mimbarumum.co.id – Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara menyampaikan penetapan upah minimum provinsi (UMP) idealnya sesuai kebutuhan hidup layak (KHL) para pekerja.
“Seyogyanya upah yang diterima itu setidaknya 70 persen bisa dibawa pulang (take home pay). Itu sebenarnya harus dipenuhi. Kalau tidak pasti akan jadi masalah. KHL ini harus dilihat standarisasinya dan siapa yang harus bertanggungjawab tentang itu,” katanya.
Firsal Dida Mutyara, ketua Kadin Sumut, ditanya wartawan di Medan, kemarin, terkait penyusunan UMP ini yang akan ditetapkan Januari 2025 nanti. “Kita lihat ya pengeluaran terbesar pekerja itu adalah transport, pendidikan dan kesehatan,” katanya.
“Pasti upah yang mereka dapatkan, terutama digunakan untuk komponen tersebut. Termasuk tentu saja dari situ mereka menyusun masa depan anaknya, menyekolahkan sampai setinggi-tingginya,” kata dia.
Problemnya, sekarang, kata Firsal, dari kalkulasi upah yang mereka terima maka 70 persen dihabiskan untuk ketiga kebutuhan tersebut.
“Dengan UMP yang sekarang mereka terima Rp2,8 juta tentu ini tidak cukup atau belum layak. Nah ini yang harus dibuat ramuan atau formulasinya sehingga take home pay (uang yang dibawa pulang) setiap bulan itu tetap utuh,” kata Firsal.
Dia mengatakan, harusnya untuk kesehatan, transport dan pendidikan anak pekerja ada jaminannya. “Paling tidak take home pay mereka 80 persen dari yang Rp2,8 juta itu tetap bisa dibawa pulang,” jelasnya.
Dia mengatakan untuk ongkos transport atau beban transportasi para buruh sebenarnya bisa meniru kota-kota besar yang sudah mengaplikasikan subsidi ongkos.
“Di Jakarta, kita bisa lihat bagaimana kereta api, bus dan angkutan kota terintegrasi, atau interkoneksi dengan ongkos bersubsidi. Bahkan untuk kesehatan pun harusnya gratis, begitupula biaya pendidikan,” tuturnya.
Kebutuhan Utama Disubsidi
Dia mengatakan di China upah buruh tidaklah tinggi tapi tiga kebutuhan utama itu diberi subsidi, keringanan bahkan fasilitas gratis sehingga uang yang mereka bawa pulang setiap bulannya selalu utuh. Dengan interkoneksi antar angkutan akan mengurangi pengeluaran pekerja, kesehtan gratis begitu juga pendidikan, jelas Firsal.
“Kalau di sini coba perhatikan pekerja kita, untuk mengganti biaya transportasi itu memberanikan diri membeli sepedamotor secara kredit maka upahnya sudah otomatis terpotong untuk melunasi cicilan. Kemudian mereka harus sewa rumah lagi. Jadi kelihatan kemana habisnya upah yang diterima para pekerja,” katanya.
Menurut Firsal, untuk buruh pun perlu difikirkan huniannya. “Harus ada kawasan perumahan buruh yang terdekat dari lokasi industri. Sehingga mereka nanti bisa bekerja tiga shift. Pulang pun tidak was-was. Coba kalau misalnya pekerja dari Binjai pulang jam 12 malam, takutnya dibegal. Belum lagi makan waktu lama,” kata Firsal.
Penentuan UMP harus Cerminkan Hitungan Daerah
Sementara Ahmad Muhajirin Tarigan, Komite Tetap Komunikasi Daerah Kadin Sumut, menambahkan bahwa penentuan UMP ini harus benar-benar mencerminkan hitungan di daerah provinsi masing-masing.
“Karena selama ini sering kita sepakati di sini, kemudian di bawa ke pusat terus berubah. Setelahnya dikirim ke daerah untuk ditetapkan. Diubah di sana lalu dibalikkan lagi ke kita. Harusnya sesuai kesepakatan saja,” jelasnya.
Ahmad Muhajirin Tarigan, mengungkapkan tiap daerah memang berbeda UMP nya. “Sekarang ini, untuk Sumut, kita sedang membahas UMP bersama perwakilan buruh, Dinas Tenaga Kerja dan pengusaha. Kadin di dalamnya. Tripartit la seperti biasa. Belum ditentukan besarannya karena masih dalam rancangan,” kata Ahmad Muhajirin Tarigan.
Menurut dia, soal pembayaran upah ini nantinya harus benar-benar angka yang fix dan disetujui oeh semua pihak. “Jangan sampai kemudian ada pula perusahaan yang tidak sanggup membayar. Karena beban mereka pun pasti akan sangat tinggi,” katanya.
Hal itu akan terkait dengan misalnya beban pajak yang harus dibayar, biaya tanggungan BPJS pekerja, kemudian UMP naik, kata dia. “Melihat komposisi itu beban pengusaha menjadi sangat berat. Karena memang selama ini ada juga pengusaha terutama yang skala kecil menengah kesulitan membayar UMP karyawannya,” kata Ahmad Muhajirin Tarigan.
“Kita ketahui kalau UMP Sumut itu tahun lalu Rp2,8 juta lalu UMK di Medan mencapai Rp3,8 juta. Melihat kondisi perekonomian yang belum baik-baik saja tentu setidaknya tetap akan ada pengusaha kesulitan memenuhinya. Mampu bertahan saja mereka sudah alhamdulillah,” tuturnya.
Paling tidak, kata dia, memang perlu keseimbangan sehingga penetapan UMP tahun depan mengadopsi keinginan pekerja tapi juga ramah untuk pengusaha. Sehingga berada di titik yang sama-sama menerima karena tetap saja upah ini terkait kuat dengan produktivitas para pekerja, jelasnya.
Sumber : Rel/Ngatirin