Ibu Natalia: Perjuangan di Trotoar Lapangan Merdeka

Berita Terkait

Oleh : Adjie Iqthiar Kusniadi*

Di tengah hiruk-pikuk jantung kota Medan, tepatnya di sekitar Lapangan Merdeka, berdiri sebuah lapak sederhana yang menjajakan minuman botol. Tak ada papan nama besar atau spanduk mencolok. Hanya meja kecil, kotak pendingin, dan senyum hangat seorang perempuan paruh baya yang setia menyambut siapa pun yang mampir. Dialah Ibu Natalia, 51 tahun, seorang ibu yang kisah hidupnya jauh lebih besar dari sekadar lapak dagangannya.

Ibu Natalia bukan hanya seorang pedagang. Ia adalah ibu dari enam anak – lima kandung dan satu anak angkat – yang sudah ia rawat sejak kecil. Empat putra, satu putri, dan seorang anak lelaki angkat telah ia besarkan sendiri, sejak rumah tangganya kandas bertahun-tahun silam. Sejak saat itu, ia memilih menjadi pilar tunggal yang menyangga harapan keluarga kecilnya.

Beberapa dari anak-anaknya telah menikah dan menjalani hidup masing-masing. Namun dua orang lagi termasuk anak angkat yang sudah ia anggap darah daging sendiri masih berjuang di bangku kuliah di Universitas Negeri Medan (Unimed). Perjuangan itu tidak ringan. Biaya kuliah, transportasi, makan sehari-hari semuanya bersumber dari keringat seorang ibu yang berjualan minuman di trotoar. Salah satu anaknya bahkan bekerja sebagai chef atau cooked di salah satu restoran di Sun Plaza sambil tetap kuliah, sementara satu anak lainnya membantu Ibu Natalia menjaga lapak dagangan hampir setiap hari.

Ibu Natalia berjualan dari pukul 08.00 pagi hingga 18.00 sore, bahkan kadang lebih lama. Setiap harinya ia pergi-pulang dari rumahnya di daerah Suka Ramai ke Lapangan Merdeka naik becak, dengan ongkos sekitar 20 ribu rupiah pulang-pergi. Lapaknya berada tepat di depan Gedung Asuransi Ramayana, salah satu titik strategis yang ramai lalu lalang orang.

Omset harian Ibu Natalia cukup bervariasi. Saat ramai, seperti di hari cerah atau saat ada acara di Lapangan Merdeka, ia bisa meraup antara 500 hingga 600 ribu rupiah. Namun saat sepi – terutama jika turun hujan – pendapatannya bisa turun drastis menjadi 250 hingga 400 ribu rupiah per hari. Saat hujan deras tiba-tiba, ia sering buru-buru membereskan dagangan demi menyelamatkan barang dagangannya dari basah.

Dalam kegiatan sehari-harinya, beliau cukup sering berhadapan dengan Satpol PP. Sesekali ia diusir dari tempat ia biasa berdagang dan harus pindah ke lapak lain yang kosong atau bahkan pulang ke rumah. Meski kehidupan sering kali keras, senyum Ibu Natalia tak pernah pudar. Di balik wajahnya yang mulai dipenuhi garis usia, tersimpan kekuatan dan keteguhan hati yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Ia tak pernah meminta belas kasihan, apalagi mengeluh tentang nasib. Baginya, cukup anak-anaknya bisa terus sekolah, bisa makan, dan bisa menjadi orang yang lebih baik dari dirinya.

“Ya ginilah, kalau nggak begini, nggak bisa aku nyekolahkan anakku. Apapun kulakukan untuk anakku,” ucap Ibu Natalia sambil merapikan dagangannya di sekitar Lapangan Merdeka Medan. Sejak bercerai, ia berjuang sendiri membesarkan lima anak kandung dan satu anak angkat. Meski lelah, ia tetap semangat berdagang demi pendidikan anak-anaknya. Baginya, tak ada yang lebih penting dari masa depan mereka, walau harus mengorbankan kenyamanan dan waktu istirahat.

Tak sedikit pelanggan yang datang, membeli sebotol minuman lalu melanjutkan langkah tanpa tahu bahwa mereka baru saja bersentuhan dengan kisah luar biasa. Sebuah kisah tentang kasih seorang ibu, tentang pengorbanan yang nyaris tak terlihat, tapi sangat dalam.

Di antara gedung-gedung tinggi dan lampu kota yang menyala hingga malam, lapak kecil Ibu Natalia berdiri sebagai simbol cinta, kerja keras, dan harapan. Ia mungkin bukan siapa-siapa bagi dunia, tapi bagi enam anaknya, ia adalah dunia itu sendiri.

* Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

 

 

 

 

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

Menyemai Ilmu di Balik Dinding Lusuh: Asa Anak Desa Ujung Teran Mengejar Pendidikan

Oleh Harji Sehatdo Nauli* Pagi baru saja merekah di lereng perbukitan Kabupaten Karo. Embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika...