mimbarumum.co.id – Ini cerita tentang diriku. Bermula saat menghadiri acara bertema kesehatan yang digagas sebuah produsen minuman. Perusahaan itu mengundang aku dan teman lain se-profesi, dengan maksud menggunakan “pena” kami untuk mengedukasi masyarakat bahwa mengonsumsi susu itu tetap penting bagi siapa saja, meskipun sudah berusia dewasa.
Sampai di lokasi acara, Aku segera duduk pada kursi yang sudah dipersiapkan untuk kami para jurnalis di Medan. Sembari bersantap, mataku mengarah ke alat olahraga sepeda statis yang ada di ruangan tersebut. Ingin rasanya aku mengayuh.
Pihak panitia, sepertinya sengaja “menantang” kami menunjukkan seberapa kuat kaki mengayuh. Beberapa rekan sudah terlebih dahulu menjajal. Aku pun tertantang.
Lalu aku menuju sebuah meja tak jauh dari keberadaan sepeda statis. Disitu ada tim medis yang siap mengecek kondisi kesehatan kami. Pihak panitia mewajibkan kami mengikuti tahapan ini.
Begitu dipersilakan duduk, aku menyodorkan lenganku untuk dipasang alat pengukur tekanan darah. Alat itu serasa menekan lenganku hingga begitu sangat terasa, saat petugas medis itu memompa bagian ujung alat itu dengan perlahan.
Sejujurnya, sebelum ia menghentikan pompaannya, aku sudah merasa “deg degan”. Tapi bukan karena melihat wajah tim medis yang ternyata seorang wanita muda, melainkan cemas dengan hasil yang akan disampaikannya.
“Bapak ada riwayat hipertensi?,” tanya petugas medis itu. Pertanyaan itu membuatku tersentak. Belum aku menjawab, ia bertanya lagi, “Kapan terakhir mengecek tekanan darah Bapak?,”. Aku menjawab sekenanya saja, “Sudah lama kali, lah”.
Aku termasuk orang yang enggan melakukan pengecekan kesehatan. Aku berpatokan, jikatidak merasakan keluhan apapun, berarti diriku sehat. Seandainya sedikit pusing, aku menganggap itu karena masuk angin atau kelelahan saja. Minum obat masuk angin langsung kelar, pikirku. Sikap seperti itu, mungkin juga banyak diadopsi orang lain.
“Berapa tensi saya?” tanyaku kepada petugas medis itu. “140 Pak,” jawabnya sembari menunjukkan indikator angka yang ada pada alat tersebut. Aku betul-betul shock mengetahui hasilnya. Aku memang tak menduga.
“Bapak berarti tidak boleh ikut olahraga itu ya,” sarannya. “Saya khawatir tidak kuat,” ucapnya lagi. Saran itu membuatku menjadi lemah. Awalnya aku berpikir “kecillah” kalau hanya gowes begituan.
Paska itu, aku merasa tidak enjoy. Pikiran terus saja ke angka tensimeter. Sekelebat, pikiran ku mengajak bertekad menormalkan tekanan darah. Mulai dari mengubah pola makan hingga mengomsumsi makanan atau minuman yang bisa meredakannya.
Lalu pikiranku mengembara ke seorang tetangga persis di depan rumahku yang kini hanya bisa duduk di sebuah kursi. Sekira tiga tahun lalu, pria yang usianya masih di bawah 50 tahun itu terkena serangan stroke. Ia tak bisa lagi bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Kini, istrinya menjadi tulang punggung. Beban sang istri, sangat berat. Tak hanya mencari nafkah, juga harus menyiapkan uang tambahan biaya pengobatan sang suami.
Pikiranku pun terus melayang. Memori di kepala ku mengingatkan aku pada beberapa orang lain yang pernah terlihat saat berjalan harus menyeret sebelah kakinya. Sementara sebelah tangannya hanya bisa terkulai lemah.
Lalu, pikiranku kembali ke angka 140 yang mengagetkan tadi. Jika ke depan tidak mengontrol tenanan darah, potensi stroke dapat saja mengancam.
Aku mulai berpikir tentang makanan dan minuman apa saja yang harus dihindari dan sebaliknya yang harus dikonsumsi agar membantu menurunkan tekanan darah. Aku juga berfikir untuk segera memakan obat.
Tapi, pikirku lagi. Aku juga harus setiap saat mengetahui kondisi tekanan darah, jangan sampai, upaya penurunannya melampaui batas ideal. Yang aku tahu, tekanan darah rendah juga tak kalah berbahayanya.
Ini berarti aku harus selalu cek tekanan darah. Tetapi, jika sebentar-sebentar ke klinik hanya untuk cek tekanan darah, sungguh ini kegiatan merepotkan. Belum lagi persaankui ku menyaksikan banyak pasien di sana. Bisa juga, dokter dan perawat bosan karena selalu melihat wajahku.
Kecamuk pikiranku itu terjawab dengan adanya kampanye yang dilakukan OMRON Healthcare Indonesia bersama Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Mereka mengajak masyarakat agar melakukan pemeriksaan tekanan darah secara berkala di rumah.
OMRON, menyediakan peralatan tensi meter digital yang andal dan mudah digunakan untuk membantu memantau tekanan darah setiap saat.
Alat yang canggih itu memungkinkan pengguna tidak perlu lagi ke klinik atau rumah sakit hanya untuk mengetahui tekanan darah.
Yoshiaki Nishiyabu selaku Managing Director, PT. OMRON Healthcare Indonesia mengatakan, informasi data tekanan darah sangat berperan penting bagi dokter untuk memberikankan pengobatan yang efektif.
Sementara itu, Dr. dr. Yuda Turana, Sp.S, Anggota Dewan Pembina InaSH menyampaikan hasil riset, 63 persen pasien hipertensi mengonsumsi obat antihipertensi tanpa pemantauan. Riset juga menunjukkan, sebagian besar pasien tidak melakukan cek tekanan darah secara teratur dan mandiri di rumahnya.
“Hipertensi merupakan penyebab kematian (mortality) dan kesakitan (morbidity) terbanyak di seluruh dunia baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju,” kata dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH, Ketua Umum InaSH.
Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar dari Kementerian Kesehatan RI (2018), prevalensi hipertensi sebesar 34,1 persen dari populasi usia dewasa dan menjadi penyebab utama gagal ginjal yang harus menjalani cuci darah.
Karena itu, katanya Gerakan Peduli Hipertensi (GPH) sebagai bagian dari Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS) harus terus dikampanyekan sebagai upaya pencegahan hipertensi dan dampaknya.
Dokter itu menerangkan, saat ini ada paradigma baru dalam tata kelola hipertensi, meliputi diagnosis, klasifikasi, pilihan obat dan target tekanan darah yang harus dicapai.
InaSH merangkumnya dalam Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019, yang diluncurkan pada Februari yang lalu.
Diagnosis hipertensi tidak lagi hanya didasarkan pengukuran tekanan darah di rumah sakit atau klinik praktik dokter, yang disebut dengan “Office Blood Pressure”, tapi dianjurkan melakukan pengukuran di rumah atau disebut “Out of Office Blood Pressure”. Cek Tekanan Darah di Rumah (CERAMAH) termasuk dalam kategori ini.
“Kepatuhan makan obat dan perhatian atas kesehatan diri sendiri diharapkan meningkat dengan cara ini. Sehingga pencapaian target tekanan darah lebih mudah tercapai,” harap dr. Tunggul.
Dengan begitu, katanya dampak dari hipertensi berupa kerusakan organ vital seperti jantung, syaraf, ginjal, dan pembuluh darah dapat dihindari. (Ngatirin)