Jumat, Juli 5, 2024

Sastrawan Abdul Hadi Berpulang, Setelah “Galau di Tengah Sunyi”

Baca Juga

mimbarumum.co.id – “Innalilahi wa innailaihi rojiun. Telah wafat Ayahanda kami, Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. pada pukul 3.36 dini hari (Jumat, 19 Januari 2024). Jenazah akan disemayamkan di rumah duka, Vila Mahkota Pesona Jatiasih, Bojong Kulur dari RSPAD Gatot Subroto.”

Pesan pendek itu meluncur secara beruntun, Jumat pagi (19/1/24), di grup-grup WhatsApp seni, budaya, jurnalistik, dan akademik. Pesan tersebut berasal dari putri almarhum Abdul Hadi,
Gayatri Muthahari, yang diteruskan berantai oleh seluruh sahabat almarhum.

“Dan, rencananya (almarhum) akan dimakamkan di taman pemakaman setempat ba’da salat Jumat. Mohon doa dari teman teman semua ya,” sambung Gayatri.

Terlihat di media Facebooknya, almarhum Abdul Hadi mengeluhkan sakit sepekan lalu. Pada salah satu statusnya, “Pemilu sudah dekat. Aku belum siap memilih,” almarhum mengatakan, “Karena kondisi kesehatan saya tak baik,” saat menanggapi komentar temannya.

Hampir saban hari almarhum membuat status Facebook, baik tentang politik, budaya, dan sosial kemasyarakatan lainnya. Teranyar, Kamis sore (18/1/24), almarhum memposting fotonya yang tengah dirawat di RSPAD Gatot Subroto. Kedua tangannya yang tersambung selang infus, disilangkan di dada, kedua bola matanya menatap sendu kamera.

Di postingan terakhir itu, almarhum menulis status puitis, “Galau di tengah sunyi.” Sejumlah kerabat pun ramai memberi komentar berupa doa dan harapan untuk kesembuhannya.

Sastrawan, Budayawan, dan Peneliti Sufisme

Semasa hidupnya, Abdul Hadi awalnya dikenal sebagai penyair sufisme. Hal ini terlihat dari sajak masterpiece sufistiknya yang terkenal berikut ini.

TUHAN, KITA BEGITU DEKAT

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu

Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dan arahnya
Kita begitu dekat

Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu

(Abdul Hadi W.M., 1977,
“Tergantung Pada Angin”)

Abdul Hadi W.M. atau nama lengkapnya Abdul Hadi Wiji Muthahari lahir di Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1946, akhirnya terkenal sebagai sastrawan, budayawan, peneliti sufisme, dan ahli filsafat. Namanya dikenal melalui karya-karyanya yang bernapaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusasteraan Melayu Nusantara, dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme.

Akademisi dan sastrawan Malaysia Muhammad Haji Saleh menyebut, almarhum ilmuan dan sastrawan yang sangat bertanggung jawab. “Maka, generasi muda dapat mengutip daripada ilmunya,” sebut Haji Saleh.

Jurnalis dan sastrawan Kepulauan Riau, Rida K. Liamsi mengatakan, almarhum merupakan salah seorang pembina Yayasan Hari Puisi (YHP) yang tunak dan mengabdi sejak YHPI didirikan sepuluh tahun lalu serta penerima Anugerah Penyair Adi Luhung dari YHPI tahun lalu. “Karyanya akan terus dikenang,” sebut mantan bos Riau Pos Group ini.

Sastrawan dan sejarawan Sumatra Barat, Wannofri Samri, mengaku merasa kehilangan penyair besar Indonesia. “Kita kehilangan seorang penyair besar dan relegius. Karyanya dalam dan menjadi inspirasi banyak orang,” katanya.

Penyair dan akademisi Maluku Utara, Ibrahim Gibra, menggelari Abdul Hadi Profesor Sastra Sufi. “Telah pulang ke rahmat Allah, Penyair dan Profesor Sastra Sufi itu,” tulisnya di salah satu grup WhatsApp.

Menurut mantan petinggi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ini, sastra dan religiositas adalah jalan hidup akademik almarhum Abdul Hadi. Banyak puisi, esai, dan buku beliau, merentang dari Jalalaudin Rumi hingga Sa’di Shirazi. Abdul Hadi WM memberi pengantar pada novel sufistik _Gulistam_ ‘Taman Bunga’ karya penyair sufi ternama Timur Tengah, Sa’di Shirazi.

“Abdul Hadi pun pulang di hari yang amat baik. Bukankahkah ini jalan pulang para sufi? Allah yarhamhu,” ucap Gibra.

Sastrawan Sumatra Utara, Shafwan Hadi Umry, mengenang ketika bertemu almarhum di Kongres Bahasa Indonesia 1988 di Jakarta. Kala itu Abdul Hadi WM redaktur ruang Dialog Harian Berita Buana Jakarta. Tulisan Shafwan banyak dimuat di lembaran budaya itu dan kadang di kolom meja redaksi.

“Begitulah kami saling berganti menulis di ruang redaksi. Pertemuan di Hotel Candra Kirana itu,aku diperkenalkan Mas Hadi ke Danarto sang penulis “Adam Makrifat”,” kenang Shafwan.

Selanjutnya, Shafwan mengundang Abdul Hadi menjadi pemakalah utama Seminar Hamzah Fansuri di Sibolga, tahun 2001. Sebelum kembali ke Jakarta, di bandara Polonia ia menyatakan, “Penyair berjuang bukan dengan tinta, tapi dengan darah kalbu,” ucap Shafwan menirukan perkataan Abdul Hadi W.M.

Mantan Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatra Utara Maryanto tentu tidak akan melupakan almarhum Abdul Hadi. Sebab, dari temuan riset dan pemikiran Abdul Hadi, menginspirasi Maryanto menelusuri jejak sejarah bahasa Indonesia dari Barus, Tapanuli Tengah.

“Innailaihi wa innailaihi rojiun. Turut berbelasungkawa dan berdoa semoga almarhum husnul khatimah; diampuni dosanya dan diterima amal ibadah beliau, termasuk ibadah ilmu pengetahuan tentang Barus,” ucap Maryanto.

Menurut Maryanto, almarhum Abdul Hadi W.M. telah memberikan sumbangan ilmu kesusastraan Indonesia yang amat luar biasa. “Penelusuran DNA sastra bangsa Indonesia melalui kajian serius atas karya sastra Melayu Barus Hamzah Fansuri untuk mengetahui seluk-beluk pembibitan bahasa persatuan Indonesia,” katanya.

Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Sumatra Utara, Wan Syaifuddin, mengenang ketika bersama almarhum Abdul Hadi studi di Malaysia. Katanya, “Rumi cinta yang abadi”, tujuh tahun membahasnya di penungguan/halte yelow bus sg.dua USM- P.Pinang.

“Almarhum pujangga yg suka menebar ilmu yg dimilikinya. Semoga Intan, Uca, dan Dinda serta Bu Atik sentiasa tabah dan tawawal,” ucap Syaifuddin.

Hingga akhir hayatnya, Abdul Hadi telah menulis beberapa buku penelitian filsafat di antaranya “Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik” (Pustaka Firdaus, 1999), “Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya” (Pustaka Firdaus, 1999), “Tasawuf yang Tertindas”, serta beberapa buku kumpulan puisi antara lain “At Last We Meet Again, Arjuna in Meditation” (bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Yatman), “Laut Belum Pasang”, “Meditasi”, “Cermin”, “Tergantung pada Angin”, “Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur”, “Anak Laut Anak Angin”, “Madura: Luang Prabhang dan Pembawa Matahari”, sejumlah karya terjemahan sastra sufi dan sastra dunia, terutama karya Iqbal, Rumi, Hafiz, Goethe, penyair sufi Persia dan penyair modern Jepang. Selain itu, ia juga menulis beberapa buku dongeng anak-anak untuk Balai Pustaka.

Puisi-puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jepang, Jerman, Cina, Thailand, Arab, Bengali, Urdu, Korea dan Spanyol.

Reporter: Suyadi San

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Kepala BPMP Sumut Apresiasi Festival Kurikulum Merdeka 2024 Berjalan Sukses

mimbarumum.co.id - Balai Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Sumatera Utara (BPMP Sumut) sebagai UPT Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi...

Baca Artikel lainya