Oleh: Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta
Di tengah upaya pemerintah membentuk Satgas Terpadu Penanganan Premanisme, realitas di lapangan menunjukkan bahwa aksi premanisme masih sulit diberantas.
Penegakan hukum kerap terfragmentasi karena Polri, Satpol PP, Kejaksaan, dan pemerintah daerah memiliki kewenangan masing-masing tanpa koordinasi terpadu, sehingga operasi razia dan penindakan cenderung bersifat insidental dan tidak berkelanjutan.
Ketika satu kelompok preman dibubarkan, mereka dengan cepat “re-formasi” di wilayah lain karena tidak ada model intelijen yang memetakan jaringan tersebut secara komprehensif.
Rasa takut menjadi korban balas dendam membuat masyarakat enggan melapor dan lebih memilih membayar “uang keamanan” meski praktik ini tidak memiliki dasar hukum.
Ketiadaan mekanisme pengaduan yang benar-benar anonim dan aman semakin memperparah situasi ini. Selain itu, sejumlah kasus memperlihatkan adanya kolusi antara oknum aparat dan jaringan preman, terutama kelompok yang berkedok organisasi kemasyarakatan.
Perlindungan aparat lapangan membuat operasi antpremanisme terkesan hanyalah prosedural; pelaku lapangan dijerat sementara otak di balik jaringan tetap aman.
Pasar jasa perlindungan semu juga turut memperkuat keberadaan premanisme. Dari pedagang kaki lima hingga perusahaan besar, banyak pihak merasa lebih nyaman jika membayar iuran kepada kelompok tertentu demi keamanan.
Kondisi ini menciptakan “pasar” bagi premanisme dan menimbulkan dilema bagi aparat: menindaknya berarti mengganggu ketenteraman warga atau pengusaha yang merasa terbantu.
Premanisme juga tumbuh subur di tengah kesenjangan ekonomi dan sosial. Kemiskinan dan pengangguran memaksa sebagian orang beralih ke “ekonomi gelap” dengan imbalan cepat.
Di wilayah industri seperti Jawa Barat, ketimpangan pendapatan disebut-sebut menjadi pemicu munculnya premanisme berkedok ormas yang mengganggu iklim investasi.
Kurangnya lapangan kerja formal dan kesempatan ekonomi memudahkan kelompok ini menanamkan diri di komunitas-komunitas rentan.
Sikap aparat yang masih terbatas kapasitas intelijen membuat langkah preventif sulit dilakukan. Tanpa basis data terpadu atau teknologi pengintaian seperti CCTV komunal, identifikasi dan pemetaan aktivitas preman tidak maksimal.
Masyarakat yang minim literasi hukum juga belum sepenuhnya memahami hak dan prosedur pelaporan ke polisi, sementara respons aparat seringkali dianggap belum ramah terhadap pelapor kecil, sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap penegak hukum.
Regulasi yang belum spesifik menjadi tantangan lain. Meski Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang pemerasan dan kekerasan, belum ada undang-undang tersendiri yang mendefinisikan premanisme sebagai tindak pidana khusus.
Sanksi yang ada umumnya hanya menjerat pelaku lapangan, tanpa menyasar otak atau pendana di balik jaringan. Tanpa kepastian hukum yang tegas, upaya penindakan sulit menimbulkan efek jera.
Reformasi Menyeluruh
Tanpa reformasi menyeluruh—mulai dari peningkatan koordinasi antarlembaga, penguatan kapasitas intelijen, penerapan penegakan hukum zero tolerance, hingga edukasi hukum massal bagi masyarakat—upaya menumpas premanisme akan terus terjebak pada model penindakan sementara.
Pemerintah perlu memastikan Satgas Terpadu tidak sekadar simbol politik, melainkan menjalankan operasi berkelanjutan yang didukung data, teknologi, dan keberanian membongkar jaringan pelindung preman. Hanya dengan pendekatan holistik dan komitmen serius, harapan menciptakan ruang publik yang aman dan iklim investasi kondusif dapat terwujud.