Menarik ketika membaca sebuah postingan teman, pada suatu malam. Sembari menyandarkan diri di dipan empuk yang sedari awal memang sudah menjanjikan ku relaksasi dan sebuah mimpi indah, aku membaca postingan itu dengan seksama. Tentu permaisuri ku protes. Setelah seharian bekerja di kantor dan pulang agak larut malam, aku tak lantas mengajaknya bercengkerama. Malahan serius dengan gadget yang aku pegang. Disitu, istriku merasa aku dua-kan. Sejenak aku sapa dia dan belai kepalanya untuk mengakomodir protesnya. Lalu, mataku kembali ke segenggam benda elektronik di depanku.
Postingan berupa tulisan itu, bagiku sangat menarik dan menggelitik. Teman itu menceritakan sejarah tentang kekalahan sebuah imperium besar yang menguasai sepertiga bumi selama lebih tiga abad. Negara adidaya itu takluk hanya oleh kekuatan kecil yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan.
Negara Islam dibawah kekuasaan Bani Abbasiyah itu berhasil dihancurkan pada sekitar tahun 1258 oleh bangsa Mongol yang nomaden. Selain memprihatinkan, peristiwa itu juga menyisakan duka yang sangat mendalam dan persoalan kemanusiaan yang luar biasa.
Selama 40 hari non stop, katanya, kaum muslimin dibantai. Kota dibakar, wanita diperkosa dan dibunuh, bayi disembelih, jutaan tengkorak kaum muslimin ditumpuk menjadi bangunan pyramid. Tanah memerah dengan genangan darah. Sementara Sungai Tigris menghitam akibat tinta dan ribuan kitab di perpustakaan Bait al Hikmah dibuang ke dalamnya.
***
Yang besar dibantai yang kecil, itu memang sangat mungkin. Yang mayoritas dibantai minoritas juga bukan tidak mungkin. Hancurnya Negara Islam, seperti yang diceritakan di atas itu bisa terjadi karena memang pemimpin dan umat ketika itu menganggap remeh bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan. Mereka baru tersentak dan tersadar, ketika satu persatu wilayah Negara itu telah hancur.
Saya yakin, teman yang mempostingkan tulisan itu tidak hanya sekadar menyampaikan rasa keprihatinannya atas kondisi yang dialami sebuah Negara besar, bisa dikalahkan hanya oleh bangsa kecil yang kekuasaannya ketika itu sangat terbatas. Tetapi dia juga bermaksud mengingatkan siapa saja yang membaca postingannya agar tetap sadar. Jangan sampai terlambat baru menyadari atau seperti kata pepatah “nasi sudah menjadi bubur” dan kata seorang bijak “penyesalan itu datangnya belakangan”.
Teman tadi dalam tulisannya juga mengajak kita mengingat-ingat kejadian pada tahun-tahun lalu, ketika untuk pertama kalinya simbol “Naga Merah” muncul dalam logo hari ulang tahun (HUT) Propinsi DKI Jakarta. Lalu, dia juga menyandingkan dengan fenomena betapa massifnya baru-baru ini penggunaan logo “Palu Arit” di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Benarkah ini sebuah kebetulan, dua logo yang berasal dari satu ideologi yang sama (komunis) muncul secara beriringan di negeri ini?
Dalam perang-perang klasik, menancapkan panji-panji (simbol) di pusat-pusat kerajaan lawan, itu bertujuan untuk memberitahukan bahwa pemilik simbol telah mampu melakukan penaklukan atas wilayah tersebut. Itu juga makanya paska bentrok OKP di Kota Medan beberapa waktu lalu, aparat kepolisian segera melakukan pembersihan simbol-simbol OKP di sejumlah tempat karena keberadaan simbol-simbol itu seakan melegalisasi “kekuasaan” OKP di daerah tertentu. Ini dianggap bisa memicu konflik susulan karena ada upaya saling klaim.
Tindakan kepolisian, meski ketegasannya itu belum menunjukkan kesungguhan penuh tetapi tentunya yang melatarbelakangi tindakan pembersihan pamflet, posko dan coretan-coretan cat itu karena menyadari bahwa simbol-simbol itu memiliki makna tertentu.
Dan memang, manusia itu dikenal sebagai makhluk simbol, yakni seringkali mengasosiasikan dirinya dengan simbol-simbol tertentu. Jadi, simbol-simbol itu sesungguhnya memang memiliki makna dan perhatian khusus dari manusia. Sehingga keliru kalau dikatakan bahwa pemakaian logo “Palu Arit” yang gujug-gujug (tiba-tiba) ramai itu dianggap sesuatu yang sama sekali tidak bermakna apa-apa.
Berbanding terbalik dengan apa yang justru dialami simbol-simbol Islam di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Banyak simbol-simbol Islam yang dipermaslahkan kehadirannya. Wanita muslim menggunakan hijab (pakaian panjang dan berkerudung lebar sesuai syar’i) justru dipersoalkan. Ketika pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), misalnya mewajibkan berbusana muslim/muslimah, banyak yang memprotesnya.
Tragisnya, ketika seseorang yang menggunakan cadar atau gamis, justru dicurigai sebagai kelompok teroris atau sempalannya yang harus diwaspadai. Demikian juga seorang pria berjenggot dan menggunakan celana di atas mata kaki juga mendapat perlakuan aneh. Ada juga seorang pemuda yang mengenakan kaos oblong bertuliskan kalimat tauhid “Lailahaillallah” yang berarti sebuah bentuk pengakuan atas keimanannya kepada Tuhan Yang Esa, malahan di tangkap.
Masih banyak lagi perlakuan buruk yang dialami siapa saja ketika ingin menunjukkan simbol-simbol Islam dalam kehidupannya. Seakan itu haram. Akhirnya mereka dihadapkan pada dua pilihan, konsisten dengan simbol yang sangat dia hormati namun harus rela termarjinalkan di lingkungan sekitarnya atau harus mengikuti arus dengan menanggalkan simbol-simbol itu untuk tetap bisa memiliki bargaining di tengah-tengah lingkungan.
Ironi memang. Mayoritas justru terasing di negaranya sendiri. Sementara minoritas bisa bebas mengekspresikan nilai-nilai yang mereka yakini.
Mari kita ingat. Tak sampai setahun sejak simbol “Naga Merah” muncul, banyak masyarakat pribumi di Jakarta yang justru terusir dari tempat tinggalnya. Ada ratusan kasus penggusuran di ibu kota. Proyek reklamasi dan demi penataan kota yang lebih baik menjadi salah satu senjata pengusiran. Pada sisi lain, mereka yang jumlahnya lebih kecil itu justru terus melebarkan basis koloni dan menguatkan pondasi ekonominya.
Yang membuat kita seharusnya risih adalah ketika kita sibuk mengirim ribuan tenaga kerja ke luar negeri karena kesempatan kerja di dalam negeri yang sangat terbatas, pada saat yang bersamaan justru masuk ribuan tenaga kerja asal Cina. Mereka bukanlah pekerja professional dengan kemampuan tertentu, tetapi mereka hanyalah sebatas pekerja non formal (buruh kasar) yang kemampuan bekerjanya (baca : etos) belum tentu lebih baik dari tenaga kerja yang ada di republik ini.
Tidak mungkinkah di antara ribuan pekerja itu ada disusupkan sejumlah orang yang bertugas untuk melakukan infiltrasi? Ingatkah kita tentang kasus 5 orang pekerja dari Cina yang melakukan penyusupan dan berhasil menggali tanah di kawasan pangkalan udara militer Halim Perdana Kusuma? Benarkah itu hanya sebatas persoalan remeh temeh atau administrasi keimigrasian belaka?
Memang wajar jika muncul kecurigaan. Terlebih setelah terkuaknya kasus Lion Air yang menurunkan penumpang asal Singapura, bukannya ke terminal kedatangan luar negeri tetapi justru ke terminal domestik sehingga penumpang yang ada lolos dari pengecekan pihak keimigrasian. Teman tadi dalam postingannya mengajak pembaca untuk mengenali siapa pemiliki Lion Air dan apa posisinya di dalam lingkungan Istana Merdeka.
***
Fakta-fakta itu seharusnya sudah bisa menyentakkan kesadaran kita dari lamunan dan khayalan atau bahkan dari tidur nyenyak. Tapi ya itu, kata kawan tadi, penyakit kita adalah hanya kaget saja sesaat setelah itu “bobok” lagi. Umat ini juga banyak yang mengidap penyakit lupa. Sering lupa bahwa serigala itu kerap memakai jaket berbulu domba.
Sebenarnya tak berlebihan jika ada sebagian pihak yang mewanti-wanti tentang maraknya investasi Cina yang dibarengi dengan masuknya ribuan tenaga kerjanya di dalam negeri, bisa jadi adalah bagian dari aktivitas susup menyusup.
Apalagi memang sekarang ini orang luar gampang sekali menyusup karena memang ada celah sangat besar di sana. Lihat saja, Mendagri sudah sangat longgar mengeluarkan kebijakan, untuk pembuatan e-KTP tidak perlu ada pengantar dari RT/RW setempat. Alasannya untuk mengejar target segera semua rakyat Indonesia memiliki data kependudukan elektronik.
Bukankah ini berbahaya. Seorang RT/RW yang menjadi unit paling kecil dalam sistem keamanan lingkungan (Siskamling) bakalan tidak akan lagi bisa sepenuhnya mengenal warga yang ada di lingkungannya. Kebijakan yang pasti akan memudahkan siapa saja untuk mengantongi identitas sebagai warga Negara.
Kecemasan seperti apa yang terjadi dalam sebuah film Trojan War mudah-mudahan tidak terjadi di negeri tercinta ini. Maraknya investasi dan masuknya buruh asing itu semoga bukan meniru strategi perang dalam film itu. Ketika kita sudah lengah dan terpesona lalu jumlah mereka pun sudah membanyak, selanjutnya ribuan pasukan naga itu menyerang pertiwi. Semoga itu bukan bagian dari strategi. Dan jika pun memang iya, maka seharusnya kita sudah siaga membenahi posisi berdiri, jangan telat sadar. Karena penyesalan pasti datang belakangan.