mimbarumum.co.id – Perang Rusia-Ukraina, ternyata berkaitan dengan Sumatera Utara. Sebab, sedikitnya sembilan orang warga Langkat, Binjai dan Stabat, yang bekerja sebagai pekerja migran asal Indonesia, masih terjebak di bungker Kota Chernihiv selama hampir 20 hari, di tengah dentam-dentum dan desingan peluru roket dan bom.
Kota dengan luas 79 km persegi dan berpenduduk sedikit di atas 300 ribu jiwa itu, berada 143,1 km di utara ibukota Kiev. Tepatnya di Oblast Chernihiv. Kota industi ini memiliki hubungan kotakembar (sistercity) dengan beberapa kota di Rusia (Bryansk, Perm,
Mozhaysk, dan Mytischi), Belarus (Homyel), Jerman (Memmingen) dan Polandia (Tarnobrzeg).
SEMBILAN ORANG
Berdasarkan penelusuran MimbarUmum, Rabu (16/3/2022) kemarin, kesembilan Robin (Rombongan Binjai – sapaan akrab
warga Kota Medan untuk sahabat yang datang dari arah kota Binjai), meliputi:
1. Iskandar,
2. Muhammad Aris Wahyudi –anak iskandar
3. Rian Jaya Kusuma,
4. Syahputra Sandiyoga,
5. Agus Afriani, dan
6. Muhammad Raga Prayuda, seluruhnya warga Binjai. Kemudian,
7. Zulham Ramadhan (Stabat),
8. Amri Abas dan
9. Dedi Irawan (keduanya dari Langkat).
Isteri Iskandar, Ayi Rodiyah, warga Jalan Dr Wahidin, Km-19, Kelurahan Sumber Milyorejo, Binjai-Timur, Kota Binjai, menuturkan, sudah tiga hari ini suaminya dan rombongannya, pindah ke bunker yang lebih aman atas bantuan pihak
KBRI di Ukraina.
Sebelumnya, mereka berlindung di bunker pabrik plastik yang kurang aman, masih di wilayah Chernihiv. Sepengetahuan Ayi, hanya tinggal rombongan suaminya-lah WNI yang belum bisa dievakuasi dari Chernihiv, karena kecamuk perang yang tiada henti. Bahkan, daerah lain sebelumnya, ada genjatan senjata antara pasukan Rusia dan Ukraina, untuk memberi kesempatan kepada masyarakat keluar daerah zona perang. Namun di Chernihiv tidak atau belum ada koridor evakuasi.
BOM DAN ROKET TERUS BERDENTUM
Kata Ayi –mengutip keterangan suaminya Iskandar melalui Video Call WA, Selasa malam– “Perang dan bom serta roket silih berganti terdengar terus berdentum.”
Bahkan, semua gedung tinggi dan pabrik sudah hancur, rata dengan tanah. Tidak ada lagi kehidupan di Chernihiv, tambah Ayi Rodiyah. Dengan logat Binjai yang khas (logat Medan, sama juga), “Jadi gak ada cerita lagi, di Chernihiv meskipun perang nantinya usai, kehidupan sudah hilang.”
Ia melanjutkan dengan penuh harap, “Makanya kami minta kepada pemerintah dan Kemenlu urusan Eropa dan negara Rusia, agar segera (membantu) memulangkan suami saya dan rombongannya ke Binjai. Kami sangat cemas. Mohon doa warga Indonesia untuk keselamatan mereka.”
Pemerintah Indonesia, menurut Ayi, sudah membicarakan itu kepada pemerintah Rusia melalui Kedubes, tapi hingga kini belum ada hasil.
Ia menjadi sangat sedih, khawatir, dan pilu, karena belum bisa kembalinya suaminya beserta adik dan keponakannya dari Chernihiv.
KISAH KEPERGIAN ISKANDAR
Ayi Rodiyah berkisah, suaminya Iskandar (46), merupakan pimpinan dari sembilan orang pekerja migran Indonesia di Ukraina. Mereka bekerja di pabrik plastik di negara yang dulunya masih bergabung dengan Uni Soviet itu.
Sebelum bekerja di Chernihiv, suaminya lebih dulu bekerja di Malaysia bersama dengan orang Yordania (tak disebut namanya), juga sama-sama bekerja di pabrik plastik. Rupanya, naluri bisnis orang Yordania ini, tertarik membuat sendiri usaha pabrik plastik.
Setelah dimusyawarahkan, Iskandar pun tertarik bekerja bersama orang Yordania ini, dan berangkatlah mereka ke Yordania.
Di Yordania, Iskandar sempat bekerja antara 6 sampai 7 tahun, sebelum akhirnya pindah ke Ukraina pada 2018 lalu.
Pindahnya pabrik plastik milik rekan suaminya itu dari Yordania ke Chernihiv, karena si Yordania dapat isteri orang Chernihiv. Jadi mereka pindahkan semua ke Chernihiv.
Reporter : Burhan Sinulingga