Oleh : Rizanul Arifin
Awak sepakat sekali dengan postingan kawan Ide Sentosa Sinulingga pagi ini. Bijak dan tegas awak rasa.
Dia bilang, banyak yang cerdik namun sedikit orang yang bijaksana. Yaa terasa sekali sama awak saat dia katakan itu karena nuansa ketimpangan di kampongnya saat ini.
Entah itu ada sambung-menyambung dengan pandangan abang bos awak Shohibul Anshor Siregar tentang fenomena anak bangsa belakangan ini, yang siket-siket DISRUPSI, siket-siket MILENIAL dan siket-siket Industri 4.0.
Sampai-sampai dia berharap mudah-mudahan itu semua bukan LATAH semata, tapi terukur sebagai karakter bangsa dan negara yang dilahirkan di hari Jum’at, 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56 – Jakarta Pusat, pukul 10:00 pagi.
Kegelisahan bang Shohibul Anshor Siregar tu keknya seirama dengan rasa-rasa kawan awak di FB Canie Insanie yang jauh di Maluku sana, di pingin jadi robot yang tidak punya rasa. Entah laaa mungkin Insanie bosan dengan situasi atau kondisi saat ini, awak tak paham, tapi pasti dia punya alasan kuat menuliskan status itu kemaren.
Menyikapi Insamie, awak sampek mengomentarinya, karena awak rasa gampang jadi robot dan gak punya rasa. Karena di sini banyak pemimpin bahkan orang awam yang dah jadi robot, kalau batasannya gak punya rasa. 😁😁😁.
Entah laaa pulak semua ini ada kaitannya dengan berita yang dikutip kawan awak Norma Patty Nandini Hutajulu yang awak baca. Isinya tentang Nadiem Makarim yang mengatakan ingin membebaskan instansi pendidikan dari metode pembelajaran yang sudah usang.
“Ini yang Indonesia butuhkan di masa depan. Mohon maaf, dunia tidak membutuhkan anak-anak yang jago menghafal,” kata Nadiem saat rapat bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan pada Kamis, 12 Desember 2019 lalu.
Ah entah laaa, awak pon jadi bingong sendiri jadinya. Sejak awak tau sekolah dan kurikulum, selalu saja ada perubahan, kegamangan dan keributan setiap pergantian menteri.
Tapi kali ini awak rasa tidak laaa cocok, apalagi itu didasari latar belakang sekolahnya dulu. Kenapa gak pasa? karena setiap negeri punya cara dan karakter sendiri-sendiri.
Model pendidikan kita belum laaa perlu sama macam yang dia pahami dan sama dengan negeri-negeri tempat dia belajar, apalagi sampai disrupsi, faktor-faktor pembandingnya belum seimbang. Bisa-bisa negeri ini karam dibawa ide dan ego sentrik penguasa, aahhh jadi begidik laaaa.
Menyikapi Nadien, awak merasa sebaliknya. Andai saja pengambil dan perancang kebijakan negeri ini cerdas, cerdik dan bijak, berbagai model dan formulasi yang pernah ada di negeri ini bisa si sesuaikan dan diselaraskan dengan potensi negeri yang dikenal sebagai negeri bahari dan agraris selain kaya mineral dan keindahan.
Awak sejauh ini beruntung, karena dulu disuruh belajar betulan bukan hapalan bukan instant juga dengan ujian pilihan berganda ala multiple-choice. Sehinggga awak sempat mengerti pelajaran yang didikkan sama awak secara fundamental, heheheh radikal kaaan?
Syukur banget (gaya Jakarta tempat awak besar dulu bole laaa ya?) siket-siket awak bisa tahu banyak hal di dunia ini tanpa Googling, cukup reminding, semua hal yang pernah jadi tugas sekolah dulu mengalir keluar dengan lancar.
Awak rasakan itu punya cita rasa, seni dan budaya khas yang menjadikan awak manusia, tapi awak bisa mengontrol teknologi dan bukan awak yang dikontrol teknologi. Itu #LebihManusiawi.
Jadi awak rasa, menjadi indonesia itu jauh lebeh baek dan pas ketimbang merasa seperti orang berpendidikan dan mengerti Indonesia. Cocok klen rasa?