Mencari jarum di tumpukan jerami memang sulit bahkan hampir tak mungkin. Apalagi jarumnya kecil dan tumpukan jeraminya menggunung. Berkemungkinan besar bakalan tak ketemu.
Namun jika mencari minyak goreng (migor) diantara tumpukan jerami, agaknya tak sesulit mencari sebatang jarum itu. Apalagi migornya ada di dalam kemasan ukuran 1 liter dan 2 liter.
Namun aneh memang, realitasnya justru berbeda. Rakyat di negeri ini malah kesulitan mencari bahan kebutuhan pokok tersebut.
Padahal, migor tidak berada diantara tumpukan jerami tetapi ada diantara rindangnya pohon kelapa sawit dan banyaknya mesin-mesin produksi.
Bayangkan saja, di negeri ini ada sekira 14,60 juta hektar hamparan kebun sawit yang dikelola oleh negara, swasta nasional dan asing. Itu artinya pasokan crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku migor melimpah ruah. Setidaknya menghasilkan sebanyak 46,88 juta ton CPO. Sedangkan kebutuhan migor secara nasional hanya sekira 280 juta liter.
Maka semestinya, mencari minyak goreng itu tak seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami karena bahan baku salah satu kebutuhan pokok itu sangat banyak, tetapi realitasnya mengapa justru seperti itu. Memprihatinkan, memang.
Pemerintah yang katanya segera bertindak untuk menekan harga melalui subsidi senilai Rp7,6 triliun untuk 1,6 milyar liter migor selama kebutuhan 6 (enam) bulan, justru membuat migor menjadi nyaris tak terlihat di pasaran.
Padahal Menteri (Mendag) Muhammad Lutfi, sesumbar hanya butuh waktu sepekan untuk menormalkan harga migor tersebut. Ia tak mampu merealisasikannya, selain hanya selama sehari saja, paska pengumuman Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14 ribu perliter.
Seterusnya migor langka. Kelangkaan itu tak hanya di pasar pasar modern tetapi juga di pasar tradisional. Ada sebuah swalayan modern jaringan nasional yang mengaku sudah lebih tiga pekan tak menjual komoditas itu. Rak pajangnya melompong, meski terdapat tulisan “Migor Harga Promo Rp 14.000/Liter”.
Begitu juga di pasar tradisional, tak banyak yang menjajakan migor. Jikapun ada, harganya mencapai Rp16 ribu-Rp18 ribu perliter. Jauh melampui HET yang ditetapkan.
Ironis, setelah pemerintah turun tangan bukannya kondisi membaik, malah semakin gak tentu juntrungan. Rakyat jadi dobel kerugian. Sudahlah harga tetap tinggi, kini ditambah lagi dengan beban tambahan sulit mencari minyak goreng itu.
Temuan Tim Satgas Pangan ada timbunan 1,1 jutaliter migor dari sebuah gudang milik PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) seakan mengonfirmasi penyebab migor langka di pasaran.
Tapi sayang, pihak kepolisian justru menganulir dugaan itu. Menurut pejabat Polda Sumut, timbunan tersebut bukan tergolong aksi penimbunan yang mengarah tindakan pidana. Alasannya jumlah dan lama masa timbun belum melewati ketentuan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut ada indikasi kartel dalam bisnis minyak goreng ini. Ketua KPPU Wilayah 1 Sumut, Ridho Pamungkas menyebutkan institusinya sedang melakukan pendalaman terhadap dugaan tersebut, termasuk soal dugaan penimbunan.
Ia menyebut, saat ini sebesar 46,5 persen pasar minyak goreng di negeri ini dikendalikan oleh empat produsen besar. Nah loh, kalau sudah terdeteksi siapa saja pemain di migor, mengapa pemerintah tak kunjung mampu menyelesaikan persoalan ini? Yang ada malah menyalakan masyarakat melakukan penimbunan.
Kita juga heran dengan aparat kepolisian yang tak kunjung mampu mengungkap dugaan “permainan” dalam distribusi migor ini. Padahal semuanya terlihat jelas. Rasanya tidaklah sulit untuk menelusuri ini.
Jika soal migor ini saja tak kunjung tuntas, bagaimana kita bisa berharap banyak kepada para elit negeri ini akan mampu membawa negara ini maju dan rakyatnya makmur. Atau jangan-jangan mereka memang tak peduli itu.