mimbarumum.co.id – Pegiat kesenian yang tergabung dalam perhimpunan Masyarakat Kesenian Jakarta (MKJ) menolak Musyawarah Kesenian Jakarta 2022 yang akan diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Selasa, 1 November 2022, mendatang. Selain menolak, mereka juga meminta agar kegiatan tersebut dihentikan.
“Sebab, melanggar berbagai aturan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 4 tahun 2020 tentang Akademi Jakarta (AJ) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), normatif maupun substansial,” ujar Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) MKJ, Arie Batubara, dalam konferensi pers di Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM), Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (27/10/2022).
Penolakan itu tertuang dalam petisi yang rencananya akan disampaikan kepada Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Di samping menolak dan meminta musyawarah dihentikan, petisi juga berisi tuntutan/permintaan agar Gubernur mengambil tindakan atau langkah yang diperlukan sesuai kewenangan yang dimiliki. Yaitu, membekukan keanggotaan DKJ dan AJ, serta menyelenggarakan Musyawarah Kesenian Jakarta Luar Biasa.
Menurut Arie, pelanggaran yang dilakukan sangat serius dan tidak bisa ditoleransi. Bentuknya berupa pengabaian/tidak bersedia melaksanakan, memanipulasi, mereduksi, serta mendistorsi aturan/ketentuan yang ada dalam Pergub Nomor 4 tahun 2020. Dan, itu tidak hanya dilakukan terhadap ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan musyawarah, tapi juga ketentuan lainnya.
“Pelanggarannya dilakukan secara sadar, sengaja, terstruktur dan sistematis. Ini betul-betul kejahatan, dan pelakunya layak disebut penjahat kesenian. Dan itu tidak hanya DKJ, tapi juga AJ. Makanya dalam petisi tersebut kami juga meyebut AJ,” tandas Arie.
Putra Sumatra Utara yang hijrah di Jakarta itu kemudian membeberkan berbagai pelanggaran yang dilakukan mengenai penyelenggaraan musyawarah, antara lain, penyelenggara, peserta, kepanitiaan, agenda, hingga waktu penyelenggaraan. Dalam hal penyelenggara, misalnya, Pergub tegas-tegas menyatakan posisi DKJ bukanlah sebagai penyelenggara, melainkan sekadar pihak yang diberi kewenangan untuk membentuk panitia.
“Panitia itulah yang menjadi penyelenggara, bukan DKJ. Tapi, sekarang DKJ menyatakan dialah yang menjadi penyelenggara. Dan, itu tertuang dalam berbagai dokumen dan pernyataan yang dikeluarkan DKJ tentang musyawarah. Itu kan perampokan namanya,” ungkap mantan jurnalis ini.
Hal serupa juga terjadi terkait peserta. Dalam pergub eksplisit tertulis bahwa peserta musyawarah adalah Masyarakat Kesenian Jakarta, AJ, DKJ, dan Pemerintah. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan Masyarakat Kesenian Jakarta adalah pegiat kesenian, yaitu individu-individu yang memiliki interaksi langsung dengan kegiatan berkesenian yang meliputi seniman, wartawan seni, kritikus dan pengamat seni, pemikir seni, peneliti dan pendidik/akademi seni, kurator seni dan kalangan nonkesenian yang dikenal luas memiliki perhatian dan kepedulian kepada kegiatan kesenian dengan menjadi fasilitator khusus untuk kegiatan kesenian.
“Jadi, sangat jelas dan terang siapa sesungguhnya yang berhak sebagai peserta. Tapi, oleh DKJ, hal itu dimanipulasi, didistorsi, bahkan didegradasi dan direduksi sedemikian rupa menjadi hanya Dewan Pengarah dan Pelaksana Musyawarah Kesenian Jakarta 2022, perwakilan berbagai organisasi kesenian yang ada di Jakarta, dan undangan sebagai peninjau. Bahkan, unsur pemerintah daerah yang eksplisit isebut dalam pergub, tidak dijadikan peserta,” papar Arie.
Yang lebih parah, tambah Arie, terkait waktu penyelenggaraan musyawarah. Pasal 46 Pergub eksplisit menyatakan bahwa pelaksanaan musyawarah paling lambat sembilan bulan sebelum berakhirnya masa bakti DKJ periode berjalan. Keputusan Gubernur 803 tahun 2020 tentang Pembentukan Anggota DKJ periode 2020-2023 ditetapkan 27 Juli 2020 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Artinya, masa bakti DKJ periode berjalan (2020-2023) berakhir pada 26 Juli 2023 pukul 24.00.
“Sembilan bulan sebelum 26 Juli 2023 itu adalah 26 Oktober 2022. Jadi, musyawarah harus dilaksanakan selambat-lambatnya 26 Oktober 2022 pukul 24.00. Jika dilakukan setelah itu, maka ia telah melanggar Pasal 46 Pergub!” tegas Arie.
Sementara itu, untuk pelanggaran yang tidak terkait musyawarah, menurut Arie, juga tidak kalah serius. Sebab, pelanggaran itu berimplikasi kepada penggunaan anggaran negara (APBD), baik yang dilakukan DKJ maupun AJ.
DKJ, misalnya, terang-terangan melanggar ketentuan tentang komposisi dan susunan Pengurus Harian yang terdapat dalam Pasal 36 ayat 2 dan 3.
Ayat 2, sebut Arie, Pengurus Harian adalah Ketua-ketua Komite ditambah satu orang dari unsur anggota _ex-officio_. Sementara ayat 3 menyebutkan susunan Pengurus Harian terdiri atas satu ketua, dua wakil ketua, dan empat anggota.
“Saat ini, tak seorang pun Pengurus Harian _nonex-officio_ yang berstatus ketua komite. Selain itu, jumlahnya juga tidak tujuh orang, tapi delapan. Jadi, pelanggarannya tidak cuma satu, melainkan dua,” kata Arie.
Akan halnya AJ, pelanggarannya adalah berupa melakukan sesuatu yang bukan tugas dan wewenangnya, namun pada sisi lain tidak menjalankan hal yang seharusnya menjadi wewenangnya.
“AJ memberikan penghargaan AJ, padahal dalam pergub tak tercantum tugas maupun kewenangan seperti itu diberikan. Di pihak lain, AJ tak menjalankan kewenangannya untuk menegur DKJ yang melakukan serangkaian pelanggaran seperti yang sudah disebutkan,” beber Arie.
Bahkan, kata Arie lagi, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan musyawarah di mana DKJ telah jelas dan tegas melanggar banyak ketentuan, AJ diam saja dan malah cenderung seperti membenarkan.
“Ini tidak boleh didiamkan. Pegiat kesenian harus bersikap. Musyawarah Kesenian Jakarta itu milik pegiat kesenian. Jadi pegiat kesenian harus benar-benar berdaulat dalam pelaksanaannya secara sebenar-benarnya sebagaimana mestinya,” pungkas Arie.
Reporter : Suyadi San