar jika muncul kecurigaan. Terlebih setelah terkuaknya kasus Lion Air yang menurunkan penumpang asal Singapura, bukannya ke terminal kedatangan luar negeri tetapi justru ke terminal domestik sehingga penumpang yang ada lolos dari pengecekan pihak keimigrasian. Teman tadi dalam postingannya mengajak pembaca untuk mengenali siapa pemiliki Lion Air dan apa posisinya di dalam lingkungan Istana Merdeka.
***

Fakta-fakta itu seharusnya sudah bisa menyentakkan kesadaran kita dari lamunan dan khayalan atau bahkan dari tidur nyenyak. Tapi ya itu, kata kawan tadi, penyakit kita adalah hanya kaget saja sesaat setelah itu “bobok” lagi. Umat ini juga banyak yang mengidap penyakit lupa. Sering lupa bahwa serigala itu kerap memakai jaket berbulu domba.

Sebenarnya tak berlebihan jika ada sebagian pihak yang mewanti-wanti tentang maraknya investasi Cina yang dibarengi dengan masuknya ribuan tenaga kerjanya di dalam negeri, bisa jadi adalah bagian dari aktivitas susup menyusup.

Apalagi memang sekarang ini orang luar gampang sekali menyusup karena memang ada celah sangat besar di sana. Lihat saja, Mendagri sudah sangat longgar mengeluarkan kebijakan, untuk pembuatan e-KTP tidak perlu ada pengantar dari RT/RW setempat. Alasannya untuk mengejar target segera semua rakyat Indonesia memiliki data kependudukan elektronik.

Bukankah ini berbahaya. Seorang RT/RW yang menjadi unit paling kecil dalam sistem keamanan lingkungan (Siskamling) bakalan tidak akan lagi bisa sepenuhnya mengenal warga yang ada di lingkungannya. Kebijakan yang pasti akan memudahkan siapa saja untuk mengantongi identitas sebagai warga Negara.

Kecemasan seperti apa yang terjadi dalam sebuah film Trojan War mudah-mudahan tidak terjadi di negeri tercinta ini. Maraknya investasi dan masuknya buruh asing itu semoga bukan meniru strategi perang dalam film itu. Ketika kita sudah lengah dan terpesona lalu jumlah mereka pun sudah membanyak, selanjutnya ribuan pasukan naga itu menyerang pertiwi. Semoga itu bukan bagian dari strategi. Dan jika pun memang iya, maka seharusnya kita sudah siaga membenahi posisi berdiri, jangan telat sadar. Karena penyesalan pasti datang belakangan.

Perang Proxy

0

Peringatan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo tentang Proxy War (perang proksi) tidak boleh diabaikan begitu saja. Seorang panglima perang mengatakan hal itu, tentunya berdasarkan data dan fakta yang nyata, bukan sekadar bicara belaka.

Proksi war adalah perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Musuh tidak lagi menggunakan kekuatan militer untuk melumpuhkan negeri ini, tetapi cukup dengan menanamkan ide-ide tertentu yang akan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa.

Sesungguhnya perang proksi ini sudah pernah terjadi pada  sejak hampir seratus tahun lalu. Dimana ketika itu, Barat menyadari bahwa perang fisik tidak akan pernah mampu mengalahkan kekuatan Islam.  William Ewart Gladstone (1809-1898), mantan PM Inggris mengatakan: “Percuma kita memerangi umat Islam, dan tidak akan mampu menguasasinya selama di dalam dada pemuda-pemuda Islam bertengger Al-Qur’an. Tugas kita sekarang adalah mencabut Al-Qur’an dari hati mereka, baru kita akan menang dan menguasai mereka. Minuman keras dan musik lebih menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam. Oleh karena itu tanamkanlah ke dalam hati mereka rasa cinta terhadap materi dan seks.”

Ini adalah bentuk perang proksi yang memang mulai diterapkan para kapitalis. Dan mereka berhasil mencapai kemenangan itu. Kejayaan peradaban Islam terhenti berbarengan dengan bubarnya Daulah Islamiyah di Turki.  Umat Islam ketika itu tidak lagi menjadikan Islam sebagai pedoman hidup. Islam dibatasi hanya pada ranah ibadah ritual semata. Penganutnya hanya sibuk menjalankan ibadah mahdhoh, yakni hubungannya kepada Sang Pencipta. Padahal, Islam tidak hanya mengatur itu. Islam adalah peratuan hidup yang juga mengajarkan tentang ekonomi, politik, hubungan manusia dengan manusia lainnya juga hubungan manusia dengan alam.

Ketika prinsip Islam itu tercerabut dari hati umatnya, disanalah titik lemah itu berada. Umat Islam tidak lagi menganggap sesama muslim sebagai saudara.Mereka sudah terkotak-kotak dengan semangat-semangat primordial, semangat ke-suku-an, semangat ke-daerah-an atau ke-wilayah-an, dan semangat senasib sepenanggungan. Bukan lagi semangat ideologi Islam.

Barat akhirnya dengan mudah menaklukkan Islam, lalu membagi-bagi negeri-negeri muslim itu sebagai daerah jarahan. Semua negeri-negeri muslim tunduk di ketiak negara kapitalis. Kondisi ini, hingga hari ini masih terjadi, meskipun secara dejure, negara-negara itu sudah merdeka namun secara defakto-nya mereka belum berdaulat secara penuh. Jikapun tidak seluruhnya, namun banyak kebijakan-kebijakan dari para penguasa negeri-negeri Islam yang kini bercera-berai itu selalu mendapat intervensi asing.

***
Kembali ke persoalan kekhawatiran Panglima TNI tentang perang proksi ini, maka itu sebuah kewajaran. Dan memang faktanya, Daulah Islam yang begitu hebatnya ketika itu saja akhirnya bisa hancur.

Peperangan budaya yang disebutkan Panglima TNI, faktanya memang sudah massif terjadi di negeri ini. Rakyat negeri ini lebih mengidolakan artis-artis barat yang berperilaku jauh dari adat ketimuran. Berpakaian seksi dan umbar aurat menjadi sebuah trend yang digemari. Pesta minuman keras, pesta kencan, dan clubbing,  menjadi tradisi baru di negeri ini. Tak gaul rasanya, jika belum pernah masuk ke dalam ritual itu. Teranyar adalah “pemaksaan” perkawinan sejenis masuk dalam legislasi negeri ini. Perilaku lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sudah terang-terangan diperkenalkan kepada generasi bangsa. Perilaku yang nyata-nyata menyimpang norma adat dan agama itu, justru sudah ada yang membelanya. Ironinya, pembelaan itu justru datang dari orang-orang yang dianggap faham agama.

Infiltrasi asing melalui ekonomi yang juga dikhawatirkan Panglima TNI itu, justru keberadaanya semakin menggurita. Pemerintah malahan mengajak asing untuk beramai-ramai mengelola kekayaan alam negeri ini. Berapa banyak sudah tambang emas, tambang minyak, tambang batubara, dan tambang mineral lainnya yang  dikuasai asing.

Ketika rakyat negeri ini sibuk dengan aktifitas yang tidak produktif, ketika generasi bangsa ini fikirannya rusak karena “bius kenikmatan” seks dan narkoba, ketika rakyat negeri ini larut dengan kehidupan yang hanya mementingkan pemuasan nafsu hewan-nya, ketika rakyat negeri ini miskin karena tidak ada lagi kekayaan alam yang bisa dikelola untuk dinikmati, maka pada saat itulah negeri ini hilang dari peta peradaban dunia.

Orang-orang asing dengan sistem kapitalismenya itu akan menjadi tuan di negeri ini. Kita akan menjadi jongos untuk memuaskan keinginan mereka. Lalu, tidakkah kita menyadari ancaman ini?

***
Ketika rakyat negeri ini “saling memukul”, itu juga menjadi bagian dari perang proksi. Konflik atas nama ke-suku-an dan ke-daerah-an muncul. Juga konflik atas nama agama terus mengemuka. Ironinya, konflik sesama Islam pun terjadi hanya karena perbedaan pendapat terhadap perkara-perkara khilafiyah.Terbaru adalah apa yang menjadi pernyataan Banser NU belum lama ini . Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor H Yaqut Cholil Qoumas menyerukan anggotanya untuk menangkap  dan mengamankan siapa saja  yang menyuarakan penegakan  syariat Islam secara kaffah. Bukankah ini bisa memicu konflik sesama muslim?

Jika ada perbedaan pandangan terkait itu, semestinya dilakukan diskusi untuk mencari titik temu dan titik benarnya. Bukan langsung menghakimi pihak lain yang dianggap berseberangan pandangan. Bukankah mereka juga selalu melontarkan tagline Islam yang damai?

Tentu ini adalah bagian dari perang proksi itu. Musuh tidak perlu bersusah payah memukul dan terciprat darah untuk melemahkan perjuangan umat Islam, cukup sesama muslim itu saja diperadukan.

Seandainya keberanian Banser itu disampaikan kepada siapa saja yang menyakiti saudaranya sesama muslim, alangkah itu sangat bijaknya. Banyak saudara kita yang menjadi korban kekejaman asing. Malah, ketika kini Islam selalu diidentikkan dengan teroris, mungkin itu lebih tepat untuk kita sikapi. Jikapun memang ada fakta, sejumlah saudara kita melakukan aksi kekerasan dan melakukan tindak pidana dalam memperjuangkan apa yang diyakininya, maka seyogyanya kita nasihati untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar. Wallahu’alam.