Oleh : Rizanul Arifin
Awak pernah baca tulisan Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Proffesor Dr Komaruddin Hidayat. Dalam tulisan itu dia bertanya, “Bagaimana ketika akar rumput itu mengering?
Mungkin kini awam sudah paham apa yang dimaksud akar rumput saat ini. Itu merupakan analogi untuk eksistensi dan fungsi rakyat bawah atau rakyat kecil yang masif.
Mereka ini memiliki kekuatan sebagai penyangga jajaran elite yang berada di atas. Tanpa dukungan rakyat kecil, kehidupan berbangsa dan bernegara ini akan mudah ambruk ketika diterpa guncangan politik. Lebih bahaya lagi ketika akar rumput itu mengering, akan mudah sekali terbakar atau dibakar.
Hanya dengan lemparan sebuah puntung rokok yang menyala, rumput itu akan mudah tersulut karena akarnya pun sudah mengering. Mereka mengering karena banyak penyebabnya. Bisa jadi karena kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, meningkatnya jumlah pengangguran, buruknya kesehatan, yang semua ini akan mendekatkan pada keputusasaan dan menggerus kepercayaan rakyat pada pemerintah.
Jika akar rumput ini sudah mengering dan meluas maka sangat mudah terbakar dan menghanguskan bangunan-bangunan capaian atau prestasi yang sudah diraih selama ini. Sekali lagi, yang dimaksud akar rumput itu tak lain adalah rakyat kecil. Lantaran kecil dan jumlahnya banyak, maka mereka dianalogikan dengan rumput.
Kalaupun dedaunan rumput itu terlihat mengering, namun jika akarnya masih kuat tertanam di bawah permukaan tanah, maka ketika mendapatkan siraman hujan, rumput itu akan seketika tumbuh subur menghijau. Namun jika yang kering itu sudah merasuk sampai akarnya, mudah sekali terbakar dan dapat menghanguskan hutan dan bangunan di sekitarnya ketika jilatan apinya dihempas angin.
Demikianlah adanya, jika rakyat sudah sampai pada titik lelah, jenuh, dan terhimpit oleh tekanan ekonomi yang dirasakan semakin sulit, maka mereka mudah sekali diprovokasi untuk meluapkan kekesalan dan kemarahannya yang bisa menciptakan kerusuhan dan keresahan sosial.
Sepertinya tulisan Proffesor ini jauh sebelumnya sudah jadi pikiran Wiji Thukul seorang aktivis kondang di eranya sampai zaman now. Sajaknya yang dia kasi judul “Apa Guna”.
Wiji di puisinya itu mengatakan “Apa guna punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli. Apa gunanya banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata berdiri gagah kongkalikong
dengan kaum cukong
Di desa-desa rakyat dipaksa menjual tanah tapi, tapi, tapi, tapi dengan harga murah
Apa guna punya ilmu kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.
Suai kali keknya pola pikir profesor dan penggemar sambal bawang dan ikan asin tu. Mereka seakan saling balas pikiran tentang kalangan-kalangan anak negeri. Yang serupa awak tengok sudut pandang seputar “akar rumput” yang berbahaya saat sudah kering. Bisa mati dan mematikan strata per strata, apalagi ada bantuang angin dan kipas.
Tadi malam awak penasaran sama status kawan awak Onny Kresnawan tentang film “Nyanyian Akar Rumput”. Akhirnya awak dan beberapa kawan pon nonton laaa. Keknya boleh laaa status Onny tu, film Dokumenter dengan latar kisah Fajar Merah, anaknya Wiji Thukul, gubahan Yuda Kurniawan agak lebeh padat isinya ketimbang film tentang Wiji Thukul.
Memenangkan Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik Festival Film Indonesia 2018. Film dokumenter ini penuh cuplikan sejarah tumbuh kembang akar rumputnya Wiji.
Fajar bersama band Merah Bercerita yang dibentuknya sejak tahun 2010 didukung keluarganya, mencoba menghidupkan kembali puisi-puisi Ayahnya
Alunan nadanya berisikan satir-satir tentang pemimpin, politik dan pemilu. Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi satu contoh orang tersindir setelah orde baru dan tim Mawar yang pernah memanas setelah 16 tahun tragedi 98, yang diiringi menghilangnya sang penulis puisi satir itu, berlalu.
Fajar Merah dan keluarganya, bagai akar rumput yang hampir kering dan mati, sempat menaruh harapan besar kepada Presiden Joko Widodo, yang telah berjanji untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, menemukan Wiji Thukul dan korban penghilangan paksa lainnya.
Sayangnya, film nyanyian akar rumput tidak menuntaskan kisahnya setelah lima tahun berharap. Entah akan ada episode lain akar rumput untuk menunggu, akankah Presiden Jokowi mampu menepati janji-janjinya?
Awak piker itu mungkin ada, mengingat Fajar Merah belum memainkan sebuah lagu satir gubahannya dari pusi sang ayah dengan judul “Hari Itu Aku Akan Bersiul-siul”, mungkin karena penyampaiannya lebih lembut dari sang ayah yang meledak-ledak. Itu habat dan #LebihManusiawi.
Awak tetap penasaran, akankah ada pusi-puisi satir dan akar rumput kuat lain abes ni, dan tidak ada belenggu mengiringinya, apalagi lenyap seiring embun pagi menyapa mawar merah di taman-taman hati nan bersih. Cocok klen rasa? []