Oleh: Sartika Sari
Banyak kampus yang berdedikasi, tapi di antara itu banyak pula kampus yang justru mengekalkan kolonisasi. Ya, penegakan kebijakan pembelajaran di lingkungan kampus memang telah menginduk pada standar kebijakan pendidikan nasional. Namun realisasinya, masih saja ada pihak yang tidak representatif menjalankan aturan. Alhasil, mahasiswa tidak hanya menjadi korban oknum bermental kolonial, melainkan juga menjadi tameng menutupi kebrobrokan.
Kita tidak sedang mencari subjek pelaku kesalahan. Tapi tidak berarti iklim akademik yang meresahkan itu dibiarkan menjadi warisan. Kampus yang menjadi tempat banyak orang tua menitipkan angan-angan untuk kesuksesan anak-anak mereka, seyogianya mampu menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan keilmuan mahasiswa. Untuk berkembang, tentu perlu akses yang luas. āMenahanā mahasiswa selama 4 tahun untuk belajar di kampus saja, berpotensi memperbesar peluang munculnya banyak tekanan dan pembatasan.
Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) muncul seperti telaga di tengah gurun yang gersang. Sebagaimana desain yang disampaikan Kemendikbudristek bahwa Kebijakan MBKM merupakan wujud pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel untuk menciptakan kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Disadari atau tidak, terobosan besar ini telah menutup banyak peluang aksi gurita pendidikan. Selain itu, pola pendidikan yang berpusat pada mahasiswa ini berkontribusi banyak dalam penguatan karakter mahasiswa, baik yang diperoleh dari kegiatan belajar di luar kampus maupun program lain yang relevan.
Di luar argumen-argumen yang teknis tersebut, dua kisah mahasiswa berikut dapat menunjukkan bagaiman MBKM telah berdampak besar bagi kehidupan mahasiswa yang mengikuti program-programnya.
*PMM Menerbangkan Anak Petani*
Namanya Ane Cahya. Ia adalah salah satu mahasiswa yang mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM). Ia berasal dari Pulau Samosir. Ia punya mimpi besar kuliah di kampus ternama di Indonesia. Sayangnya, ia harus mengurungkan mimpi itu karena keterbatasan dana orang tua. Kedua orang tuanya bekerja sebagai petani.
Namun Ane tetap ingin kuliah. Maka, ia bersikeras dengan dirinya sendiri untuk berusaha mencari dana kuliah. Lulus dari SMA, Ane bekerja selama satu tahun. Setelah itu, Ane mempunyai tabungan untuk mendaftar sebagai mahasiswa. Ia lalu mendaftar di Universitas Prima Indonesia. Di kampus, ia aktif mengikuti kegiatan akademik dan nonakademik. Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu, ia ingin berprestasi, seperti mimpinya sejak dulu.
Maka, ketika Kemendikbudristek mengumumkan kegiatan PMM, ia langsung mendaftarkan diri. Ia mempersiapkan semua berkas dan memilih kampus-kampus impiannya. Bak gayung bersambut, Tuhan mengizinkan ia terpilih sebagai salah satu mahasiswa PMM di Universitas Negeri Semarangākampus impiannya.
Tidak hanya Ane, tapi segenap keluarganya bangga dan sangat bersyukur. Berkat program PMM, Ane bisa mewujudkan mimpinya untuk merasakan kuliah di kampus ternama di Pulau Jawa. Selama kurang lebih enam bulan, ia belajar banyak hal di perantauan.
Iklim akademik kampus yang berbeda, kultur masyarakat yang berbeda, hingga segala sesuatu yang ada di perantauan memberinya banyak pelajaran hidup. Kini, Ane, gadis kecil dari pulau Samosir itu telah menjadi motivator bagi adik-adiknya agar berani melawan keterbatasan dan berjuang mewujudkan mimpi. Kekuatan dan semangatnya bertambah terus, mimpinya semakin tinggi, itu Ane.
Saya bangga melihat perubahannya selepas mengikuti program PMM. Meski hanya sementara belajar di Universitas Negeri Semarang, tapi bermanfaat selamanya.
*Magang Membuat Ia Beradab*
Salah satu skema pembelajaran di luar sekolah yang ditetapkan dalam MBKM adalah magang. Program ini dapat dilaksanakan selama 1–2 semester sehingga memberikan pengalaman yang cukup kepada mahasiswa, pembelajaran langsung di tempat kerja ( _experiential learning_). Magang yang berjalan selama satu semester mendapatkan minimum 20 SKS (tidak boleh kurang, tapi boleh lebih banyak).
Selain kegiatan MBKM _flagship_ yang dilaksanakan pemerintah atau MBKM eksternal, Universitas Prima Indonesia juga mengadakan kegiatan MBKM internal. Salah satu program yang menarik minat mahasiswa adalah magang internal. Salah satu mahasiswa saya mengikuti program tersebut. Saya akan menuturkan pengalaman berinteraksi dengannya.
Awal berkenalan, tidak berbeda jauh dari potret mahasiswa lain. Ia selalu retoris dan tampak ambisius. Kebetulan saat itu, pembelajaran masih dilaksanakan secara daring karena pandemi. Hampir seluruh mahasiswa belajar dari rumah masing-masing, tapi ia tidak. Ia lebih senang datang ke kelas, meski ia duduk sendirian.
Selanjutnya, sebagaimana mahasiswa energik yang senang berkumpul dan berorganisasi, ia pun begitu. Suatu ketika, ia ingin mengikuti kompetisi. Ia sering datang pada saya untuk mendiskusikan proposal yang sedang mereka kerjakan. Padahal, saya bukan pembimbing substansi proposal mereka. Namun, proses pembimbingan tetap saya lakukan. Di antara rekan dalam timnya, ia adalah mahasiswa yang paling banyak bertanya.
Sayangnya pertanyaan-pertanyaan yang ia sampaikan tidak sebatas kebutuhan penulisan proposal. Lebih dari itu, soal kebijakan, lalu soal tanggung jawab, atau keluhan yang bertubi-tubi. Sampai, ketika proposal mereka diterima, ia kemudian datang dengan gaya politisi dan bertanya kepada saya, āKami sudah menang, lalu apa kontribusi kampus pada kami?ā
Pertanyaan-pertanyaan itu masih saya rekam. Sejujurnya, sebagai manusia biasa, saya merasa sangat terganggu. Di kelas perkuliahan, ia juga sering menunjukkan sikap yang tidak tepat, bahkan kerap membuat dosen tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan atau kritiknya. Misalnya, ia juga senang bertanya untuk sekadar menguji pengetahuan dosen. Ia merasa telah menjadi mahasiswa yang memiliki kekuasaan untuk berkata apapun, mengoreksi siapa pun, dan bertindak semaunya. Ya, ia mahasiswa yang kritis, tapi bukankah miskin etika?
Potret tersebut, sekitar sembilan bulan lalu. Hari ini saya menyaksikan langsung ia telah lahir sebagai pribadi yang baru. Sebuah perubahan yang menurut saya tabu, tapi ternyata benar-benar terjadi padanya. Perubahan itu terjadi setelah ia mengikuti magang internal. Saya turut bangga menyaksikan perubahannya. Kini, setiap bertemu, ia adalah mahasiswa paling santun yang pernah saya temui. Ia tidak lagi bercokol seperti buaya. Tutur, gestur, dan tindak tanduknya disorot civitas akademika yang lain juga. Ia termasuk mahasiswa teladan yang disenangi rekan sejawat, dosen, atau staf lainnya.
Ya, ia telah belajar banyak selama magang. Terutama, belajar bertutur dan bersikap dengan baik di lingkungan akademik. Menurut saya, itu adalah pencapaian tertinggi. Sebab kepintaran tidak cukup jika tidak dibarengi etika yang mapan.
Itulah, kisah Ane dan rekannya. Mereka adalah bukti nyata kebermanfaatan implementasi Kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Saya yakin, selain Ane dan rekannya, masih banyak kisah-kisah baik lain yang menunjukkan betapa program ini berdampak baik bagi mahasiswa. Ane dan rekannya adalah fakta, bukan fiktif. Maka, lihatlah bukti nyata manfaat MBKM ini. Kita tidak perlu lagi beretorika ke segala arah.
* Penulis adalah dosen di Universitas Prima Indonesia_*