Oleh: Marzuki Manurung, Dosen Fak. Ushuluddin dan Studi Islam UIN Sumut
mimbarumum.co.id – Wacana mengenai libur sekolah selama bulan Ramadan kembali mengemuka, memunculkan berbagai pandangan di tengah masyarakat. Meskipun kebijakan ini bertujuan memberikan ruang bagi siswa untuk lebih fokus pada ibadah, namun perlu diingat bahwa pendidikan formal juga tidak boleh terabaikan.
Ramadan harus menjadi momentum untuk mengintegrasikan pembelajaran akademik dengan nilai-nilai spiritual. Oleh karena itu, alih-alih libur total, pengaturan kegiatan atau pembelajaran selama Ramadan menjadi solusi yang lebih bijak.
Pengaturan Kegiatan
Sekolah perlu menerapkan jadwal belajar yang fleksibel dan relevan dengan suasana Ramadan. Salah satu caranya adalah memperpendek jam belajar di pagi hari, sehingga siswa tidak terlalu lelah akibat perubahan pola tidur dan makan selama puasa.
Selain itu, materi pembelajaran dapat disesuaikan dengan tema Ramadan, seperti membahas nilai kesabaran, pentingnya berbagi, dan sejarah peradaban Islam. Dengan cara ini, pendidikan akademik tetap berjalan tanpa mengabaikan suasana religius yang khas selama bulan suci.
Di luar itu, sekolah juga dapat menginisiasi program-program khusus yang mendukung pengembangan spiritual dan karakter siswa. Contohnya adalah mengadakan pesantren kilat, tadarus bersama, kajian keagamaan, atau proyek amal sosial.
Program-program ini tidak hanya mendekatkan siswa pada nilai-nilai agama, tetapi juga memberi pengalaman bermakna yang dapat membangun karakter dan keterampilan sosial mereka.
Dengan adanya pengaturan ini, siswa tetap terlibat dalam pembelajaran yang konstruktif sekaligus memiliki waktu yang cukup untuk meningkatkan ibadah.
Mensinergikan Peran Sekolah, Orangtua, dan Masyarakat
Dalam konteks pembelajaran selama Ramadan, sekolah memiliki peran strategis sebagai fasilitator utama. Guru dan tenaga pendidik harus mampu merancang kegiatan yang relevan dan menarik bagi siswa.
Misalnya, mengintegrasikan nilai-nilai moral ke dalam mata pelajaran atau menyelenggarakan kegiatan tematik yang sesuai dengan Ramadan. Selain itu, sekolah juga perlu memastikan bahwa siswa tetap memiliki rutinitas belajar yang terarah, meskipun dengan intensitas yang lebih ringan.
Namun, keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada sekolah. Orang tua juga memiliki peran penting sebagai pengawas dan pembimbing utama di rumah.
Orang tua perlu memastikan bahwa waktu luang siswa di luar jam sekolah dimanfaatkan untuk hal-hal yang produktif, seperti membaca Al-Qur’an, membantu keluarga, atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
Selain itu, orang tua dapat menciptakan suasana Ramadan yang harmonis di rumah, misalnya dengan mengadakan shalat berjamaah, berbuka puasa bersama, dan mendiskusikan nilai-nilai keagamaan.
Kolaborasi yang baik antara sekolah dan orang tua menjadi kunci untuk memastikan siswa tetap berada dalam jalur yang positif selama Ramadan.
Selain peran sekolah dan orang tua, organisasi-organisasi remaja dan siswa juga dapat memainkan peran penting dalam mengisi waktu Ramadan dengan kegiatan yang bermanfaat.
OSIS, pramuka, dan komunitas remaja masjid, misalnya, dapat mengadakan kegiatan-kegiatan sosial seperti bakti sosial, berbagi takjil, atau penggalangan dana untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Kegiatan ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan, tetapi juga membantu siswa mengembangkan rasa empati dan tanggung jawab sosial.
Organisasi-organisasi ini juga dapat menjadi wadah bagi siswa untuk berkreasi dan bekerja sama dalam merancang program-program berbasis Ramadan.
Dengan melibatkan siswa secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, mereka akan merasa lebih memiliki tanggung jawab dan keterikatan terhadap program tersebut. Hal ini juga menjadi sarana yang efektif untuk menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan keterampilan organisasi di kalangan siswa.
Keberhasilan pengaturan kegiatan selama Ramadan sangat bergantung pada sinergi antara sekolah, orang tua, dan komunitas. Sekolah dapat berperan sebagai inisiator utama program-program Ramadan, sementara orang tua memberikan dukungan dan pengawasan di rumah.
Di sisi lain, organisasi-organisasi remaja dan siswa dapat menjadi motor penggerak kegiatan sosial yang memperkaya pengalaman siswa selama Ramadan.
Dengan kolaborasi yang baik, Ramadan dapat menjadi momen pembelajaran yang holistik, di mana aspek akademik, spiritual, dan sosial saling terintegrasi. Siswa tidak hanya mendapatkan pendidikan formal, tetapi juga pembentukan karakter yang kuat dan pengalaman bermakna yang akan menjadi bekal di masa depan.
Oleh karena itu, kebijakan mengenai libur sekolah selama Ramadan perlu dirancang secara matang, dengan melibatkan semua pihak terkait untuk menemukan solusi yang terbaik.
Kesimpulan
Wacana libur sekolah selama Ramadan memang bertujuan baik, tetapi perlu diimbangi dengan pendekatan yang lebih konstruktif. Pengaturan kegiatan dan pembelajaran selama Ramadan menjadi langkah yang lebih ideal untuk menjaga keseimbangan antara pendidikan formal dan penguatan nilai-nilai spiritual.
Dengan peran aktif dari sekolah, orang tua, dan komunitas, Ramadan dapat menjadi momen yang tidak hanya meningkatkan kualitas ibadah, tetapi juga membangun generasi yang berkarakter dan berintegritas.
Momentum ini seharusnya dimanfaatkan secara maksimal untuk menciptakan pengalaman yang tidak hanya bermakna secara spiritual, tetapi juga berdampak positif bagi kehidupan siswa secara keseluruhan. Wallahu A’lam.(*)