Medan, (Mimbar) – Organisasi buruh di Kota Medan menilai penetapan upah minimum kota (UMK) yang ditetapkan pemerintah belum layak mendapat apresiasi karena masih jauh dari rasa keadilan buruh.
“UMK yang baru dinaikkan (pemerintah) itu belum dapat diapresiasi dan diberi jempol. Buruh belum merasakan keadilan mendapatkan penghidupan yang layak,” kata Genueri Gea, SH., selaku Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 Propinsi Sumatera Utara, Kamis (22/12) lalu.
Meski begitu, aktifis itu meminta pemerintah kota tetap melakukan pengawasan atas implementasi kenaikan UMK Kota Medan tahun 2017 mendatang yang telah ditetapkan naik sebesar 11,34 persen atau menjadi Rp2.528.815. Dia berharap pihak terkait mengawal ketetapan itu sehingga para pengusaha atau pemilik perusahaan menjalankan ketentuan tersebut dengan benar.
Genueri menambahkan, seyogyanya sebelum menetapkan kebijakan upah buruh itu, Pemerintah melakukan kordinasi dan menjalin hubungan baik dengan sejumlah serikat buruh yang ada di Sumut.
“Serikat buruh yang paling mengetahui apa keinginan buruh. Jadi, Pemerintah dalam mengambil keputusan jangan sesuka hati dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Selama ini serikat buruh hanya di pandang sebelah mata,” ucapnya kesal.
Dia menyebutkan, besaran upah yang telah ditetapkan pemerintah itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan buruh yang masih berstatus lajang. Sementara buruh yang sudah berumah tangga dan memiliki anak, maka upah tersebut masih sangat kurang.
“Anak-anak perlu sekolah. Pemerintah harusnya lebih manusiawi menetapkan gaji buruh. Harus ada kesimbangan. Jangan ada kesan kesenjangan, seakan-akan buruhnya hanya dibutuhkan tenaganya saja,” paparnya.
Pada bagian lain, Ketua SBSI 1992 Sumut itu mengkritisi peratuan pemerintah (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan yang dianggapnya bertentangan dengan undang-undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, agar segera dihapus.
“PP 78 juga melanggar UUD 1945 yang menjamin orang untuk hidup layak,” katanya. (Jep)