Oleh: Muhibbullah Azfa Manik, dosen Universitas Bung Hatta
Tak sulit menemukan masjid di Indonesia. Di tiap sudut gang, kompleks perumahan, bahkan di rest area jalan tol, rumah ibadah umat Islam berdiri megah dan bercahaya. Menara-menara menjulang menembus awan, pengeras suara berkumandang lima kali sehari. Di banyak tempat, masjid dibangun lebih cepat daripada sekolah, rumah sakit, atau perpustakaan. Tak heran jika kita dijuluki Negeri 1.000 Masjid—sebuah metafora yang terasa semakin dekat dengan kenyataan.
Namun di balik gegap gempita itu, ada pertanyaan sunyi yang sering tak terdengar: seberapa dalam iman tumbuh di balik banyaknya masjid? Apakah keberlimpahan rumah ibadah kita selaras dengan kedalaman spiritual dan kemajuan sosial? Ataukah kita justru menyaksikan pertumbuhan fisik yang tak diiringi pendewasaan iman?
Statistik menunjukkan Indonesia memiliki lebih dari 800.000 masjid, tersebar dari Aceh hingga Papua. Angka ini jauh melampaui jumlah sekolah menengah atas, pusat kesehatan, atau bahkan kantor polisi. Setiap tahun, masjid baru terus dibangun—baik oleh swasta, yayasan, maupun pemerintah. Bahkan di wilayah bencana atau perkampungan miskin, pembangunan masjid kerap diprioritaskan dibanding infrastruktur dasar lain.
Fenomena ini memang tak sepenuhnya buruk. Ia mencerminkan semangat religiusitas masyarakat yang tinggi, serta tradisi gotong royong dalam membangun tempat ibadah. Masjid menjadi pusat kegiatan sosial, pendidikan, bahkan ekonomi. Namun, ketika pembangunan masjid tak diiringi dengan pemanfaatan dan pengelolaan yang baik, yang tersisa hanyalah bangunan kosong yang megah tapi sepi dari makna.
Banyak masjid berdiri megah namun kosong di waktu-waktu salat. Bangunan bercat emas dan keramik mahal hanya menjadi lambang status sosial donatur. Di beberapa tempat, masjid bahkan menjadi simbol persaingan antarkelompok, bukannya pemersatu umat. Fenomena masjidisasi tanpa spiritualisasi menjadi ironi keagamaan kita hari ini.
Masjid semestinya bukan hanya tempat salat berjamaah, tapi juga pusat pembinaan umat. Di masa Rasulullah, masjid adalah tempat belajar, berkonsultasi, bahkan bermusyawarah soal politik dan ekonomi. Masjid adalah ruang publik yang hidup dan menyatu dengan denyut masyarakat. Namun kini, tak sedikit masjid yang tertutup bagi kalangan tertentu, dikunci di luar waktu salat, bahkan memisahkan umat karena perbedaan mazhab atau pandangan politik.
Lebih dari itu, masjid juga semestinya menjadi tempat yang bersih dari ujaran kebencian dan politisasi agama. Sayangnya, sebagian mimbar masjid hari ini dipenuhi retorika permusuhan, penggiringan opini, dan delegitimasi terhadap sesama. Bukankah ini bertentangan dengan esensi masjid sebagai tempat yang suci dan damai?
Di tengah keriuhan pembangunan fisik, kita lupa membangun nilai. Kita lebih sibuk mengecat menara daripada menghidupkan majelis ilmu. Lebih suka membangun tempat wudu marmer daripada menyediakan beasiswa bagi anak-anak miskin. Iman kita tampak meriak di permukaan, tapi tak menyelam dalam perilaku sosial.
Ada paradoks yang menyayat dalam Negeri 1.000 Masjid ini. Di negara dengan rumah ibadah terbanyak, kita masih disuguhi berita tentang korupsi, kekerasan berbasis agama, dan kebencian atas nama Tuhan. Di tengah lantunan azan lima waktu, tak jarang terdengar pekik intoleransi dan diskriminasi. Seolah-olah masjid tak mampu lagi menyentuh nurani, hanya memantulkan gema yang hampa makna.
Padahal, masjid punya potensi luar biasa untuk menjadi motor perubahan sosial. Masjid yang terbuka, inklusif, dan ramah terhadap semua golongan bisa menjadi pengikat keberagaman. Masjid yang dikelola secara profesional, dengan transparansi dana dan program-program pendidikan, bisa mengangkat kualitas umat. Masjid yang menghidupkan ilmu dan dialog bisa menjadi cahaya di tengah gelapnya polarisasi.
Beberapa contoh baik mulai bermunculan. Di sejumlah kota besar, masjid sudah mulai menerapkan manajemen modern—dengan laporan keuangan digital, program literasi, hingga pengelolaan wakaf produktif. Ada masjid yang menjadi pusat ekonomi umat, membina UMKM, dan membuka layanan sosial untuk masyarakat sekitar tanpa pandang agama. Di sinilah harapan itu muncul, bahwa masjid bukan sekadar bangunan, tapi jantung peradaban.
Sudah waktunya kita meninjau ulang apa makna dari menjadi Negeri 1.000 Masjid. Apakah kita puas hanya dengan jumlah, atau kita siap mengejar kualitas? Apakah kita cukup bangga dengan menara tinggi, atau kita ingin iman yang mendalam?
Masjid bukan hanya tempat bersujud, tapi juga tempat bersatu. Bukan sekadar lokasi ritual, tapi pusat nilai dan aksi sosial. Negeri 1.000 Masjid tak cukup diukur dari jumlah kubah, tapi dari seberapa dalam cahaya masjid itu menjangkau hati dan perbuatan umatnya.
Karena yang dibutuhkan bangsa ini bukan hanya rumah ibadah yang banyak, tapi umat yang tercerahkan. Dan itu dimulai dari masjid yang hidup—bukan sekadar berdiri.***