mimbarumum.co.id – Rektor UNPAB (Universitas Panca Budi) Medan, Dr H Muhammad Isa Indrawan, SE MM menyampaikan pendapatnya berkaitan dengan Permen PPKS (Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30/2021, tentang pencegahan kekerasan seksual) di lingkungan perguruan tinggi, yang mengundang kontroversi atau pro-kontra.
Dilaporkan berbagai media nasional, Permen PPKS itu mengundang pro-kontra, terutama karena pada salah satu pasal-nya, yakni pasal 5 ayat (2) huruf b, f, h, j, l, dan m, kekerasan seksual baru dianggap kejahatan seks bila dilakukan TPK (tanpa persetujuan korban).
Artinya, bila kekerasan seks dilakukan APK (atas persetujuan korban) atau dalam kalimat lain SSS (suka sama suka), maka kekerasan seks itu tidak termasuk kejahatan.
Dengan demikian, aktivitas seks di luar nikah alias zina, sepanjang didasarkan APK alias SSS, maka hal itu boleh atau legal saja, alias bukan tergolong kejahatan.
Pada hal, praktek zina, yakni berhubungan badan di luar ikatan pernikahan, sangat dilarang oleh semua agama.
Kitab suci agama Islam, Alqur’an, misalnya, yang menjadi anutan mayoritas (86,88%) penduduk Indonesia (273,5 juta -2020), melarang keras praktek zina.
Bukan hanya zina-nya yang dilarang, mendekatinya-pun diharamkan.
Surat Al-Isra’ 32 menegaskan, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina perbuatan keji, dan suatu jalan paling buruk.”
HAPUS FRASA “PERSETUJUAN KORBAN”
Sebagai akademisi, Dr H Muhammad Isa Indrawan memberikan solusi (jalan keluar) akademik, melalui komunikasi WA (whatapps), Selasa (16/11/2021). Ia berpendapat, seharusnya bunyi Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan m tersebut diubah dengan menghilangkan kata “persetujuan Korban.”
Dengan penghilangan frasa “persetujuan Korban” tersebut, maka kepastian hukum terhadap korban, terjamin, sesuai tujuan penerbitan Permen.
Sebagai akademisi, Isa –alumni ekonomi UNPAB, IBM Global, dan Universitas Pendidikan Indonesia– pun memberikan contoh. Misalnya ayat (2) huruf dinyatakan, “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.”
Sebaiknya kata “dengan persetujuan” diubah menjadi “di hadapan korban.” Dengan adanya kata “korban” di sini, maka secara langsung seseorang itu tidak setuju dengan perbuatan dari pelaku.
Kemudian ayat (2) huruf f yang menyatakan “mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.”
Seharusnya, kata “persetujuan korban” dalam ketentuan ini pun dihapuskan. Karena, kata “korban” dalam hal ini, secara otomatis menunjukkan seseorang tersebut telah mengalami kekerasan seksual.
Kata Isa, dengan adanya kata “korban” di sini, juga menunjukkan korban sesungguhnya tidak menyetujui perbuatan pelaku tersebut. Begitupun dengan ketentuan frasa “persetujuan korban” dalam ayat (2) huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, seharusnya juga dihapuskan, karena terdapat kata “Korban” di dalamnya.
KEPASTIAN HUKUM
Isa berpandangan, dengan penghapusan frasa “persetujuan Korban” dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, l, dan huruf m itu, maka Permen PPKS memberikan kepastian hukum kepada korban, yang sejatinya menjadi tujuan penerbitan Permen.
Selain itu, katanya, sekaligus menghapuskan ranggapan, bahwa aturan ini melegalkan perbuatan seks dilakukan di lingkungan Perguruan Tinggi.
Reporter : Chairuddin Pasaribu