Oleh: Muhibbullah Azfa Manik
Iduladha tahun ini jatuh pada 6 Juni 2025. Di banyak tempat, suara takbir menggema seperti biasa, panitia sibuk menyusun daftar penerima, dan sejumlah lembaga mengklaim peningkatan kurban. Namun, bersamaan dengan itu, muncul suara-suara dari masjid-masjid kampung dan pojok kota yang bercerita lain: tahun ini kurban terasa sepi. Jumlah hewan menurun, dana tak sebanyak biasanya, dan wajah-wajah yang dulu menyumbang kini hanya menyaksikan dari kejauhan.
Konflik data mulai muncul sehari setelah penyembelihan. Di satu sisi, lembaga nasional seperti BAZNAS dan Rumah Zakat melaporkan adanya peningkatan partisipasi masyarakat, terutama lewat skema kurban digital. Di sisi lain, tak sedikit pengurus masjid lokal yang mengeluh, jumlah pekurban tahun ini justru lebih rendah dibanding 2024. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebuah Kurban, Banyak Tafsir
Menurut laporan BAZNAS RI, pada 2024 sebanyak 900.000 ekor hewan kurban setara kambing telah disalurkan melalui program Kurban Berkah. Tahun ini, angka itu disebut meningkat sekitar 18 persen. Rumah Zakat juga melaporkan lonjakan partisipasi pada kurban daring mereka, seiring perluasan jaringan distribusi hingga ke wilayah terluar Indonesia.
Namun, gambaran ini kontras dengan laporan lapangan dari sejumlah wilayah seperti Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, dan sebagian Jawa Tengah. Beberapa takmir masjid di perumahan kelas menengah mengaku jumlah hewan yang terkumpul turun 20–30 persen dibanding tahun lalu. Salah satu pengurus masjid di pinggiran Bandung bahkan menyebut hanya mendapat separuh dari jumlah kurban tahun 2024.
Mengapa kesenjangan ini terjadi? Penjelasannya terletak pada tiga hal: perbedaan wilayah, sektor penyaluran, dan indikator yang digunakan.
Naik di Aplikasi, Turun di Lapangan
Fenomena pertama adalah perpindahan saluran kurban dari masjid ke platform digital. Kurban kini tak lagi sekadar ritual lokal. Lewat BAZNAS, ACT, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, dan berbagai startup syariah, umat Islam bisa menyembelih hewan dari rumah, membayar lewat transfer bank, lalu menerima laporan berupa sertifikat dan dokumentasi video. Praktis, efisien, dan tak perlu repot.
Namun, kemudahan itu punya dampak. Banyak warga yang dulu menyembelih di lingkungan RT atau masjid, kini memilih menyalurkan lewat platform daring. Akibatnya, masjid-masjid kehilangan pekurban tetapnya, sementara lembaga nasional mencatat kenaikan yang seolah spektakuler. Kenaikan itu memang nyata, tapi tak bisa mewakili keseluruhan wajah kurban tahun ini.
Di sisi lain, distribusi daging lewat platform digital sering kali tak menjangkau tetangga terdekat si pekurban. Di satu kota, daging melimpah, sementara di gang sebelahnya tak satu pun warga menerima bagian. Kurban menjadi personal, bukan lagi sosial.
Wilayah Tak Seragam, Realitas Beragam
Perbedaan antarwilayah juga menjadi faktor penting. Di DKI Jakarta, khususnya Jakarta Pusat, tercatat lebih dari 6.280 ekor hewan kurban diperiksa kesehatannya sebelum disembelih. Pemerintah kota bahkan menurunkan 103 petugas medis untuk mengawasi proses pemotongan. Sebaliknya, di daerah-daerah yang tengah tertekan secara ekonomi, seperti wilayah terdampak PHK massal atau inflasi pangan tinggi, jumlah pekurban menurun tajam.
Sejumlah data menunjukkan bahwa sepanjang paruh pertama 2025, Indonesia mengalami pelemahan daya beli rumah tangga. Indeks Konsumsi Masyarakat turun tipis 1,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Meskipun tak tampak signifikan di atas kertas, dampaknya terasa nyata bagi masyarakat kelas menengah-bawah. Kurban, yang selama ini menjadi bagian dari budaya beragama mereka, kini dipertimbangkan ulang. Uang sekolah anak, biaya dapur, dan tagihan utang terasa lebih mendesak daripada seekor kambing jantan.
Mana yang Naik: Jumlah atau Nilai?
Pertanyaan berikutnya: apakah yang naik itu jumlah hewan atau nilai ekonominya? Banyak laporan menunjukkan bahwa jumlah hewan kurban secara nasional relatif stagnan. Yang meningkat adalah nilai rupiahnya—karena harga sapi dan kambing naik tajam pada tahun ini.
Kementerian Pertanian mencatat bahwa harga sapi kurban rata-rata di Jakarta mencapai Rp28–32 juta, naik 10–15 persen dari tahun lalu. Sementara kambing standar naik dari Rp3,5 juta menjadi Rp4 juta. Ini membuat banyak orang yang biasanya membeli sapi, kini hanya mampu ikut arisan kambing.
Artinya, dalam hitungan statistik total nilai ekonomi kurban memang bisa naik. Tapi dari sisi jumlah hewan yang disembelih atau jumlah penerima manfaat, belum tentu bertambah. Bahkan bisa jadi justru menurun
Antara Angka dan Makna
Dari data yang saling tumpang tindih ini, satu hal menjadi terang: kita terlalu fokus menghitung berapa sapi yang dipotong, dan lupa bertanya kepada siapa dagingnya sampai. Kita sibuk mencetak sertifikat digital, tapi enggan memastikan apakah tetangga kita sudah ikut merayakan.
Kurban 2025 memberikan pelajaran: bahwa statistik dan kenyataan sosial tidak selalu sejalan. Angka bisa naik, tapi semangat gotong royong bisa turun. Dana bisa mengalir, tapi makna bisa mengering.
Kita mungkin sedang menyembelih lebih banyak hewan, tapi apakah kita juga menyembelih rasa abai, sikap egois, dan kecenderungan individualisme kita?
Menyusun Kembali Tujuan
Saatnya umat Islam menata ulang cara berkurban. Kurban daring boleh tetap tumbuh, tapi harus dibarengi dengan transparansi distribusi. Masjid lokal perlu difasilitasi, bukan ditinggalkan. Pemerintah, ormas Islam, dan platform digital harus duduk bersama—menyatukan data, wilayah distribusi, dan evaluasi sosial. Agar kurban tak hanya meningkat di aplikasi, tapi juga terasa hangat di lorong-lorong kampung.
Karena yang kita cari bukan sekadar daging, tapi juga jembatan sosial. Bukan sekadar jumlah, tapi juga keberkahan yang merata.
Penulis adalah dosen Universitas Bung Hatta