Anda sering mengonsumsi antibiotic ketika sedang dalam keadaan sakit? Atau sering memberikannya kepada anggota keluarga? Hati-hati, penggunaan yang keliru ternyata berdampak buruk bagi kesehatan Anda dan keluarga. Bahkan kini menjadi ancaman nyata bagi kehidupan manusia.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melansir, mulai tahun 2050 mendatang setiap tahunnya akan ada sekitar 10 juta manusia menemui kematian disebabkan bakteri resisten antibiotik. Pada tahun 2014 lalu saja sudah tercatat 700 ribu orang meninggal karena hal ini.
“Angka itu melebihi kematian yang disebabkan penyakit kanker yang mencapai 8,2 juta jiwa pertahun,” kata Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), Kementerian Kesehatan RI, dr. Hari Paraton, Sp.OG (K) akhir pekan lalu di Medan.
Praktisi kesehatan itu menyebut beberapa contoh kasus yang menggambarkan betapa mengkhawatirkannya persoalan resisten antimikroba ini. Kasus membusuknya anggota tubuh sejumlah pasien bedah plastic di India dipicu karena bakteri yang kebal terhadap antibiotic.
“Di Indonesia juga ada. Sekarang ini kita (pemerintah-red.) sedang berusaha mengatasinya. Banyak bayi yang berada dalam ruang khusus perawatan bayi di salah satu rumah sakit mendadak mengalami kematian. Sudah berbagai antibiotik diberikan tetapi tidak mampu menyelamatkan. Bahkan antibiotik tertinggi pun tidak mampu,” ucap dokter itu.
Sejumlah kasus lain juga banyak terjadi di sejumlah rumah sakit, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Diantaranya adanya kasus operasi yang berujung kematian karena ternyata luka bekas operasi tidak bisa menutup bahkan menjadi terinfeksi dan membusuk.
“Ada fakta baru bahwa kini di rumah sakit-rumah sakit di tanah air banyak menangani pasien dengan penyakit infeksi. Mulai dari infeksi paru-paru, infeksi kandung kemih, infeksi darah dan infeksi luka operasi. Kebanyakan pasien tidak tertolong karena bakteri penyebab infeksi itu tidak mempan lagi dengan antibiotic,” ucapnya.
Ironisnya, kata Hari, sejak tahun 2005 tidak ditemukan lagi antibiotic yang mampu membunuh bakteri-bakteri yang sudah teresistensi itu. “Sejak tahun 2005, tidak ada lagi penemuan antibiotic. Jadi antibiotic yang ada sekarang ini adalah antibiotic jenis lama yang merupakan penemuan-penemuan sebelumnya,” ucapnya.
Melihat fakta itu, katanya ketika berbicara sebagai narasumber dalam acara Pfizer Press Circle dengan tema Kendalikan Penggunaan Antibiotik untuk Mencegah Munculnya Resistensi Bakteri yang diselenggarakan PT. Pfizer Indonesia di Grand Aston Hotel, Medan, masyarakat harus mengubah perilaku dalam penggunaan antibiotik.
“Antibiotik itu bukan segala-galanya. Jangan asal ada yang sakit langsung diberi antibiotic. Ini menjadi salah satu pemicu bakteri menjadi resisten terhadap antibiotic,” ucapnya sembari mengkritik masyarakat yang kerap membeli sendiri antibiotic di apotek-apotek tanpa ada resep atau petunjuk dokter.
Hari Paraton juga mengkritik para dokter yang secara sembarangan memberikan antibiotic kepada pasiennya, padahal penyebab infeksi yang diderita pasien itu belum dipastikan penyebabnya apakah karena infeksi virus atau infeksi bakteri.
“Kami di kementerian sedang menggodok peraturan agar dokter terikat untuk tidak sembarangan memberikan antibiotic kepada para pasiennya,” ucapnya. Dia juga meminta pasien berani menolak diberikan antibiotic jika memang si dokter belum bisa memastikan penyebab infeksi yang dideritanya.
Pemicu lain kasus resistensi antimikroba yang kini menjadi ancaman dunia adalah makanan yang kita makan. Sebanyak 60 persen ayam potong yang sering dikonsumsi masyarakat ternyata mengangdung antibiotic, sebanyak 40 persen telur juga mengadung antibiotiok dan 30 persen dari susu yang dikonsumsi masyarakat juga mengandung antibiotic.
Terkait fakta mencengangkan itu, Kementerian Kesehatan katanya telah melakukan kordinasi dengan kementerian terkait untuk mengatur regulasi tentang peternakan agar makanan yang dikonsumsi benar-benar layak dan tidak membahayakan.
“Di beberapa Negara sudah memberlakukan ketentuan bahwa ayam tidak boleh diternak dalam kondisi kandang tertutup tetapi harus dibiarkan terbuka. Bahkan sudah ada perusahaan makanan yang berkomitmen tidak menjual ayam yang pembesarannya dengan waktu singkat,” ucapnya. (02)