Kisah Keteguhan Penjual Jeruk Peras di Medan: Cinta, Usaha, dan Harapan di Pinggir Jalan

Berita Terkait

Oleh Citra Puja Kharisma

Di pinggir jalan raya Abdullah Lubis yang senantiasa ramai,  persisnya di depan Masjid Al-Jihad dan dibawah bayang pohon rindang, sepasang suami istri menjalankan gerobak kecil berisi jeruk-jeruk segar. Mereka bukan sekadar pedagang kaki lima. Mereka adalah simbol ketabahan, cinta, dan ketekunan hidup yang berbuah manis di tengah keterbatasan.

Pasangan Pak Suharman dan Bu Fitri adalah dua sosok yang telah bertahun-tahun mengandalkan es jeruk peras sebagai sumber penghidupan di Kota Medan. Mereka terbilang tidak terlalu tua dimana. Pak Suharman yang berusia 45 tahun dan istrinya berusia 40 tahun, telah memiliki satu anak laki-laki yang sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar negeri kelas 3 Tanjung Selamat.

Gerobak kecil yang mereka dorong setiap pagi, terhampar jeruk kuning segar yang siap menyambut siapa saja yang ingin melepaskan dahaga. Setiap subuh, saat udara masih sejuk dan kota perlahan menggeliat, pasutri itu sudah sibuk mempersiapkan dagangan mereka. Mulai dari memilih jeruk terbaik, memastikan es tersedia dalam jumlah yang cukup, hingga menata setiap gelas agar siap digunakan. Persiapan ini adalah fondasi dari sebuah komitmen yang tak pernah luntur meski tantangan datang silih berganti.

“Dari subuh kami sudah bersiap. Belanja jeruk, es, dan beres-beres gerobak. Biasanya kami mulai jualan jam sembilan pagi sampai sore,” ujar Bu Fitri sambil mengupas jeruk dengan lincah. Tangannya cekatan, seolah telah menyatu dengan pekerjaan yang sudah dilakoninya selama kurang lebih 3 tahun.

Bagi mereka, berdagang bukan hanya soal menjual barang. Ini adalah seni menjaga kualitas, kepercayaan pelanggan, dan kebersamaan dalam mengelola hidup. Meski panas menyengat atau hujan tiba-tiba mengguyur, pasangan ini tetap setia berjualan demi sesuap nasi yang halal.

Setiap hari, gerobak es jeruk mereka menjadi daya tarik bagi para pengendara yang melintas. Jeruk peras mengundang pembeli untuk sejenak berhenti dan menikmati. Tidak jarang, para pelanggan juga menyempatkan diri untuk bertukar cerita singkat atau sekadar menanyakan kabar, menciptakan suasana hangat yang bukan hanya sekadar transaksi jual beli.

Pak Suharman, yang lebih banyak bertugas menyiapkan es dan melayani pelanggan, bercerita tentang tantangan yang mereka hadapi.

“Kadang sepi pembeli. Kadang harga jeruk naik. Tapi kami tetap jalan. Namanya juga usaha, ada pasang surutnya,” ujarnya dengan suara tenang namun penuh tekad.

Menariknya, bukan hanya tentang jeruk peras yang segar, tetapi kisah cinta yang tumbuh dan bertahan di tengah kerasnya kehidupan, saling melengkapi, dan saling mendukung, menjadikan gerobak itu sebagai simbol perjuangan. Kisah di balik pemilihan es jeruk pun juga punya cerita tersendiri.

“Dulu kami pernah coba jual makanan lain, tapi tidak laku. Akhirnya balik ke es jeruk karena orang suka yang segar,” kata Bu Fitri. Keputusan untuk fokus pada es jeruk adalah hasil dari pengalaman dan pemahaman mendalam mereka terhadap selera pasar setempat. Mereka menyadari bahwa minuman segar seperti es jeruk selalu menjadi pilihan favorit banyak orang.

Dalam sehari, mereka bisa menjual hingga 50 sampai 100 cangkir, tergantung cuaca panas. Namun, disaat cuaca dingin, es jeruk yang mereka jual hanya laku 10 sampai 20 cangkir saja. Mereka menjual es jeruk tersebut dengan harga Rp5.000 untuk setiap cangkirnya.

Pendapatan penjualan mereka memang tak besar, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Mereka bisa mendapatkan omset sebesar Rp100 ribu hingga Rp500 ribu perhari. Lalu mereka menyiasati pendapatan tersebut dengan bijak agar masih tetap menghasilkan keuntungan bersih setelah dipotong harga pokok penjualan dan biaya operasional. Pasangan ini juga selalu menyisihkan uang untuk kebutuhan mendesak atau biaya sekolah anak.

Meskipun persaingan di dunia kuliner semakin ketat dengan munculnya kafe dan beragam minuman kemasan, gerobak es jeruk Pak Suharman dadaBuk Fitri tetap memiliki tempat istimewa di hati pelanggan. Kesederhanaan, rasa, dan keramahan mereka adalah kunci utama. Pelanggan tidak hanya membeli minuman, tetapi juga merasakan resep tradisional dibanding sekedar mengikuti tren sesaat.

Rasanya yang segar terasa istimewa karena dicampur dengan kisah mereka yang menjadi pengingat bahwa keberhasilan tak selalu datang dalam bentuk yang besar. Kadang, ia tersembunyi di balik gerobak kecil, dalam senyum pelanggan yang puas, atau dalam semangat dua insan yang tak pernah lelah berjuang bersama. Di setiap gelas minuman yang mereka sajikan, terselip harapan dan doa, bahwa hidup yang keras pun bisa terasa manis, asal dijalani bersama dan dengan hati yang tutulus.

* Penulis adalah mahasiswa FIS UIN Sumut

 

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

Ibu Natalia: Perjuangan di Trotoar Lapangan Merdeka

Oleh : Adjie Iqthiar Kusniadi* Di tengah hiruk-pikuk jantung kota Medan, tepatnya di sekitar Lapangan Merdeka, berdiri sebuah lapak sederhana...