- Potret Kemiskinan Warga Kota Medan (9)
mimbarumum.co.id – Gang Bidan dan Gang Merdeka. Ini dua dari beberapa lokasi di 18 lingkungan Kelurahan Sei Mati, di Jalan Brigjen Katomso, Medan Maimun, Kota Medan, yang kehidupan masyarakatnya masih berada di bawah garis kemiskinan.
Sebanyak 75% kepala keluarga (KK) yang mendiami daerah tersebut, berprofesi sebagai pencari ban bekas. Sisanya, menjadi pedagang kedai kecil. Mulai dari jajanan anak-anak, sampai belanja kebutuhan keluarga (sembako). Ban-ban bekas kendaraan, tampak menghiasi depan dan belakang rumah warga di lokasi dataran rendah dan gang sempit itu.
Bangunan-bangunan rumah pun kebanyakan dibuat bertipe lantai dua. Karena daerah tersebut sangat akrab dengan banjir. Misalnya, pada bulan penghujan Oktober, meski baru memasuki periode awal, lingkungan yang berada di bibir bagian hilir Sungai Deli yang membelah kota Medan, ini, sudah merasakan banjir sebanyak empat kali. Tak tanggung-tanggung, ketinggian air bisa mencapai empat meter. Cukup untuk menenggelamkan rumah tipe biasa (berlantai satu).
Henri, Kepala Lingkungan (Kepling)-1 pun menunjukkan bekas-bekas rendaman banjir yang ketinggiannya mencapai meteran listrik. Katanya, pendapatan dan daya beli masyarakat yang rendah, menyebabkan lingkungan tempat tinggal mereka, beranak-pinak, pun, menjadi sangat kumuh.
Henri menjelaskan kepada MimbarUmum, Jumat (7/10) kemarin, untuk Gang Bidan dan Gang Merdeka, jumlah KK-nya mencapai 327, didominasi kaum pencari ban bekas.
Di sana, memang ada pembagian PKH (program keluarga harapan). Tetapi tidak merata. Tidak adil. Berdasarkan keterangan salah seorang warga Gang Merdeka, Pak Pulungan –yang setiap pagi membantu isterinya berjualan lontong di pinggir rumah anaknya– “Ada sebagian yang tidak mendapat bantuan. Ada pula keluarga yang masih tergolong mampu, ternyata ikut menerima bantuan. Padahal, masih ada yang benar-benar lebih tidak mampu.”
Kata lelaki sepuh 68 tahun ini, “Anak saya tidak menerima bantuan PKH. Tetapi tetangganya menerima. Ada juga yang terbilang mampu, tapi dapat bantuan.”
Kenapa ketimpangan dan ketidakadilan bisa terjadi? Menjawab pertanyan tersebut, Henri, sang Kepling-1, membuka cerita. Kata dia, pendataan dan pembagian tidak dilakukan oleh Kepling, aparat pemerintah terbawah, dan sebenarnya paling mengenali warganya, satu per satu. Melainkan, pendataan langsung dilakukan aparat Dinas Sosial, diwakili oleh pak Guntur, salah seorang pekerja di Dinas Sosial –berdasarkan referensi, kini dipimpin Khoiruddin Rangkuti.
Berdasarkan liputan terpisah, Dinas Sosial menugaskan ratusan orang petugas pencacah, dan tenaga kesejahteraan sosial kecamatan, untuk mem-verifikasi dan validasi sendiri usulan baru data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) 2022.
LUPA SEI MATI
Ketika Pemko Medan mengucurkan anggaran besar –ratusan miliar rupiah– untuk pembangunan revitalitas Lapangan Merdeka, meski banyak mendapat penolakan, warga kelurahan kumuh di bibir Sungai Deli yang rawan banjir itu, seakan merasakan Walikota Bobby Nasution menutup mata terhadap Sei Mati, dan “tak perlu” mendapat perhatian lebih.
Misalnya, mulai dari memperbaiki ekonomi warga, dan juga bagaimana agar dampak dari luapan Sungai Deli tidak semakin memperparah keadaan di daerah tersebut.
Dari keterangan Helmi Pulungan –putra dari pak Pulungan– terungkap, lingkungan mereka itu merupakan basis PKS (Partai Kesejahteraan Sosial) –partai yang memosisikan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan Presiden Jokowi –bapak mertua Bobby Nasution.
Tetapi dalam hal Pilkada Kota Medan 2020, warga lingkungan kumuh itu nyatanya pendukung Bobby, yang kini “duduk manis” di kursi walikota Medan.
Walikota Bobby dilaporkan pernah turun langsung menyaksikan banjir besar saat merendam selama berhari-hari Kelurahan Sei Mati. Namun seperti tidak ada tindak lanjutnya peninjauan itu untuk melakukan pembangunan guna mengurangi dampak dari banjir. Semua ucapan dan janji, masih sebatas retorika.
Reporter : Deo
Berita ini telah diterbitkan di Koran MimbarUmum edisi 10 Oktober 2022.