Kejujuran: Nilai Langka di Tengah Bising Dunia

Berita Terkait

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta_

Dalam kehidupan sosial kita hari ini—di kantor, institusi, ruang publik, hingga media sosial—kebenaran tak selalu hadir sebagai pemenang. Ia sering disingkirkan oleh bahasa yang licin, oleh kebijakan yang menghindari tanggung jawab, atau oleh orang-orang yang memilih diam. Tapi diam terhadap ketidakadilan bukanlah sikap netral. Ia adalah bentuk kolusi pasif.

Kejujuran kerap dibayar mahal. Ia bisa merenggut pekerjaan, memutus relasi, bahkan mengancam keselamatan. Tak heran jika banyak orang memilih menghindar. Tapi bila semua orang baik memilih bungkam, siapa yang akan berbicara?

Filsuf Irlandia abad ke-18, Edmund Burke, menggambarkan situasi ini secara tajam: _“The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.”_ Artinya, kejahatan bukan menang karena kuat, tapi karena orang-orang jujur memilih tak bertindak.

Dalam berbagai ruang kerja, kita menyaksikan bagaimana eufemisme menjadi cara korporat dan birokrasi meredam kebenaran. Pemutusan kerja disebut “penyesuaian organisasi”. Kegagalan disebut “tantangan komunikasi”. Semuanya terdengar rapi dan netral. Padahal, di balik itu, mungkin tersembunyi pelanggaran hak, ketidakadilan struktural, atau bahkan intimidasi. Bahasa menjadi alat kekuasaan untuk membungkam kritik dan mencuci tangan dari tanggung jawab moral.

Masalah ini tak berdiri sendiri. Ia tumbuh dalam ekosistem sosial yang permisif terhadap penyimpangan, sekaligus sinis terhadap integritas. Dalam masyarakat seperti ini, yang jujur bisa dianggap mengganggu. Yang mengingatkan bisa dicap sebagai pembuat keributan. Di tengah budaya seperti itu, kejujuran menjadi barang mahal—bukan karena tak bisa ditemukan, tapi karena tak dikehendaki.

Tiga hal patut dicatat. Pertama, relasi kuasa cenderung tidak berpihak pada kebenaran. Sistem bisa menghukum mereka yang jujur, sementara melindungi pelaku manipulasi. Kedua, kita hidup dalam era relativisme, di mana kebenaran bisa dinegosiasi. Hoaks disamakan dengan opini. Fakta diposisikan setara dengan tafsir. Ketiga, masyarakat lebih suka kenyamanan sosial ketimbang menghadapi realitas yang tidak enak.

Namun, bila kejujuran tak diperjuangkan, apa yang tersisa dari kepercayaan publik? Kepercayaan adalah fondasi masyarakat modern: dari ekonomi, birokrasi, hingga demokrasi. Bila kepercayaan ambruk, institusi kehilangan makna, hukum kehilangan wibawa, dan kata-kata kehilangan bobot.

Lantas, berapa harga kejujuran? Tidak ada angka pasti. Tapi sejarah menunjukkan bahwa mereka yang memilih jujur—meski dihukum pada masanya—sering dikenang dengan hormat oleh generasi berikutnya. Karena keberanian berkata benar adalah warisan moral yang tak lekang oleh waktu.

Kejujuran mungkin menyakitkan. Tapi tanpanya, kita semua akan hidup dalam kebohongan yang saling mengunci.

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

Rupiah Tak Laku: Cermin Retak Ekonomi Kita 

Oleh Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Universitas Bung Hatta_ Rupiah, simbol kedaulatan moneter Indonesia, nyatanya tak berdaya di luar batas negara....