MUSLIM INDONESIA MEMILIH PEMIMPIN

spot_img

Berita Terkait

SUDAH banyak pendapat termasuk oleh para ahli mengenai bagaimana seorang muslim Indoesia bersikap dalam memilih pemimpin pada pemilihan umum (pemilu) mendatang. Pemilu itu sendiri mencakup pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018, pemilu legislatif (pileg) serta pemilu presiden (pilpres) 2018, juga berlangsung serentak.

Silang pendapat pun terjadi. Sebagian berpendapat pemilu adalah urusan politik, urusan dunia. Sedangkan agama (khususnya Islam) mengurus soal akhirat, mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan (Allah swt). Keduanya –urusan dunia dan akhirat- adalah dua hal berbeda. Karena itu tidak tepat dicampurbaurkan. Sebagian lagi berpendapat Islam adalah agama sempurna. Mengatur secara menyeluruh prilaku hidup setiap insan muslim baik sebagai pribadi maupun komunitas. Mulai dari hal-hal kecil semisal bagaimana cara membersihkan diri di kamar mandi sampai menda’wahkan ajaran amar-ma’ruf dan nahi-munkar sudah ada pedomannya. Sebab seluruh hidup adalah ibadah (pengabdian). Dan, memilih pemimpin (politik) merupakan bagian dari hidup seorang insan muslim.

Bagaimana seorang muslim Indonesia menyikapi silang pendapat itu? Muslim Indonesia terdiri atas dua kata. Muslim berarti penganut Islam, dan Indonesia bermakna berkewarganegaraan Indonesia. Untuk memudahkan pemahaman, mari kita balik: Indonesia Muslim.

KITA coba urai secara ringkas. Pertama, INDONESIA berarti NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia), tanah tumpah darah yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 setelah diperjuangkan dalam waktu sangat lama oleh para pejuang dari beragam etnis, suku bangsa, agama, daerah asal dari barat (Sabang) hingga ke timur (Merauke).

- Advertisement -

Kebangsaan (nasionalisme) Indonesia sejatinya diikat oleh persamaan nasib sebagai kaum terjajah. Senasib sepenanggungan. Dalam lembaran-lembaran sejarah, tidak ada kelompok masyarakat nusantara yang tidak berkontribusi dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ketika belenggu penjajahan itu berlangsung, ratusan tahun lamanya oleh Balanda dan beberapa tahun pada bagian akhir oleh Jepang, perbedaan latar belakang sama sekali tidak menghalangi masyarakat nusantara bersatu padu dalam berbagai bentuk perjuangan yang memerlukan pengorbanan: perasaan, harta benda, bahkan jiwa dan raga.

Maka, menjadi logislah bila deretan nama pejuang dan pahlawan yang mengorbankan segala apa yang dimiliki muncul dari semua daerah asal, semua etnis, dan semua agama. Bahwa ada kelompok mayoritas, itu benar. Misalnya dari segi daerah dan suku maka dari Jawa lebih banyak jumlahnya. Juga dari segi agama, maka penganut Islam lebih banyak bilangannya. Namun hal itu merupakan konsekuensi logis dari susunan kependudukan. Warga di Jawa, dan yang beragama Islam memang mayoritas.

Antara mayoritas dan bukan mayoritas sesungguhnya bukan tidak pernah mengalami “persoalan” atau “persaingan” atau “pergesekan” setelah Indonesia merdeka. Sebagian dari mayoritas menghendaki Islam menjadi dasar negara. Tetapi non-muslim menolak. Namun pada akhirnya suara “persamaan senasib dan sepenanggungan tanpa sekat primordialisme” dalam perjuangan panjang merebut kemerdekaan “bicara lagi,” hingga disepakati Pancasila –dan bukan sesuatu agama— menjadi dasar negara.

Kaum muslim dapat menerima karena memandang ke-lima sila dalam Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah, Keadilan) pada dasarnya tidak satu pun bertentangan dengan ajaran Islam. Terutama sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak lain dari ajaran tauhid (peng-Esa-an Allah swt) sebagaimana tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an. Wakil-wakil muslim akhirnya dapat menerima.

Kedua, MUSLIM. Muslim adalah pemeluk Islam yang bersyahadat, bersaksi tiada tuhan selain Allah swt dan nabi Muhammad saw utusan Allah swt. Tuhan kaum muslim itu AHAD. Artinya Esa. Dalam konteks Pancasila maka Ketuhanan Yang Maha Esa dipahami kaum muslim sebagaimana Esa-nya dalam kitab suci Al-Qur’an.

Soal ke-Esa-an Allah swt itu disebut berulang kali di dalam kitab suci, salah satunya yang paling diingat tercantum dalam surah al-Ikhlash, “Katakan (hai Muhammad) Dia Allah itu Esa, dst.” Dalam konteks pemahaman seperti diatas itulah golongan Islam legowo menerima Pancasila sebagai dasar negara yang baru lahir, 1945, dan dilengkapi adanya jaminan kebebasan menjalankan agama dalam Undang-undang Dasar.

Secara ringkas Islam dibina dengan tiga fundamen: Islam, Iman, Ihsan. Islam mencakup lima amalan atau ibadah berupa: syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji. Iman mencakup enam keyakinan terhadap: keberadaan Allah Yang Maha Esa dengan segala sifat dan perbuatanNya, para malaikat, para rasul, kitab-kitab wakyu para rasul, hari kiamat, serta qadha dan qadr.

Ada pun Ihsan, ialah prilaku mumpuni, dapat digambarkan secara lugas, “beramal lah kamu seolah-olah kamu melihat Allah swt, dan bila pun kamu tidak mampu melihatNya maka sesunggunnya Ia melihatmu.” Artinya, pada setiap tarikan nafas sepanjang hayat seorang muslim meyakini seyakin-yakinnya bahwa ia tidak pernah sedetik pun lepas dari pantauan Allah. Hal baik dan buruk pasti dicatat dan akan dipertanggungjawabkan dan memperoleh balasan seadil-adilnya kelak pada hari akhir. Dari sinilah lahir pengertian Islam Kaaffah, Islam totalitas, tidak setengah-setengah. Maknanya, setiap niat, ucapan dan tindakan seorang muslim adalah pengabdian, ibadah. Di dalam kitab suci secara eksplisit ditegaskan oleh Allah swt, “Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi (beribadah, menghambakan diri).”

DALAM konteks inilah kegiatan memilih pemimpin bagi seorang muslim tidak bisa lain kecuali merupakan ibadah. Keyakinan ini berseberangan dengan paham kaum sekuler yang memisahkan ibadah dengan kegiatan politik (kekuasaan).

Urusan memilih pemimpin itu sendiri sebenarnya banyak diuraikan dalam kitab suci. Intinya, seorang muslim dilarang memilih Yahudi dan Nashooroo (non-Muslim} sebagai teman setia atau pemimpin. Kata yang dipakai untuk melarang ialah huruf nahyi (melarang) “Laa,” artinya “jangan,” sangat tegas! Dalam konteks hukum, pelanggaran terhadap “Laa” itu berarti melawan atau mendurhakai Allah swt. Konsekuensinya adalah dosa. Sebagian mufassir berpendapat larangan memilih non-Muslim sebagai teman setia atau pemimpin bukan berarti dapat memilih sembarang muslim, melainkan wajib memilih muslim yang berorientasi pada Islam Kaaffah, bukan Islam setengah-setengah. Walloohu a’lam bis-showaab.

(Penulis Chairuddin Pasaribu, alumni 1972 Pondok Pesantren Aekhayuara Sibuhuan, Padanglawas. Berdomisili di Medan)

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Berita Pilihan