mimbarumum.co.id – Seorang pengamat komunikasi politik mencermati tentang masih maraknya kasus korupsi di negeri, meski lembaga anti rasuah juga gencar melakukan penangkapan terhadap para pelakunya.
“Regulasi apapun dibuat pemerintah, bahkan KPK mengimbau melarang caleg koruptor untuk tidak dipilih, saya kira tidak berpengaruh. Karena mental sebagian rakyat dengan sebagian pejabat hampir sama,” kata Dr. Anang Anas Azhar, Senin (25/2/19) di Medan.
Dia menyebut, sebagian mental rakyat dan pejabat itu sama-sama menyukai perilaku korupsi.
Dosen pascasarjana UINSU ini menyebutkan, maraknya perilaku korupsi ketika sudah menjabat karena budaya politik Indonesia dibangun atas dasar politik yang high cost.
Politik berbiaya tinggi ini akhirnya diikuti para elit politik. Tetapi, ketika sudah berkuasa politisi pun berpikir bagaimana cara mengembalikan cost dalam bentuk uang yang sudah dikeluarkan.
“Kita tidak perlu menyalahkan politisi yang koruptor saja, tetapi karena ada gayung bersambut, akhirnya elit politik pun melakukan korupsi,” katanya.
Dia menyebutkan, munculnya politik berbiaya tinggi di Indonesia ternyata banyak sebab. Pertama, kata dia, sistem pengelolaan partai politik kurang rapi.
Kader parpol yang duduk di elit politik terkesan hanya ban serap semata. Setelah menduduki jabatan yang diinginkan, elit politik itu “dipaksa” menyetor ke parpol untuk membiayai roda organisasi parpol.
“Dalam kondisi inilah, elit politik mau tidak mau harus tunduk kepada partainya masing-masing. Bahkan sebagian elit harus mendekam dalam penjara karena perilaku korupsi,” katanya.

Anang menjelaskan, munculnya himbauan KPK agar rakyat tidak memilih caleg koruptor merupakan hal yang wajar. Satu sisi KPK tidak ingin agar elit politik menambah deretan panjang di sel KPK. Tapi di sisi lain, bagaimana uang negara yang ada di APBN tidak dikorupsi begitu saja.
“Akumulasi dua hal inilah yang membuat elit politik kita menjadikan prilaku korupsi jadi primadona. Sebab, masalah ini tidak hanya terjadi pada partai-partai lama yang sudah mapan, akan tetapi juga terjadi pada partai baru. Dan rata-rata pelakunya adalah elit politiknya terlibat korupsi,” katanya.
Kedua, politik dengan risiko tinggi. Tidak sulit menebaknya. Risiko yang dimaksud terjadi manakala seorang politisi berurusan dengan hukum, seperti ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Secara statistik, sejak awal berdiri, KPK sudah menjerat 264 politisi penyelenggara negara jadi tersangka kasus korupsi. Seluruhnya berakhir jadi penghuni penjara karena terbukti dalam vonis hakim melakukan tindak korupsi. Rinciannya sebanyak 100 kepala daerah dan 164 anggota DPR/DPD/DPRD.
Anang mengatakan, dalam konteks kepemiluan saat ini, suasana politik Indonesia nyaris tidak pernah sepi. Perhelatan pemilu selalu diramaikan para penantang dengan modal berlipat.
Mereka seolah tak takut dan tak peduli dengan kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK. Di sisi lain, elit politik harus berjuang habis-habisan untuk mendapatkan anggaran dari negara untuk membesarkan partainya masing-masing.
Dia mencontohkan Setya Novanto, lalu Nazaruddin hingga bekas bupati Bangkalan, Fuad Amin. Mereka ini benar-benar diproses hukum oleh KPK, tetapi ada sisi lain yang menggiurkan politisi, mereka justru mendapatkan keuntungan.
“Harta Fuad Amin yang disita mencapai Rp 414 miliar. Belum lagi harta politisi kakap dengan gaya hidup glamour seperti Setya Novanto dan Nazarudin yang sering diekspose. Ini yang dimaksud politisi kelas kakap, tetapi justru tak semua rakyat membenci perilakunya. Toh sebagian koruptor kita masih ada yang ikut caleg. Jadi, efek jeranya tidak ada,” katanya. (mal)