Membandingkan Dampak Corona dengan Pemilu 2019

0
218

Akibat penerapan Demokrasi yang berasas sekulerisme, persoalan demi persoalan tetap mendera negeri ini. Pemberantasan korupsi yang tidak pernah menemukan ujung pangkalnya.

Ainul Mizan
Ainul Mizan

Oleh Ainul Mizan (Pemerhati Politik)

Diberitakan bahwa jumlah korban meninggal terinfeksi Vrus Corona telah mencapai 249 orang (www.cnnindonesia.com, 1 Februari 2020). Virus Corona dari Wuhan ini termasuk jenis baru yaitu 2019-nCov (Virus Corona Novel) memiliki tingkat epidemik cukup tinggi. Bahkan disebut lebih berbahaya dibanding dengan wabah virus SARS di tahun 2003.

Virus Corona ini semakin meluas hingga ke 21 negara.Yang terbaru adalah Italia, India, dan Filiphina. Sebelumnya ada Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Arab, Vietnam, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, AS, Nepal, Uni Emirat Arab, Australia, dan lainnya. (www.cnbcindonesia.com, 30 /04/2020).

Tentunya wabah Virus Corona menjadi musibah yang besar bagi manusia. Tidak bisa dianggap ringan wabah Virus Corona. Apalagi kalau virus Corona sudah berada di masa pandemi. Sekitar ribuan orang bisa meninggalkan dunia dalam rentang waktu sekitar 18 bulan.

Hanya saja ada sebuah peristiwa yang lebih besar daripada virus Corona? Pemilu 2019 memberikan sebuah dampak yang luas, di samping memakan korban dalam jumlah banyak.

Pemilu 2019 telah meninggalkan duka lara. Jumlah petugas KPPS yang meninggal dunia mencapai 527 orang dan yang sakit sebanyak 11.239 orang (www.kompas.com, 16 Mei 2019).

Di samping itu, Pemilu 2019 oleh banyak pihak disebut sebagai pemilu terburuk sepanjang pemilu di Indonesia. Dugaan terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dari persoalan daftar pemilih tetap (DPT) yang ganda hingga pengumuman hasil pemilu yang diam – diam. Selanjutnya hal tersebut memicu ketidakpuasan yang meluas hingga menimbulkan protes besar – besaran yang disebut sebagai gerakan People Power.

Sesungguhnya yang menjadi korban dari Pemilu 2019 adalah seluruh rakyat Indonesia. Pemilu 2019 telah melahirkan sosok pemimpin yang tetap menerapkan sistem Demokrasi. Sekulerisme sebagai asasnya betul – betul menjelma dalam semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditambah lagi, sosok pemimpin hasil pemilu 2019 disinyalir tidak mempunyai kompetensi kenegaraan yang memadai.

Akibat penerapan Demokrasi yang berasas sekulerisme, persoalan demi persoalan tetap mendera negeri ini. Pemberantasan korupsi yang tidak pernah menemukan ujung pangkalnya. Bahkan KPK sebagai badan anti rasuah terkesan dilemahkan dengan terbitnya revisi UU KPK. Dibentuknya Dewan Pengawas menjadi kunci pelemahan KPK. Keadaan tersebut memicu gelombang protes mahasiswa hingga menelan korban meninggal.

Akhirnya publik dibuat terbelalak dengan adanya megakorupsi Jiwasraya yang merugikan negara sebesar Rp 13,7 trilyun.

Terdapat dugaan aliran dana korupsi Jiwasraya digunakan untuk pemenangan pemilu 2019. Harry Prasetyo, yang menjadi direktur keuangan Jiwasraya, sempat menjadi tenaga ahli keuangan di Kantor Staf Kepresidenan. Tentunya hal demikian mengharuskan untuk diselidiki.

Belum kelar kasus Jiwasraya, muncul korupsi di Asabri. Potensi kerugian negara sekitar Rp 10 trilyun. Disusul kemudian KPK yang melakukan OTT kepada seorang komisioner KPU, Wahyu Setiawan yang menerima uang suap dari Hasto Kristyanto, dari partai penguasa.

Anehnya, penggeledahan di kantor PDIP baru mendapatkan ijin dari Dewas KPK sepekan setelah OTT dilakukan. Idealnya penggeledahan dilakukan langsung setelah terjadinya OTT. Dengan demikian bisa ditemukan keotentikan data dan bukti yang mendukung hasil OTT. Inilah bukti adanya pelemahan terhadap KPK.

Pemilu 2019 telah mengkonfirmasi alam pikiran kabinet yang dibentuk oleh pemerintahan Jokowi Makruf. Memerangi paham radikalisme menjadi goal settingnya. Bahkan ada sebutan khusus bagi Menag Fahrurrozi sebagai Menteri Radikalisme. Begitu pula, Menkopolhukam Mahfudz MD tidak henti – hentinya membuat narasi anti radikalisme. Yang terbaru pernyataannya tentang haramnya meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad Saw. Artinya radikalisme memang diarahkan kepada ajaran Islam. Padahal ajaran Islam termasuk sistem pemerintahan Islam adalah dalam rangka mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.

Pemilu 2019 juga mengkonfirmasi ekonomi neoliberalisme yang semakin masif. Pembuatan insfrastruktur jalan tol besar – besaran yang terhubung dengan sektor kegiatan ekonomi rakyat di sektor pertanian dan perkebunan, sesungguhnya menjadi bentuk penguasaan investasi yang masif. Ditambah lagi wacana penggodokan Omnibus Law, menjadi karpet merah bagi imperialisme ekonomi di dalam negeri. Rakyat betul – betul harus berjuang sendiri untuk hanya sekedar bertahan hidup. Kenaikan harga kebutuhan pokok, TDL (tarif dasar listrik), dan rencana kenaikan harga gas melon LPG menjadi beban berat rakyat.

Pemilu 2019 lebih jauh telah mengkonfirmasi sosok seperti apa pemimpin negeri ini. Virus Corona telah menjelaskan bahwa serbuan TKA dari China ke Indonesia bukanlah isapan jempol. Bahkan pemerintah telah menandatangani proyek OBOR China. Tidak tegasnya sikap pemerintah dalam menyikapi pelanggaran kedaulatan di Natuna oleh China. Begitu pula merebaknya kasus wabah Corona telah mengkonfirmasi tidak tegasnya sikap pemerintah untuk memulangkan kembali TKA China di dalam negeri.

Jadi perhelatan pemilu 2019 telah memberikan dampak krisis multidimensi. Lagi – lagi penerapan Sistem Demokrasi yang berasas sekulerisme menjadi biang kerok segenap persoalan bangsa dan negara. Para pemimpin dan pejabat yang tidak peduli dengan nasib rakyatnya mengkonfirmasi kualitas demokrasi dalam melahirkan sosok pemimpin negara.

Lantas akankah kerusakan ini terus berlanjut hingga pada suatu titik kita baru sadar bahwa kerusakan tersebut akibat dari memunggungi aturan dari Sang Pencipta, Allah SWT. []

Tinggalkan Balasan