Manuskrip Jejak Awal Kekuasaan Kolonialisme Belanda
Oleh : *Budi Agustono
MINGGU malam 30 Oktober 2022, saya mengajak Arman menikmati menyusur jantung Amsterdam, Ibu Kota Belanda. Di sepanjang jalan di atas kereta api, selama enam puluh menit dari Leiden, tempat kami tinggal menuju Amsterdam, kami saling tukar diskursus pengetahuan.Â
Dua puluh tahun lalu Arman lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Sesudahnya ia tak memilih pekerjaan di mana pun, kecuali mempelajari naskah kuno atau manuskrip Lampung.
Adalah kecelakaan sejarah, lulusan ekonomi mengubah hidupnya menjadi pekerja naskah kuno Lampung yang tak diminati banyak orang.
“Masih ada manuskrip kuno yang ditulis di kulit kayu di Lampung,” kata lelaki yang masih sendiri ini.
Dia ke Universitas Leiden beroleh beasiswa Lilngling Scholarship di bidang filologi. Bidang yang ditekuninya selepas lulus dari Fakultas Ekonomi.
Setelah sampai di Amsterdam di malam hari melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya kami melahap kebab yang penjualnya orang Mesir di kerumunan kota yang indah ini.
Sambil menyantap kebab pengganti makan malam, pikiran saya terbang mengingat tutur narasi Arman tentang manuskrip Lampung.
Filolog Herman Van der Tuuk
Manuskrip atau naskah lama Sumatra, Bali, dan Jawa selalu terkait dengan filolog Herman Van der Tuuk kelahiran Surabaya 1824 dari keluarga petinggi kolonial di Jawa. Ia (Herman, red) disekolahkan keluarganya di Leiden dan tertarik pada bahasa.
Selepas studi, oleh Netherlands Bible Society, institusi zending, Herman dikirim ke Sumatra mempelahari bahasa dan kebudayaan mula-mula Batak Toba. Ia turun dari kapal menuju Sibolga, Barus, dan wilayah Batak Toba.
Selama lima tahun bekerja di institusi zending, van der Tuuk bertugas mempelajari bahasa dan kebudayaan Batak Toba. Ia menulis kamus bahasa Batak Toba dan kebudayannya, termasuk mengamati atau meminta masyarakat menulis manuskrip Batak Toba. Ada banyak tulisannya tentang Batak Toba.
Lima tahun lamanya van der Tuuk bekerja dan menulis leksikografi, filologi, dan kebudayaan Batak Toba sehingga mengangkatnya menjadi pengetahuan tentang kehidupan masyarakat. Pengetahuan inilah yang juga dipakai untuk menata kekuasaan.
Sesudah lima tahun memproduksi pengetahuan Batak Toba, ia dipindah ke Bali, tapi tak jadi berdinas di sana lantaran pecah kekacauan politik. Sebagai gantinya, ia dikirim ke Lampung dengan tujuan sama seperti di masyarakat Batak Toba.
Selama tiga tahun di Lampung, ia mempelajari dan menulis bahasa dan kebudayaan Lampung serta meminta masyarakat menulis pengetahuan lokal di atas kulit kayu. Dari karya tulisan van der Tuuk inilah, publik mengetahui kehidupan budaya Lampung.
Setelah kekacauan politik mereda di Bali, van der Tuuk berada di tanah dewata juga berbuat sama seperti di Batak Toba dan Lampung. Karyanya soal manuskrip Bali melimpah, apalagi sampai akhir hayatnya ilmuwan kolonial ini berada di Bali, tapi peristirahatannya di Surabaya tahun 1879.
Konstruksi pengetahuan bahasa, budaya, kamus dan sebagainya oleh van der Tuuk telah membuka kaki langit denyut nadi kehidupan masyarakat.
Dari konstruksi pengetahuan lokal yang saat ini tersimpan baik di Universiras Leiden inilah, menjadi alas rancang bangun kekuasaan kolonial Belanda beroperasi di negeri Hindia Belanda yang bertumbuh menjadi Indonesia. Pengetahuan adalah kekuasaan.
Selepas menjelajah kota Amsterdam sampai melewati _red light area_ terkenal itu — yang berlokasi di pertokoan dan kafe tempat menghirup udara dingin di lipatan bangunan lama menjulang tinggi — pukul 22.00 kami pulang berkereta api ke Leiden.
Van Swietenstraat Senin 31 Oktober 20.22.
*_Penulis, guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatra Utara yang tengah berdinas di Belanda_
Editor: Suyadi San|Mas Rin