Sandi Rahasia

Berita Terkait

Cerpen Ramli Lahaping*

 

Tekad Agus sudah bulat. Seperti yang ia rencanakan sekian lama, ia akan mengajukan diri sebagai calon kepala desa. Atas pengamatannya, ia merasa memiliki kans untuk mengalahkan sang petahana yang merupakan keturunan penduduk asli. Dengan percaya diri, ia menerka kalau banyak warga yang menyenanginya. Apalagi, ia memang telah menjabat sebagai kepala dusun selama bertahun-tahun, dan ia merasa berhasil menunaikan tugasnya dengan baik.

Merunut sejarah, ia memang bukanlah warga asli desa. Sebenarnya, ia pendatang dari pulau seberang dalam program transmigrasi yang dilakukan pemerintah. Tetapi ia tak mengkhawatirkan persoalan tersebut, sebab para pendatang telah membaur dengan warga setempat. Terlebih, ia menaksir kalau jumlah penduduk yang merupakan suku pendatang, telah sebanding dengan penduduk suku asli. Karena itu, ia yakin punya peluang besar.

Belum lagi, ia telah menetap di desa tersebut selama hampir 21 tahun. Ia bahkan menikahi penduduk asli, hingga dikaruniai sepasang putra dan putri. Sebab itulah, ia merasa tak berlebihan jikalau berbesar hati bahwa ia akan terpilih menjadi kepala desa atas dukungan warga dengan latar belakang yang beragam. Paling tidak, sebagai dasar keyakinannya, ia telah dipercayakan untuk menjadi kepala dusun oleh warga yang sebagiannya adalah penduduk asli.

- Advertisement -

Karena keadaan itulah, kini, menjelang proses pendaftaran calon kepala desa, ia terus menyusun taktik kampanye yang akan ia gunakan nantinya untuk meraup dukungan warga. Ia mulai dengan memikir-mikirkan ciri nama dan jargon program yang akan ia gunakan sebagai slogan kampanye. Sampai akhirnya, setelah berhari-hari berkontemplasi, ia merasa klop dengan serangkaian kombinasi kata: Pak Kadus Agus, untuk Desa yang Tenteram dan Sejahtera.

Tetapi ia belum benar-benar memastikan kalau ia akan menggunakan slogan itu. Masa kempanye belum dimulai, dan ia merasa perlu menunggu slogan calon petahana untuk mencari slogan yang mungkin mengimbanginya. Pasalnya, ia menyadari kalau sang petahana memiliki modal identitas yang lebih baik darinya. Sang petahana memiliki nama yang menarik, juga titel yang terpandang. Namanya adalah Panji Langit Latemanto, dan titelnya adalah sarjana hukum.

Perkara itu menang hanya dandanan. Nama dan titel yang baik, sama sekali tak menjamin kalau seseorang akan menjadi pemimpin yang amanah. Itu pun disadari Agus. Tetapi ia tetap merasa kalau persoalan tersebut memiliki pengaruh dalam pertarungan politik. Ia menaksir kalau para pemilih yang suka malas memperhatikan rincian program para calon, hanya akan memilih berdasarkan ketertarikannya pada atribusi nama, cantuman titel, dan jargon visi-misi.

Nahasnya, pada soal pencitraan identitas diri tersebut, Agus memang merasa kalah. Namanya sekadar “Agus”, dan ia tak memiliki titel apa-apa, sebab ia hanya tematan SMA. Karena itulah, ia merasa harus meramu slogan yang menarik untuk mempercantik namanya yang pasaran dan tanpa imbuhan titel. Slogan yang mantap akan ia gunakan layaknya mantra untuk menarik perhatian dan dukungan para warga untuk memilihnya.

Kini, Agus memang makin rendah diri atas namanya yang sama sekali tak menawan. Ia merasa tak mendapatkan berkat apa-apa dengan namanya tersebut. Karena itu, ia kembali mempersalahkan ayahnya yang telah memberinya nama yang ala kadarnya. Ia menyesalkan sikap sang ayah yang menamainya Agus hanya karena ia lahir di bulan Agustus, tanpa ada tambahan kata lain yang melambangkan doa dan harapan yang baik untuk hidupnya.

Tetapi tentu, ketidaksukaan Agus pada namanya adalah sebuah takdir yang mesti ia terima. Ia tak mungkin kembali ke masa lalu dan meminta pergantian nama demi pencitraannya di panggung politik masa kini. Sebab itu, ia memaklumi saja kepolosan ayahnya maupun ibunya yang merupakan sepasang petani miskin yang hanya tamatan sekolah dasar. Ia menyadari kalau mereka memang tidak memiliki pengetahuan untuk memahami arti penting sebuah nama.

Akhirnya, Agus pasrah untuk menjalani takdir dengan namanya yang sederhana. Ia telah hidup begitu lama dengan nama itu, sehingga sudah sangat terlambat untuk mengubahnya melalui jalur hukum. Yang bisa ia lakukan hanyalah menunjukkan perilaku yang baik, agar namanya lekat dengan kehormatan dan keagungan. Yang bisa ia upayakan adalah meyakinkan para warga kalau identitas sama sekali tak ada nilainya dibanding integritas.

Supaya tak jatuh pada kemalangan yang sama, Agus akhirnya memberikan nama yang keren untuk putra dan putrinya. Ia menamai putrinya Bunga Muliani Selarashati, dan menamai putranya Raja Alam Bijaksana. Kedua anaknya pun tampak bangga menyandang nama tersebut. Dan berbeda dengan apa yang ia alami dahulu, kedua anaknya itu tak pernah sekali pun kesal karena mendapat olok-olokan nama dari teman-temannya.

Tentu Agus bermaksud menyiratkan harapan pada nama putra dan putrinya. Ia ingin perilaku dan pencapaian mereka serupa dengan nama mereka. Anggapannya itu ia didasarkan pada hasil pengamatannya bahwa orang-orang besar yang terhormat, rata-rata memiliki nama yang menarik dan bermakna. Semisal teman baiknya semasa SMA, yang bernama Sakti Raja Buana. Lelaki itu kini telah menjadi seorang pimpinan dewan tingkat provinsi, dan sangat disegani masyarakat.

Atas kesuksesan teman sekolahnya tersebut, Agus memang jadi makin yakin kalau nama yang bagus akan berujung pada nasib hidup yang baik. Bagaimana tidak, dengan berbekal nama yang menarik, meskipun tanpa gelar akademik, sahabatnya itu berhasil menjadi seorang pejabat. Padahal, Agus tahu kalau kawannya itu punya masa lalu yang kelam. Semasa sekolah, ia adalah bos pemalak, dan Agus hanyalah kacungnya. Lalu, setamat sekolah, ia adalah preman yang menguasai sejumlah lahan parkir di kota, dengan beberapa anak buah dari kampungnya.

Tetapi kini, setelah menjadi pejabat, sahabatnya itu seketika menjadi orang yang terhormat. Noktah hitam masa lalunya, seolah telah lenyap dari sejarah hidupnya. Karena itulah, Agus makin terpacu untuk memulai karirnya dalam dunia politik. Ia tak ingin sekadar menjadi kepala dusun dengan gengsi yang rendah. Ia ingin menjadi kepala desa yang lebih terpandang, untuk kemudian menjajaki jabatan-jabatan yang lebih tinggi. Ia berharap, jikalau berhasil, orang-orang pun akan melupakan perilaku tercelanya di masa lalu.

Dahulu, di kampung kelahirannya, di pulau seberang, Agus memang pernah melakukan perbuatan kurang ajar yang sangat memalukan. Di tengah nafsu kelaki-lakiannya yang membuncah di usainya yang ke-21 tahun, ia mengintip dan memvideokan seorang janda yang tengah mandi. Ia kemudian tertangkap basah dan sempat dihakimi beberapa warga. Ia pun nyaris diperkarakan di jalur hukum kalau saja sang korban tak lekas memaafkannya.

Beruntunglah, sebab kini, ia telah lama menetap di desa yang jauh dari tanah kelahirannya ketika ia mulai terpikir untuk terjun ke dalam dunia politik. Ia yakin kalau tidak ada warga yang tahu tentang aib masa lalunya. Ia bahkan yakin kalau tidak akan ada warga yang berpikiran bahwa ia pernah melakukan perbuatan tercela dan sangat memalukan. Karena itu, ia merasa aman-aman saja untuk maju sebagai calon kepala desa, sebab tidak akan ada yang merusak citranya dengan perkara pengintipan janda tersebut.

Hingga akhirnya, saat ini, di bangku teras depan rumahnya, di tengah menungannya tentang rencananya maju sebagai calon kepala desa, Raja, putranya, anak sulungnya yang kini duduk di kelas 2 SMA, tiba-tiba muncul dari arah belakangnya, lalu berseru sembari menatap layar ponselnya, “Aku sungguh tak percaya!”

“Ada apa?” tanya Agus, heran.

“Pak Sakti, teman Ayah yang anggota dewan provinsi itu, telah tertangkap basah menerima suap,” jawab Raja yang cukup tahu soal lelaki itu atas cerita-cerita sang ayah. Ia bahkan pernah melihat lelaki itu empat tahun yang lalu, saat singgah di rumah mereka untuk bersilaturahmi dengan ayahnya yang merupakan teman akrabnya semasa SMA.

Seketika, Agus terkejut. “Yang benar? Kau tahu dari mana?”

Raja mengangguk, lalu duduk di kursi samping sang ayah. “Aku lihat dari postingan berita di Facebook, Ayah,” jawabnya, kemudian kembali khidmat dengan layar ponselnya.

Agus sontak tercenung. Ia sungguh tak percaya kalau integritas dan reputasi sahabat masa SMA-nya itu, akan hancur dalam waktu sekejap.

Sesaat kemudian, Raja menunjukkan bukti temuannya, “Lihat ini, Ayah, berita-berita yang kutemukan di Google. Semuanya berita terbaru, yang membenarkan kalau telah terjadi penangkapan terhadap Pak Sakti.”

Dengan perasaan terenyuh, Agus lalu melihat-lihat tampilan sejumlah judul berita di laman Google setelah mengambil sodoran ponsel pintar putranya. “Bagaimana cara kau menemukan informasi semacam ini?” tanya Agus yang masih sangat gaptek.

“Tinggal ketik saja nama lengkap orang dan persoalannya yang hendak ditelusuri di kolom pencarian ini, lalu tekan tanda panah ini, ajar Raja, sembari memberikan petunjuk. Nah, tadi, untuk kasus Pak Sakti, aku mengetik ‘Sakti Raja Buana tertangkap basah menerima suap’, lalu memencet tanda panah ini, dan muncullah semuanya.”

Secanggih itu? selidik Agus, takjub.

Iya, Ayah. Informasi apa pun akan muncul di layar sesuai dengan kata kunci yang kita masukkan. Begitulah cara kerja internet,” terang Raja.

Dengan rasa penasaran, sembari terus-menerus meminta pengajaran dari putranya perihal langkah pemanfaatan mesin pencarian Google, Agus lalu mengeklik beberapa judul berita dan membacanya. Hingga akhirnya, ia turut membenarkan kalau kawan sekolahnya itu benar-benar telah tertangkap basah menerima suap. Dengan jelas, ia bisa melihat foto-foto yang menampakkan wajah teman lamanya itu, termasuk foto yang menampilkan sang lelaki sedang digelandang oleh pihak yang berwajib.

Sesaat kemudian, Raja bergegas ke toilet untuk buang air besar.

Akhirnya, dengan ponsel canggih yang berada di dalam penguasaannya sendiri, pikiran Agus menjurus pada persoalan yang lain, pada perkaranya sendiri di masa lalu. Dengan perasaan deg-degan, ia lalu mengetik kata-kata di kolom pencarian: Agus tertangkap basah mengintip dan merekam janda yang sedang mandi, kemudian melakukan penelusuran. Ia lantas mengamati artikel-artikel yang muncul, hingga ia bersyukur sebab ia tak melihat satu pun informasi tentang aksi memalukannya tersebut. Yang ia temukan hanyalah kabar-kabar tentang agus-agus yang lain, dengan persoalan-persoalan yang beragam.

Beberapa lama berselang, keingintahuan Agus menjurus pada persoalan yang lain. Dengan rasa penasaran, ia lantas mengetik kata-kata baru pada kolom pencarian: Panji Langit Latemanto Kepala Desa Salijan, kemudian melakukan penelusuran. Hingga akhirnya, nama unik yang terdengar keren itu memunculkan sejumlah artikel, termasuk artikel yang memberitakan kalau seorang mahasiswa telah ditangkap polisi karena terlibat penyalahgunaan narkotika. Ia lalu mengamati foto pada salah satu artikel tersebut dan meyakini kalau lelaki itu adalah sang kepala desa petahana. Seketika pula, ia merasa punya senjata yang ampuh kalau-kalau ia memang perlu mengalahkan sang petahana dengan cara yang kejam.

“Wah, ternyata, banyak juga berita tentang kepala desa kita di internet, termasuk ini,” ujar Agus, setengah kikuk, setelah anaknya datang, sembari menyerahkan ponsel pintar tersebut.

“Iya, ya. Ternyata kepala desa kita punya masalah juga di masa lalu,” tanggap sang putra, terkejut, setelah membaca sepintas sebuah artikel yang terpampang di layar.

“Kok bisa banyak berita tentang Panji yang muncul di internet, termasuk berita-berita yang lama?” selidik Agus, bingung.

“Ya, dengan nama Pak Panji yang unik, memang akan mudah untuk menemukan tentang dirinya di internet, jawab sang anak. Kalau mau menemukan soal Ayah di internet, ya, pasti susah karena banyak orang yang memiliki nama seperti nama Ayah. Ya, itu pun hanya mungkin ditemukan kalau ayah memang orang penting dan punya perkara yang viral.

Agus pun mengangguk-angguk paham. Dan seketika, ia tersadar pada nama kedua anaknya yang juga khas. Karena itu, ia kemudian berpesan, “Kalau begitu, jagalah perilakumu, Nak. Jangan sampai dosa-dosamu mengabadi juga di internet. Itu bisa membuat kita malu sekeluarga, bahkan seturun-turunanmu nantinya.”

Sang putra mengangguk-angguk saja.

Agus lalu mengembuskan napas yang panjang untuk meluruhkan segala kekalutan di dalam hati dan pikirannya. Ia pun berharap semoga anaknya benar-benar tidak pernah menemukan perkara aib masa lalunya di internet.***

——————

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -
spot_img

Berita Pilihan

Jumat Berkah, GRIB JAYA Medan Tuntungan Tebar Kebaikan di Masjid Nurul Yaqin

mimbarumum.co.id – Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Pimpinan Anak Cabang (PAC) Medan Tuntungan menunjukkan kepeduliannya terhadap sesama dengan...