“Ibrahim Sayang, Pergilah, Nak. Terimalah Kesembuhanmu dengan Masuk ke Taman-Taman Surga-Nya. “

Berita Terkait

Medan, Mimbar – Selasa (7/8/2018) pagi itu sekira pukul 06.10 WIB, air mata Ilham Fauzi dan Siti Auditia menetes tak terbendung. Bibir mereka terus bergerak melafazkan doa-doa untuk “malaikat” kecilnya Ibrahim Kholil yang mangkat barusan. Anak pertama mereka telah memenuhi panggilan Sang Penciptanya. Innalillahi wa innailaihi roji’un.

Ibrahim, bayi lelaki berusia 10 bulan itu adalah penderita penyakit langka Atresia Bilier. Ia sudah sempat mendapatkan perawatan medik di sejumlah rumah sakit . Namun karena opsi transpalansi (pencangkokan) hati merupakan satu-satunya tindakan medis yang harus dilakukan, kedua orang tua Ibrahim lebih memilih pengobatan alternatif.

Bayi yang lahir normal dengan berat 3,5 kilogram itu sempat mengalami perkembangan kesehatan yang semakin baik ketika ditangani seorang terapis dari Kota Bogor. Ini membuat Ilham dan Siti Auditia serta nenek Ibrahim merasa gembira. Mereka yakin akan kesembuhan Ibrahim. Namun, ternyata di tengah asa itu ajal telah menjemput Ibrahim.

Ilham, ayah Ibrahim pada tanggal 12 Agustus lalu secara khusus mengirimkan surat elektronik kepada Mimbarumum.com menceritakan perjuangan Ibrahim mencapat kesembuhan. Berikut tulisannya :

“Di hari fajar pertama Muharram 1439 H terbit Malaikat kecil kami lahir ke muka bumi ini, mengisi ruang harapan dalam kehidupan kami. Ibrahim Kholil, nama yang kuberikan kepadanya. “Kelak engkau akan menjadiUlama dan Pemimpin Ummat yang dicintai, Nak.”

Teriring doa saat kusematkan nama itu padanya. “Ya Allah, aku memohon perlindunganMu untuknya dan keturunan-keturunannya dari kejahatan syaitan yang terkutuk.”

Lahir dengan normal, Ibrahim adalah bayi yang kuat. Ia suka menendang-nendangkan kakinya dan jika ia menangis tangisannya sangat kuat. Kami senang melihat pertumbuhan Ibrahim di minggu-minggu pertama setelah kelahirannya. Ucapan selamat pun banyak kami terima atas kelahiran Ibrahim, doa dan harapan mereka untuknya bisa kami rasakan. Kami tau orang-orang sangat menyayangi Ibrahim dan menginginkan dia tumbuh besar menjadi seperti apa yang kami harapkan selama ia masih dalam kandungan. Ulama dan Pemimpin Ummat yang dicintai.

Setiap hari kami selalu memperdengarkan Juz Amma kepada Ibrahim secara berulang-ulang, dengan lantunan bacaan metode UMMI yang tartil. Kami ingin saat ia belajar berbicara nanti maka kalimat-kalimat yang keluar dari lisannya adalah ayat-ayat al-Qur`an.

Ibrahim memiliki pendengaran yang sangat baik. Ia terlihat suka memperhatikan sumber-sumber suara yang didengarnya. Seperti bacaan al-Qur`an, jika Abi dan Umminya sedang mengobrol, atau bahkan jika ia mendengarkan orang lain mengobrol di sampingnya pun ia akan memperhatikannya. Tatapannya sangat tajam saat memperhatikan sesuatu. “Ibrahim, Abi yakin dan percaya engkau adalah anak yang cerdas.”

Namun, ketika usia dua bulan Ibrahim terlihat kuning, berat badannya tidak naik sehingga membuat kami merasa khawatir dengan kondisinya. Syukurnya, setelah minum susu khusus yang dianjurkan dokter berat badannya mulai bertambah. Kami pun sedikit lega. Akan tetapi, waktu itu terasa begitu singkat.

Saat memasuki bulan keenam dari kelahirannya, batuk parah menghinggapi Ibrahim. Bukan hanya itu, badannya semakin kurus, kuning di tubuhnya muncul kembali, pembuluh darah di matanya pecah, matanya terlihat memar seperti orang yang baru dipukuli, perutnya membuncit dan BAB-nya bercampur darah sehingga membuat kondisi Ibrahim sangat lemah.

Sudah beberapa dokter spesialis anak kami datangi tapi tidak ada yang bisa memberikan diagnosa yang tepat untuk penyakit yang diderita Ibrahim. Pada akhirnya, kami menemui salah seorang dokter spesialis anak – Gastro-Hepatologi. Dan dia menyarankan untuk dilakukan tes darah pada Ibrahim. Dari hasil tes darah itu, ternyata Ibrahim mengalami atresia bilier.

Sontak hati kami sangat terpukul mendengar vonis itu. Karena penderita atresia bilier biasanya tidak bisa bertahan lama hidupnya jika tidak segera dilakukan transplantasi hati. “Ya Allaah, seberat itukah penderitaan yang harus dihadapi anak tercinta kami?” Kami hanya bisa berdoa, agar Allaah Ta’ala memberi jalan terbaik untuk Ibrahim.

Semenjak berita bahwa Ibrahim menderita atresia bilier tersebar, orang-orang silih berganti berdatangan mengunjungi Ibrahim. Banyak saran dan masukan yang kami dengar dari mereka, bahkan tidak sedikit juga bantuan materi yang kami dapatkan.

“Ustadzah, kami ingin Ibrahim diberikan penanganan yang terbaik,” ujar salah seorang pembesuk kepada Ummi Ibrahim. “Kami akan mengumpulkan dana agar Ibrahim dibawa berobat ke Malaysia agar di sana Ibrahim bisa ditangani oleh dokter-dokter yang ahli,” lanjutnya meyakinkan kami.

Mereka mengatakan bahwa mereka ingin sekali melihat Ibrahim tumbuh sehat sampai dewasa. Mereka ingin melihat Ibrahim tumbuh menjadi Ulama besar yang sering kami katakan. Itulah harapan dan kecintaan orang-orang terhadap Kholil (yang dikasihi).

Kami pun akhirnya berangkat membawa Ibrahim ke Kualalumpur dengan dana yang telah terkumpul. Tiga hari Ibrahim diperiksa di RS Universitas Malaya, vonisnya tetap sama, Ibrahim menderita atresia bilier. Dan pihak rumah sakit pun tidak dapat memberi solusi pengobatan lain selain operasi cangkok hati.

“Apakah setelah operasi Ibrahim bisa sembuh, Dok?” tanyaku dengan penuh harap. “Setelah operasi, cerita masih panjang sangat, tidak berhenti sampai di situ. Terkadang bisa terjadi komplikasi atau gagal hati sehingga menyebabkan harus operasi kembali,” jawab Dokter, seakan-akan ia ingin mengingatkan kami bahwa operasi bukanlah jaminan untuk kesembuhan Ibrahim. Kami hanya bisa tersenyum kecil mendengar penjelasan dokter itu. Betapa Allaah Ta’ala sedang menguji kami untuk meningkatkan derajat kami.

Sepulang dari Malaysia hari terus berlalu, kami tetap bersabar mencari pengobatan alternatif untuk Ibrahim.

Sedangkan anak shalih ini, di tengah penderitaannya masih saja terus menghibur kami dengan senyuman dan tatapannya. Seakan-akan ia sedang mengajari kami bagaimana cara kita bersabar di tengah-tengah ujian yang sedang Allaah Ta’ala berikan.

Ibrahim anak yang pintar, ia selalu ingin berada di tengah-tengah pelukan kami berdua. Sembari mendengarkan lantunan ayat-ayat al-Qur`an kami pun merasa tenang bersamanya.

Memasuki awal bulan Juli, nafas Ibrahim sesak. Kondisi tubuhnya semakin lemah. Di tengah kesedihan itu kami mendapatkan berita bahwa di Bogor ada terapis yang menyanggupi mengobati Ibrahim. Di sana kami langsung melihat harapan akan kesembuhan Ibrahim. Kami pun tidak menunda-nunda lagi untuk memutuskan segera pindah ke Bogor sampai Ibrahim sembuh di sana.

Lagi dan lagi kami menyaksikan kasih sayang orang-orang yang begitu besar terhadap Ibrahim. Tersiar kabar kepindahan kami ke Bogor untuk mengobati Ibrahim, doa dan batuan terus mengalir kepada Ibrahim.

Subhānallāh, Nak. Lihatlah betapa besar harapan orang-orang ingin melihat kamu sembuh.”

Seminggu diterapi kondisi Ibrahim semakin membaik. Hanya saja sesak nafasnya masih belum hilang. Tapi, perutnya semakin mengempes, warna kuning kulitnya berkurang dan kelopak matanya semakin putih. Kami semakin optimis melihat kondisi Ibrahim. Apalagi selama di sana Ibrahim juga tidak pernah demam lagi.

Ibrahim sayang kami pun bisa tidur lelap di malam hari. Alangkah senangnya hati kami melihat perkembangan pada kondisi Ibrahim.

Dua minggu berlalu, sesak nafas Ibrahim belum juga sembuh. Namun, kami tetap optimis bahwa Ibrahim akan segera sembuh. Kami serahkan semuanya kepada Allaah Ta’ala. Akan tetapi, tepat di hari ke tujuh belas Ibrahim di Bogor sesak nafasnya tiba-tiba bertambah parah. Ibrahim terlihat sangat kesulitan bernafas, kami sangat kasihan melihat buah hati cinta kami seperti ini. Kami pun mencoba mendatangi rumah sakit untuk memberi bantuan pernafasan buat Ibrahim. Tapi pihak rumah sakit malah menganjurkan kami untuk memasukkan Ibrahim ke ruang PICU.

“Lāhaula walā quwwata illā billāh, kita bawa pulang saja. Lebih baik dia terus bersama kita. Berada di pangkuan kita mendengarkan ayat-ayat al-Qur`an. Dari pada dia berada di ruang PICU dan kita hanya bisa melihatnya dari luar ruangan,” perintah saya kepada Umminya.

Kami pun merawat Ibrahim di rumah, dengan memberikan bantuan oksigen ke hidungnya. Paling tidak itu sedikit membantu pernafasannya. Sampai tiba malam hari terakhir kami bersamanya, firasat kami sudah tidak enak melihat permata hati kami dengan kondisi selang oksigen di hidungnya.

Selama Ibrahim sakit, saya sebagai ayahnya tidak pernah mau menangis di hadapannya. Saya ingin menunjukkan kepadanya bahwa saya tegar, bahwa anak laki-laki harus kuat. Tapi, malam itu terasa sangat berbeda. Batin saya, Umminya dan Neneknya yang juga ikut setia mendampinginya berkata sama. Ini adalah malam terakhirnya, malam terakhir kami bisa bersamanya.

“Ya Allaah, kuatkanlah kami. Jadikanlah kami hamba-hambaMu yang bersabar atas segala keputusanMu.” Doa kami dalam tangis untuk menguatkan hati kami yang sedang dirundung pilu.

Malam itu benar-benar malam terberat. Saya peluk Ibrahim sambil terus berdoa agar Allaah Ta’ala segera mengakhiri penderitaannya. “Ya Allaah, mudahkanlah bagi Ibrahim apapun keputusanMu untuk mengakhiri penderitaannya.”

Doa yang terus kulantunkan di sepanjang malam itu. Sampai tanda-tanda kematian Ibrahim datang, kami bertiga hanya bisa berdoa dan berdoa, menangis, membacakan al-Qur`an, mencoba mengikhlaskan hati kami jika memang jalan mautlah yang Allaah Ta’ala pilih untuk mengakhiri penderitaan Ibrahim tercinta.

“Ibrahim sayang, pergilah, Nak. Terimalah kesembuhanmu dengan masuk ke taman-taman SurgaNya. Abi, Ummi, Nenek, Kholah, Abah, Oppung, Tulang, Uda, Bou, dan semua yang menyayangimu telah ikhlas melepas kepergianmu,” bisikku ke telinga mungilnya dengan air mata yang bercucuran menetes membasahi pipi dan kepala Ibrahim yang ada dalam pangkuanku.

Pukul 06.10 Wib, Selasa 7 Agustus 2018, Ibrahim Kholil, bayi tangguh yang berjuang dengan penyakit yang dideritanya selama 4 bulan lebih itu menemui Allaah Ta’ala yang telah menciptakannya. Ia kembali ke pangkuan penciptanya, Tuhan yang telah kami kenalkan kepadanya sejak ia masih dalam kandungan, melalui lantunan ayat-ayatNya.

“Selamat jalan, Sayang. 10 bulan waktu yang kau berikan untuk kami sungguh sangat berarti. Engkau ajarkan kepada Abi dan Ummi bagaimana menjadi orang tua. Engkau simpan banyak kenangan tentang perjuangan dalam hidup kami.

Kelak di Surga, carilah kami, Nak. Peluk kembali kami seperti pelukanmu saat di dunia. Kami akan selalu merindukanmu.” Masih terngiang jelas Ibrahim memberikan senyumannya kepada kami sesaat sebelum ia mengalami sakratul maut. Wajahnya yang suci akan terus mengisi ruang kenangan hati kami yang sangat mencintainya.

Medan, 12 Agustus 2018
22.27 WIB

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

CORONG: Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Konteks Indonesia dan Dunia Kontemporer

PRAMOEDYA Ananta Toer (Pram) adalah salah satu sastrawan terpenting Indonesia yang karyanya tidak hanya memiliki nilai sastra tinggi, tetapi...