Beranda blog Halaman 2469

Alumni UI Bicara Petugas Pemilu Tewas Hingga Soal People Power

0

mimbarumum.co.id – Ikatan Keluarga Besar (IKB) Universitas Indonesia mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menemui dua pimpinan, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, terkait kecurangan Pemilu 2019.

Perwakilan alumni yang hadir sekitar lebih dari 20 orang itu menyoroti banyaknya anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia. Data terakhir yang dihimpun, korban meninggal hingga 600 orang.

Juru Bicara IKB UI, Ahmad Nur Hidayat, menilai peristiwa yang memakan korban jiwa itu terjadi karena proses rekrutmen yang salah.

“Dalam proses rekrutmen seorang anak manusia warga negara Indonesia, itu menurut kami tidak tepat. Sudah bisa masuk dalam abuse of recruitment atau disebut slavery modern atau perbudakan modern,” kata Ahmad saat menyampaikan pandangannya di Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, (14/5/2019).

Ahmad menyampaikan, kerisauan mereka terhadap kondisi saat ini dinilai sudah menjadi kekhawatiran bersama. Kalangan terdidik atau ia sebutkan masyarakat intelektual organik perlu bersuara. Oleh karena itu, wacana pemberontakan sosial atau people power yang belakangan muncul baginya adalah hal yang wajar.

“Kami melihat arus bahwa ini gejolaknya luar biasa. Dan kalau seandainya dari pejabat negara, wakil-wakil rakyat institusi pemerintah bertindak status quo seperti ini, membiarkan tidak ada langkah konkret, maka kami takutkan people power terjadi,” kata dia.

“Dan bisa jadi, UI, kami mempelopori people power manakala kecurangan, penyimpangan, kebohongan, terus dipertontonkan di hadapan masyarakat tanpa ada penyelesaian konkret dari aparat atau pejabat negara yang berwenang,” kata Ahmad.

Sementara itu, Djuju Purwantoro selaku Koordinator Advokasi Hukum IKB UI mendesak agar pemerintah mengungkap secara tuntas sebab akibat kematian massal petugas pemilu.

Mereka juga meminta kepada DPR dan Bawaslu untuk melakukan investigasi terhadap kecurangan-kecurangan proses Pemilu 2019. Menurut Djuju, selama prosesnya telah terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif.

“Kami menyatakan kematian massal anggota KPPS tersebut sebagai bencana nasional yang patut mendapat perhatian serius pemerintah,” ujarnya. (viva/rin)

TKN: Penolakan Prabowo Pembelajaran Buruk dalam Demokrasi

0

mimbarumum.co.id – Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Kyai Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily mengatakan Prabowo kembali mengulangi sikapnya seperti dalam Pilpres 2014 yang lalu. Prabowo tidak menerima hasil perhitungan KPU yang memenangkan Jokowi-JK.

“Hal yang sama juga dilakukan dalam Pilpres 2019 ini di mana Prabowo juga menolak hasil rekapitulasi suara yang nanti akan resmi diumumkan KPU pada tanggal 22 Mei 2019,” kata Ace melalui keterangan tertulisnya, Selasa 14 Mei 2019.

Menurutnya, ini merupakan pembelajaran yang buruk dalam kehidupan demokrasi. Dalam demokrasi, ada prinsip dasar yang harus dijunjung tinggi oleh siapa pun bahwa kita harus siap menang dan juga harus siap kalah.

“Itu prinsip dasar dalam kontestasi berdemokrasi. Kita harus harus menghormati pilihan rakyat. Mereka telah menentukan pilihannya untuk menjadikan Jokowi-Kyai Ma’ruf sebagai Capres-Cawapres 2019 ini,” kata Ace.

Menurutnya, seharusnya Prabowo-Sandi malu kepada rakyat. Dalam sebuah survei dinyatakan bahwa 92,5 persen rakyat Indonesia menerima siapa pun yang terpilih Presidennya. Rakyat sendiri memiliki kesadaran yang tinggi atas prinsip berdemokrasi ini.

“Justru elit-elitnya yang tidak siap berdemokrasi,” kata Ace. (viva)

Caleg PDIP Laporkan Amien Rais dkk

0

mimbarumum.co.id – Caleg PDIP Dewi Tanjung melaporkan Amien Rais, Habib Rizieq, dan Bachtiar Nasir ke Polda Metro Jaya. Mereka dilaporkan atas dugaan makar terkait ajakan people power.

“Perkaranya sama dengan yang kita sangkakan kepada Saudara Eggi Sudjana, people power, dan itu orasinya Bapak Amien Rais langsung di depan KPU tanggal 31 Maret 2019,” kata Dewi kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2019).

“Sebenarnya saya ini mau laporkan barengan dengan Eggi sudjana kemarin, tapi kemarin kurang alat bukti. Jadi hari ini saya laporkan dengan Habib Rizieq dan Bachtiar Nasir,” imbuh dia.

Selain atas Amien Rais, Dewi mengaku melaporkan Habib Rizieq Syihab dan Bachtiar Nasir. Dirinya menjelaskan, dari video yang beredar, Habib Rizieq disebutnya juga pernah menyerukan people power, sedangkan Bachtiar menyerukan revolusi.

“Sama, saya melihat itu dari video yang beredar di grup WA bahwa dia (Habib Rizieq) menyerukan people power dan menyerukan Pak Jokowi untuk turun,” jelasnya.

“Bachtiar Nasir saya lihat di video YouTube dia menyerukan revolusi, revolusi, berkali-kali, itu ada juga barang buktinya di tim kuasa saya, ada empat,” sambungnya.

Dewi mengatakan, dalam laporannya hari ini, sudah menyertakan alat bukti berupa compact disc (CD) yang berisi orasi ketiga orang terlapor. Dirinya berharap polisi segera melakukan pengusutan.

“Saya berharap ketiga-tiganya sampai ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,” ucapnya.

Selain itu, Dewi menjelaskan alasan Eggi dan terlapor lainnya tetap bersalah atas dugaan makar. “Tidak usah menunggu terjadi (makar), masa kita mau menunggu negara kita hancur baru kita laporkan, niat itu sudah bentuk makar, apalagi diucapkan di hadapan publik dan mengajak. Bahasa Eggi itu mengajak,” sebutnya.

Laporan Dewi diterima polisi dengan nomor LP/2998/V/PMJ/Ditreskrimum tanggal 14 Mei 2019 dengan tuduhan pemufakatan jahat atau makar dan atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik Pasal 107 KUHP dan/atau Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP juncto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP dan/atau pasal 15, 16 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dan/atau pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 10 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (detc)

Refly Harun: Kewajiban Negara Itu Melindungi Rakyat, Bukan Mengancam

0

mimbarumum.co.id – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan negara seharusnya bertindak untuk menghadirkan rasa aman kepada seluruh rakyatnya.

Demikian disampaikan pria kelahiran Palembang 26 Januari 1970 itu dalam unggahannya di Twitter, Minggu (12/5/19).

Selain menghadirkan perlindungan, Refly juga menyebut negara harus hadir dengan keadilan dalam konteks perbedaan pendapat. Negara, menurutnya, tidak boleh beda dalam memperlakukan pihak yang mendukung, mapun pihak yang oposan.

“Kewajiban negara itu melindungi segenap bangsa, bukan menakuti, apalagi mengancam. Negara harus adil memperlakukan semua warganegara, baik yang sependapat maupun yang berbeda pendapat,” katanya.

Unggahan Refly mendapat dukungan dari netizen. Mereka sepakat, bahwa negara harus adil dan mengayomi semua rakyat tanpa terkecuali.

“Idealnya memang begitu, Prof. Yang masalah itu kan ketika sebgian rakyat berbeda pendapat dan mengkritisi kebijakan pengelola negara, lantas distigmakan dengan upaya untuk merongrong kekuasaan yang diamanatkan rakyat kepada pengelola negara itu sendri. Terus kami rakyat sebagai bos mesti gimana?” tulis @Ronz_80.

Sementara @andarizqiwahab menanyakan tentang konsekuensi yang harus ditanggung negara ketika melakukan ancaman terhadap warganya.

“Kalau warga negara sangat jelas konsekuensinya apabila mengancam kedaulatan negara sesuai yang diatur dalam perundang-undangan. Tapi kalau negara yang melakukan itu bagaimana seharusnya rakyat bersikap?” tandasnya.

Beberapa waktu terakhir, publik Indonesia disuguhkan dengan rencana yang dicetuskan oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, yang menyebut akan membentuk Tim Asistensi Hukum.

Wiranto menjelaskan, tim bentukannya itu akan bertugas melakukan pengawasan dan penilaian terhadap percakapan para tokoh di media sosial. Jika dinilai ada yang melanggar hukum, tim tersebut juga diberi wewenang untuk memberikan rekomendasi kepada penegak hukum.

Banyak pihak menilai, langkah Wiranto sebagai bentuk memberantas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan esensi dari kehidupan berdemokrasi. (rmol)

Ini Beda Nasib HS Dan S Di Depan Hukum

0

mimbarumum.co.id – Hermawan Susanto (HS, 25), pemuda yang berteriak akan memenggal kepala Jokowi saat demo di depan Bawaslu, Jumat (10/5) telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Sudah ditangkap berarti sudah tersangka,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono, Minggu (12/5/19).

Argo menjelaskan, penangkapan terhadap HS dilakukan oleh Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya di Parung, Kabupaten Bogor. HS disangka melakukan tindak pidana kejahatan keamanan negara dan tindak pidana di bidang ITE dengan modus pengancaman terhadap Presiden RI.

“Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 KUHP dan Pasal 27 ayat 4 jucto Pasal 45 ayat 1 UU ITE,” imbuh Argo.

Pasal 104 KUHP sendiri berbunyi:

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Sementara Pasal 27 ayat 4 berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan atau pengancaman.

Hingga saat ini, HS masih menjalani pemeriksaan. Argo menyebutkan, jumpa pers terkait kasus yang menjerat HS akan dilakukan pada esok hari, Senin 13 Mei 2019.

Diketahui, HS tampak dalam video yang direkam ketika aksi penyampaian pendapat di depan gedung Bawaslu pada Jumat (10/5) lalu. Dalam video tersebut, HS tampak berulang kali menyebut siap akan memenggal kepala Jokowi.

“Dari Poso nih siap penggal kepalanya Jokowi, siap penggal kepalanya Jokowi. Jokowi siap lehernya kita penggal, dari Poso, demi Allah!” katanya dalam video yang viral tersebut.

Sebenarnya, kasus semacam ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada tahun 2018 lalu, pernah juga ada seorang remaja yang melakukan tindakan pengancaman terhadap Presiden Jokowi.

Pemuda yang diketahui berinisial S itu mengaku akan menembak dan memasung kepala Presiden. Ia juga menantang Presiden agar menangkapnya dalam waktu 24 jam.

Tak hanya mengancam, S bahkan juga menyebut Jokowi sebagai kacung. Aksinya itu diabadikan dalam video yang kemudian viral di media sosial.

“Gua tembak kepalanya, gua pasung kepalanya. Ini kacung gua, gua pasung kepalanya. Jokowi gila, gua bakar rumahnya. Presiden gua tantang lu cari gua 24 jam, lu ngga temuin gua, gua yang menang,” katanya dalam video tersebut.

Namun, nasib S jauh lebih baik daripada HS yang kini terancam dijerat dengan pasal makar. Pasalnya, S tidak tersentuh hukum, bahkan aksi yang dilakukannya hanya disebut sebagai senda gurau dan kenakalan remaja saja.

“Jadi yang bersangkutan hanya bercanda ya. Jadi intinya dia hanya lucu-lucuan dengan teman-temannya untuk berlomba itu. Artinya bahwa dia ingin mengetes apakah polisi mampu menangkap,” ujar Argo Yuwono saat itu, Rabu 23 Mei 2018.

Lebih lanjut, Argo juga menyebut S dalam pengakuannya tidak berniat untuk menghina, melecehkan atau bahkan mengancam ingin membunuh presiden.

“Yang bersangkutan juga menyesali perbuatannya, dan dia juga tidak membenci Presiden,” imbuh Argo. (rmol)

KPU Dilaporkan Ke Mahkamah Internasional?

0

mimbarumum.co.id – Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) akan melaporkan dugaan kecurangan Pilpres 2019 dan misteri meninggalnya ratusan KPPS ke Mahkamah Internasional.

Adapun, laporan dilayangkan ke tiga mahkamah yakni International Criminal Court (ICC), International of Human Right Commission (IHRC), dan International Commision of Jurist (ICJ).

“Pemilu 2019 ini sebagai pemilu paling buruk pasca reformasi. Maka dari itu, kejahatan demokrasi dan kecurangan Pemilu 2019 ini akan kami laporkan kepada tiga Mahkamah Internasiona tadi,” ujar Pembina LPKAN Wibisono, dalam keteragannya di Jakarta, Minggu (12/5/19).

Wibisono menegaskan, tujuan pelaporannya tersebut untuk menunjukkan keseriusan mereka demi kebaikan demokrasi di Indonesia. Sebab, ratusan nyawa manusia melayang bukan perkara biasa, melainkan kejahatan kemanusiaan yang brutal.

“Tercatat sudah hampir 600 orang yang meninggal dunia, penyelenggara Pemilu telah lalai, ini jelas tidak wajar. Apalagi nama-nama yang meninggal tidak diumumkan ke publik,” kata Wibisono.

Selain itu, kata Wibisono, pihaknya juga telah membuat petisi yang telah ditandatangani oleh ribuan masyarakat Indonesia untuk mendesak oknum penyelenggara Pemilu yakni komisioner KPU untuk dipidanakan.

“Petisi Pidanakan KPU telah mendapat dukungan dari masyarakat, sampai hari ini (12/5) tercatat yang terdaftar di Petisi Center sudah 4.000 orang, kita juga banyak menerima aduan kecurangan lain,” demikian Wibisono. (rmol)

Polri : Belum Ada Potensi Rusuh

0

mimbarumum.co.id – Mabes Polri melalui Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menegaskan hingga kini belum ada potensi yang menjurus kerusuhan dan ancaman tindak terorisme saat penetapan hasil Pilpres 2019 oleh KPU.

“Potensi kerusuhan, dari hasil deteksi intelijen di lapangan tidak ada. Belum mengarah ke sana,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (14/5).

Namun, kemungkinan adanya potensi kerusuhan diakuinya saat ini hanya di tataran sosial media. Untuk itu, sambung jenderal bintang satu ini, pihaknya akan berkoordinasi dengan Badan Sandi dan Siber Negara Kominfo akan mentake down akun-akun yang menyebarkan konten negatif berupa provokasi massa.

“Kami juga lakukan kegiatan patroli mulai sekarang hingga menjelang tanggal 22 baik dengan Kominfo dan BSSN, take down memblokir akun-akun yang menyebarkan konten hoax atau konten yang menghasut, agitasi, dan memprovokasi,” jelas Dedi.

Apabila tidak mengindahkan, sambung Dedi, akun-akun yang dianggap provokasi maka dilakukan upaya terakhir, yakni penindakan hukum.

“Direktorat Siber Bareskrim akan melakukan penindakan terhadap akun-akun yang menyebarkan hal tersebut,” pungkas Dedi. (rmol)

Data IT BPN : Prabowo-Sandi Menang 54,42 Persen

0

mimbarumum.co.id – Anggota Tim IT BPN Prabowo-Sandi, Laode Kamaludin mengklaim Prabowo-Sandi meraih 54,42 persen suara berdasarkan catatan BPN terhadap form C1. Sementara Jokowi-Ma’ruf hanya 44,14 persen.

“Data tanpa kecurangan yang kita miliki pada jam 12 hari ini, posisi kita 54,24 persen (48 juta suara). Jokowi 44,24 persen (39 juta suara),” kata Laode di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa 14 Mei 2019.

Ia menjelaskan angka ini berasal dari data total TPS 51 persen lebih. Ia mengklaim bagi ahli statistik angka ini sudah valid.

“Dan ini yang perlu kita jaga, dan teman-teman IT. Bagaimana jika ada yang mau nantang data ini? Kita persilakan, kita adu data saja. Dan kita ketahui ini dihimpun oleh sejumlah relawan,” kata Laode.

Ia menambahkan data C1 yang dihitungnya sudah diverifikasi dan divalidasi. Meski data ini masih berjalan tapi bisa dipertanggungjawabkan.

“Pertanyaannya, mana datamu? Ini dataku. Kita memasuki era baru yaitu big data dan inilah kita sampai keyakinan bahwa Prabowo-Sandi presiden RI 2019-2024,” kata Laode.

Dalam menghitung angka tersebut ia melakukan semacam simulasi secara acak. Diantaranya dengan menghitung acak form C1.

“Bagaimana posisi kita secara acak. Kalau itu lima belas persen (C1) dapat berapa, kalau posisi 29 persen dapat berapa, kalau 37 persen dapat berapa. Dan semua beri angka stabil kita (Prabowo-Sandi) stabil di angka 58-54 persen,” kata Laode.

Senada dengan Laode, Jubir BPN Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan kalau ada yang menuding ini hoax, maka ia menantang adu data.

“Jadi kalau ada yang bilang hoaks, ini waktunya kita berdebat, adu data jangan sampai ini semua ditangkap karena dianggap menebar hoaks,” kata Dahnil pada kesempatan yang sama. (viva)

Ditahan Polisi, Eggi Sudjana Protes

0

mimbarumum.co.id – Tersangka kasus dugaan makar, Eggi Sudjana, memprotes penahanan dirinya. Menurut Eggi, dia adalah advokat dan tak dapat dipidana atau digugat, baik di dalam maupun di luar sidang.

“Pihak kepolisian telah menetapkan saya sebagai tahanan untuk 20 hari ke depan, tapi saya tidak menandatangani atau saya menolak sebagai ditahan begitu. Karena ada lima alasan, antara lain saya sebagai advokat,” kata Eggi setelah diperiksa di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2019).

Dia mengatakan, menurut UU Nomor 18 Tahun 2003 Pasal 16, advokat tidak dapat dipidana atau digugat, baik di dalam maupun di luar sidang. Itu keputusan juga dari Mahkamah Konstitusi Nomor 26 Tahun 2014.

Alasan berikutnya, kata Eggi, dia menyatakan harusnya ada proses soal kode etik advokat terlebih dulu terhadap dirinya. Dia juga menyatakan proses perkara di kepolisian harusnya menunggu putusan praperadilan yang diajukannya.

“Ketiga, berkait dengan praperadilan, saya sudah ajukan praperadilan minggu lalu. Mestinya diproses dulu praperadilan. Kemudian keempat berkait dengan gelar perkara, gelar perkara mesti dilakukan sesuai dengan Perkap Kapolri Nomor 14 Tahun 2018, kurang-lebih itulah. Tapi sisi lain pihak kepolisian juga punya kewenangan, kita ikuti kewenangannya,” jelasnya.

Dia berharap mendapat keadilan dalam proses hukum yang sedang dijalaninya.

“Saya juga punya kewenangan sebagai advokat dan kita sesuai dengan profesional, modern, dan tepercaya, di sini kita ikuti prosesnya. Semoga keadilan akan didapat kita semua,” ucap Eggi.

Penyidik Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya sebelumnya menangkap tersangka kasus makar, Eggi Sudjana. Dia ditangkap penyidik Pola Metro Jaya pada pukul 06.25 WIB.

Eggi ditangkap berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/1012/V/2019/Ditreskrimum, tertanggal 14 Mei 2019. Argo mengatakan surat pemberitahuan penangkapan itu dibacakan saat Eggi diperiksa.

Polisi telah menetapkan Eggi Sudjana sebagai tersangka dengan Pasal 107 KUHP dan/atau Pasal 110 KUHP juncto Pasal 87 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menjelaskan Eggi memenuhi panggilan sebagai tersangka kasus makar pada Senin (13/5) pukul 16.30 WIB. Akan tetapi, saat itu Eggi menyampaikan menolak diperiksa sebagai tersangka.

Argo kemudian menjelaskan soal mengapa Eggi Sudjana harus ditangkap. Menurut Argo, penangkapan adalah subjektivitas penyidik, mengingat Eggi kurang kooperatif saat pemeriksaan.

“Dengan pertimbangan subjektivitas penyidik. Ya seperti tadi, dia mau diperiksa tapi menolak atau dia nanti keluar, kita kemudian mau sita HP-nya tidak dikasihkan, ya untuk barang bukti. Iya jadi intinya penyidik punya penilaian tersendiri, subjektivitas penyidik untuk melakukan surat perintah penangkapan tersebut,” papar Argo.(detc)

Prabowo Tolak Penghitungan KPU

0

mimbarumum.co.id – Capres Prabowo Subianto menolak hasil penghitungan Pemilu 2019 yang dilakukan KPU. Ia menilai penghitungan KPU penuh kecurangan.

“Kami masih menaruh harapan kepadamu (KPU). Tapi sikap saya yang jelas saya akan menolak hasil penghitungan pemilu. Hasil penghitungan yang curang. Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran,” kata Prabowo dalam simposium ‘Mengungkap Fakta Kecurangan Pemilu 2019’ di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5/2019).

Ia mengaku masih menaruh harapan kepada KPU. Prabowo pun mengimbau KPU agar tidak meneruskan kecurangan yang selama ini dilakukan di Pemilu 2019.

“Kami mengimbau insan-insan di KPU, kau anak-anak Indonesia yang ada di KPU, sekarang nasib masa depan bangsa Indonesia ada di pundakmu,” ujarnya.

“Kau yang harus memutuskan. Kau yang harus memilih menegakkan kebenaran dan keadilan demi bangsa dan rakyat Indonesia atau meneruskan kebohongan dan ketidakadilan, berarti kau mengizinkan penjajahan terhadap rakyat Indonesia,” tegas Prabowo.

Sementara itu, ahli ekonomi Rizal Ramli menyampaikan dugaan kecurangan Pemilu 2019 yang menyebabkan kerugian bagi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Menurut Rizal, kecurangan pada pemilu kali ini luar biasa.

“Tahun 2014 sebenarnya ada kecurangan. Memang skalanya relatif kecil. Tapi tetap kecurangan. Pak Prabowo waktu itu legawa berbesar hati tidak mau ramai, tidak mau protes, nerimo. Tapi kali ini skala kecurangannya luar biasa,” kata Rizal di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5/2019).

Dia menyebut kecurangan itu terjadi sejak pilpres belum dimulai. Rizal menyinggung adanya daftar pemilih palsu yang mencapai 16,5 juta.

“Sebelum pilpres, pada saat pilpres, dan setelah pilpres. Yang paling signifikan adalah daftar pemilih palsu atau abal-abal yang jumlahnya 16,5 juta,” ujarnya. (detc)