mimbarumum.co.id – Koran Perempoean Bergerak yang terbit di Medan tahun 1919 merupakan bukti tumbuhnya kesadaran kaum perempuan untuk meraih haknya sebagai manusia seutuhnya.
Keberadaan media massa dalam hal ini surat kabar menjadi wadah bagi perempuan untuk menyebarluaskan gagasan mengenai kesetaraan gender, menggugat sistem sosial yang berlaku di mana laki-laki telah menguasai dan menghambat kemajuan kaum perempuan.
Demikian kesimpulan penelitian Lia Anggia Nasution selaku penerima hibah Cipta Media Ekspresi yang dipresentasekan dalam acara diskusi ulasan penelitian “Sejarah Pers Perempuan di Sumut”.
Penelitianitu merupakan studi analisis wacana kritis perspektif feminis dalam konten koran Perempoan Bergerak di Sumut periode 1919-1920 di resto Mie Ayam Mahmud, Jalan Abdullah Lubism Kota Medan, Sumatera Utara, baru-baru ini.
Seperti diketahui, Koran “Perempoean Bergerak” terbit pertama sekali pada 15 Mei 1919 di Wilhelminastraat no. 44, Telp. 562, Deli, Sumatera Timur.
Koran ini dicetak oleh NV. Drukkerij ‘Setia Bangsa’ dan ditujukan sebagai ‘Penjokong Pergerakan Kaoem Perempuan’. Sedangkan jargon Surat kabar ini adalah ‘De Beste Stuurlui Staan aan wal’ atau ‘ sahabat terbaik mampu melindungi’- sesama perempuan harus mampu saling mendukung, saling melindungi.
Koran Perempoean Bergerak ini digawangi oleh redaksi perempuan yakni Boetet Satidjah, sebagai redactrice. Anong S. Hamidah, Ch. Baridjah, Indra Boengsoe dan Siti Sahara, Onderwijszeres Matang Gloempang Doea.
Ketiganya didaulat menjadi Medwerksters (staf redaksi). Sementara nama T.A Sabarijah memangku jabatan sebagai Direktur Perempoean Bergerak.
Parada Harahap sebagai Pemred, Belakangan tercatat juga nama Rabiatoel Adwie sebagai Matoer dan K. Wondokoesoemo sebagai redaksi yang menerima karang-karangan dari Djawa
Dalam acara diskusi tersebut, Anggia menuturkan, berdirinya koran ini tidak terlepas dari sokongan kaum laki-laki. Meskipun, banyak ditemui terjadi relasi yang timpang, namun diyakini pergerakan kemajuan yang ingin dicapai bersama dapat terwujud jika perempuan dan laki-laki berada pada percaturan yang sama.
“Isi pemberitaan dalam koran ini dipengaruhi terhadap situasi di masa itu. Dimana pengaruh politik etis yang diberlakukan Belanda berdampak positif terhadap peningkatan kemajuan perempuan.
Kondisi ini membuat perempuan semakin berkembang, tidak hanya menggugat budaya patriarki namun juga membangkitkan semangat nasionalisme.
“Selain itu koran ini menjadi pelopor terbangunnya jaringan yang kuat diantara perempuan,” tuturnya.
Disebutkan Anggia yang juga Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumatera Utara ini, penelitian ini dilakukan mulai Desember tahun 2018 hingga Februari 2019 dengan menggunakan metode analisis wacana kritis dengan perspektif feminis.
Adapun model yang digunakan adalahanalisis tiga dimensi Norman Fairlough yang menggambarkan, bahwa setiap peristiwa penggunaan bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang terdiri dari tiga dimensi yakni, teks, discourse practice dan sociocultural practice.
“Subjektivitas tidak dapat dihindarkan dalam penelitian ini, karena realitas ditemukan dalam teks merupakan hasil dari penafsiran peneliti,” paparnya.
Tujuan penelitian yang saya lakukan ini bagaimana konsep feminisme yang digaungkan jurnalis dalam koran Perempoean Bergerak. Selain itu juga, bagaimana dapur redaksi Koran Perempoen Bergerak dan relasi perempuan dan laki-laki yang membidani lahirnya koran tersebut dan bagaimana korelasi koran tersebut terhadap gerakan perempuan di masa itu.
“Saya berharap, dengan penelitian bisa menambah wawasan khasanah literasi sejarah perempuan di Sumut,” katanya.
Pengulas penelitian, J Anto mengatakan, alasan pemilihan Perempoean Bergerak dipilih sebagai objek penelitian sangat tepat, karena koran ini merupakan koran pertama di Sumut yang digawangi oleh perempuan di Sumatera Utara.
Surat kabar ini juga menjadi bukti kemajuan besar bagi perempuan di Sumatera Utara, terutama karena ia dipimpin oleh perempuan.
Perempoean Bergerak juga memiliki penyunting tulisan yang juga seorang perempuan. Hal ini menjadi istimewa, mengingat pada masa itu masih banyak masyarakat yang buta huruf.
“Nama koran ini juga terkesan lebih revolusioner jika dibandingkan dengan surat kabar perempuan yang pernah terbit di Padang, Soenting Melayu (1912). Sehingga, dapat dimaknai kalau koran ini mengajak perempuan untuk bergerak maju melawan ketertinggalan yang diakibatkan belenggu patriarki,” jelasnya.
Dia menilai, banyak ‘harta karun’ literasi di Sumut yang memerlihatkan ‘pergulatan intelektual’ kaum terpelajar zamannya, namun belum banyak yang digali. Salah satu sumber harta karun itu adalah surat kabar yang kali ini digali oleh Lia Anggia Nasution.
Sebelumnya untuk kajian sastra (puisi) sudah dilakukan oleh Sartika Sari, komik oleh Koko Hendri Lubis. Masih banyak yang perlu digali mengenali sejarah diri.
“Menurut saya, sebaiknya ada tabel yang berisi tentang judul tulisan, nama penulis, status penulis (redaksi dan non redaksi), laki-laki dan perempuan, siapa mereka, tanggal dan tahun pemuatan. Tabel seperti ini berguna untuk memberikan gambaran tentang produktivitas penulis isu feminisme pada zamannya, termasuk darimana posisi sosia seperti apa mereka (jika ada),” tandasnya.(Mahbubah Lubis)