Hijrah Bukan Sekadar Simbol : Menemukan Hakikat Perubahan di Zaman Sekarang

Berita Terkait

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik*

Hijrah dalam sejarah Islam bukan perjalanan biasa. Ia bukan sekadar migrasi fisik Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah, tetapi transformasi total dari masyarakat tertindas menjadi masyarakat merdeka. Dari tekanan menuju kebebasan. Dari keyakinan terpendam menjadi peradaban yang tumbuh.

Namun hari ini, makna hijrah tak jarang menyempit. Ia tereduksi menjadi gaya busana, jargon media sosial, atau simbol-simbol identitas baru. Ada semacam euforia “berhijrah” yang kadang terjebak pada kulit luar: mengenakan gamis, memanjangkan janggut, menghadiri kajian viral, lalu merasa lebih saleh dari yang lain. Apakah ini makna hijrah yang sejati?

Hijrah, dalam hakikatnya, adalah pergeseran nilai. Ia adalah proses sadar dan berani untuk meninggalkan kondisi yang stagnan, kelam, atau batil, menuju sesuatu yang lebih baik, lebih benar, dan lebih bermakna. Nabi sendiri bersabda dalam hadis yang populer: *”Al-muhajir man hajara maa naha Allah ‘anhu”* – orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa yang dilarang Allah. Sebuah definisi yang jauh melampaui urusan geografis atau estetika semata.

Di tengah dunia yang serba cepat, digital, dan gaduh seperti sekarang, hijrah menemukan konteksnya sendiri. Ia bisa berarti keluar dari lingkaran toksik media sosial, dari ketergantungan algoritma yang memperkeruh hati, menuju ruang digital yang lebih sehat, produktif, dan menentramkan. Hijrah bisa pula berarti berani meninggalkan pekerjaan yang menggerus integritas, demi pekerjaan yang lebih halal, meski tak selalu menjanjikan gemerlap materi.

Hijrah juga bisa mengambil bentuk yang lebih sosial. Seorang birokrat yang mulai meninggalkan praktik koruptif demi tata kelola yang bersih. Seorang dosen yang menolak praktik plagiarisme dan lebih memilih menulis jujur meski lambat naik pangkat. Seorang pemuda yang memilih untuk tidak mengejek minoritas demi viralitas konten.

Bahkan dalam konteks kebangsaan, semangat hijrah semestinya hidup dalam setiap upaya perbaikan. Ketika negeri ini masih sibuk memperdebatkan simbol dan kulit, sementara substansi seperti keadilan sosial dan pemerataan ekonomi justru terpinggirkan, kita butuh hijrah—dari perdebatan semu menuju kerja nyata.

Namun tentu saja, hijrah bukan jalan mulus. Nabi Muhammad butuh strategi, kesiapan mental, dan dukungan komunitas untuk bisa hijrah secara sukses. Di masa sekarang, orang yang ingin berhijrah secara hakiki juga harus siap dengan tantangan. Godaan untuk kembali ke zona nyaman, cibiran dari sekitar, bahkan rasa kehilangan dari apa yang ditinggalkan—semua itu adalah bagian dari jalan hijrah.

Yang paling penting, hijrah sejati tidak pernah selesai hanya pada awal. Ia adalah proses panjang yang menuntut konsistensi dan pembaruan niat. Karena itu, memperingati 1 Muharram bukanlah merayakan romantika masa lalu. Ia justru menjadi momentum untuk mengevaluasi: sudahkah kita meninggalkan keburukan-keburukan yang lama? Sudahkah kita lebih jujur, lebih adil, lebih peduli terhadap sesama?

Hijrah di zaman ini bukan lagi soal berpindah kota, tapi berpindah sikap. Dari abai menjadi peduli. Dari lalai menjadi sadar. Dari diam menjadi aktif. Dari pasif menjadi kreatif. Maka barangkali, kita harus berhenti merayakan tahun baru Hijriah hanya dengan doa dan dekorasi, dan mulai menjadikannya pemantik revolusi batin.

Kita tak perlu menunggu panggung besar untuk berhijrah. Bahkan niat meninggalkan kebiasaan buruk, memaafkan kesalahan lama, atau bangun lebih pagi untuk shalat subuh—itu pun bagian dari hijrah. Sebab hijrah sejati bukan tentang ke mana kita pindah, tapi tentang siapa yang kita jadi setelahnya.

Selamat tahun baru Hijriah. Selamat berhijrah, dalam arti yang paling jujur.

*Penulis adalah Dosen Universitas Bung Hatta

- Advertisement -

Tinggalkan Balasan

- Advertisement -

Berita Pilihan

Tubuh Perempuan dalam Cengkeraman Industri Kecantikan

Oleh Muhibbullah Azfa Manik Standar kecantikan bukan sekadar konstruksi budaya, tapi juga proyek kapitalis yang sangat menguntungkan. Di balik slogan...