Gubernur Edy, Punya Kekuatankah?

Berita Terkait

- Advertisement -

Oleh : Masrin

Keruwetan dalam pengadaan minyak goreng (migor) di tanah air, sampai sekarang tak kunjung cair meskipun persoalan ini sudah mengemuka sejak bulan Oktober tahun lalu dan memuncak pada awal Januari tahun ini.

Ironisnya, kebijakan yang dibuat pemerintah saat itu dengan memberikan subsidi harga untuk penetrasi harga eceran, malah menambah persoalan. Bukan hanya harganya yang kian tak terkendali tetapi keberadaan migor menjadi nyaris hilang di pasaran.

Terakhir Menteri Perdagangan M. Luthfi mengaku menyerah. Di depan anggota DPR RI, ia mengatakan tak mampu “melawan” para mafia migor. Artinya, pemerintah tak kuasa melakukan sesuatu untuk “menguasai” tata niaga.

- Advertisement -

Bukti ketidakberdayaan itu memang tampak. Misalnya saat petugas telah menemukan timbunan migor di sebuah gudang, justru aparat penegak hukum tidak mampu menetapkan tersangka apalagi untuk memaksa menyita migor itu untuk dibagikan kepada rakyat. Pun begitu pemerintah juga tidak memberikan sanksi terhadap pihak yang diduga kuat melakukan penimbunan.

Sejurus kemudian, Presiden Jokowi usai mendapat “wangsit” saat berkemah di titik nol Ibu Kota Negara (IKN), malah mencabut kebijakan tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng yang sempat dipatok Rp14 ribu perliter. Artinya, pemerintah menyerahkan besaran harga jual migor ke pasar alias sesuai mekanisme pasar.

Langkah ini juga seakan mengonfirmasi bahwa pemerintah memang kalah melawan para mafia. Bukannya ketentuan tentang HET yang dimaksimalkan pemberlakukannya, tetapi malah kebijakan itu yang dicabut.

Pencabutan HET memang mampu menjadikan rak-rak pajang migor di sejumlah swalayan dan pasar modern lainnya yang sempat melompong, mulai terisi kembali dengan berbagai merek minyak goreng kemasan yang sempat menghilang entah kemana.

Di sini, Menperindag pun mengaku bingung, mengapa migor itu kini bermunculan kembali setelah menghilang sekian lama. Tapi ya entahlah, sekelas Menteri kok bisa sebingung ini.

Meski produk dalam kemasan mulai membanyak, tetapi harganya melangit mencapai hampir Rp25 ribu perliter. Sedangkan migor curah yang katanya tetap mendapatkan subsidi harga, ternyata keberadaannya di pasar-pasar tradisional tetap nyaris tak terlihat dan harganya pun masih bertengger di angka Rp17 ribu perliter.

Kepada Siapa Berharap

Jika Presiden yang sudah turun tangan langsung saja tak mampu memberi solusi cepat untuk menjawab jeritan rakyat, lalu kepada siapa lagi kita berharap. Entahlah.

Menunggu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) untuk menelusuri fenomena ini, agaknya pun tak lagi terlalu diharapkan.

Bayangkan saja, mereka yang sejak awal muncul riak minyak goreng ini telah melakukan penyelidikan bahkan mampu mengendus ada indikasi praktek kartel di sengkarutnya minyak goreng, ternyata sampai sekarang tak kunjung muncul memberi rekomendasi apalagi sanksi.

Berharap kepada mereka yang duduk di senayan juga agaknya seperti pungguk merindukan bulan. Lihat saja, adakah wakil kita yang “allout” untuk mencari solusi ini. Serupa juga dengan wakil kita yang ada di Gedung DPRD Sumut dan DPRD kabupaten kota.

Paling ada, perhatian itu datang dari elit politik yang mengaku ikut merasakan penderitaan rakyat. Tapi bukannya solusi yang ia beri, justru dia mempersoalkan rakyat, mengapa masih sangat membutuhkan minyak goreng untuk mengolah makanan. Ia menyarankan rakyat agar merebus dan merujak bahan makanan. Dengan begitu, katanya maka produsen migor akan merugi karena produknya tak laku. Waduh.

Atau kita yang ada di Sumatera Utara ini, apakah bisa berharap kepada Gubernur atau Bupati dan Wali Kota? Sementara Menteri dan Presiden saja tak kunjung kuasa menyelesaikannya.

Tapi memang menarik juga pernyataan Gubernur Sumatera Utara, H. Edy Rahmayadi saat menghadiri pengukuhan pengurus wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumut pada Sabtu (19/3/22) lalu yang mengatakan, “Sekarang tak ada cerita tak ada minyak (goreng) di Sumut.”

Sebenarnya yang disampaikan Gubernur itu adalah sesuatu yang sangat ideal mengingat ada sekira 3 juta hektare perkebunan kelapa sawit di provinsi ini yang sangat cukup untuk memenuhi bahan baku produksi minyak goreng sebanyak 280 ribu ton dalam setahun. Sementara kebutuhan warga Sumut hanya sekira 180 ribu ton setahun.

Ini semacam harapan baru, setidaknya untuk masyarakat Sumatera Utara. Jika berhasil, mungkin juga akan bisa ditiru pola-pola penyelesaian migor ini oleh daerah lain.

Namun sebaliknya, pernyataan ini bisa menambah rasa sakit warga, tatkala itu hanya sebatas pernyataan. Apalagi hanya sekadar untuk kepentingan pencitraan atau untuk menunjukkan bahwa seakan dirinya ikut berempati atas penderitaan rakyat.

Sesunguhnya, kita sangat ingin mendapatkan bukti dari Gubernur Edy bahwa minyak goreng itu benar-benar tidak langka keberadaannya di provinsi penghasil minyak goreng terbesar kedua di Indonesia ini.

Karena faktanya, sampai hari ini migor itu (khususnya yang kemasan standar dan curah) masih langka dan harganya jauh di atas HET yang telah ditetapkan pemerintah.

Kita juga ingin hasil nyata dari pernyataan Gubernur yang menyebutkan Pemprov Sumut telah berkoordinasi dengan setiap pihak terkait, termasuk juga dengan aparat penegak hukum agar ketersediaan minyak goreng di Sumut tidak kurang. “Ini sudah kita atur, ” katanya.

Mungkin kedepan, kita akan mendapati informasi bahwa aparat kepolisian telah menemukan penimbunan minyak goreng dan menetapkan status tersangka penimbunan. Lalu, para penimbun lainnya karena takut menjadi tersangka lantas ramai-ramai melepas stok ke pasar sehingga migor melimpah dengan harga murah.

Kita juga ingin mengetahui seberapa berani dan menggunakan strategi apa Gubernur “memaksa” para pengusaha kelapa sawit dan produsen migor di Sumut untuk menggelontorkan migor dalam jumlah cukup dan harga wajar untuk masyarakat Sumatera Utara.

Atau jangan-jangan pernyataan soal migor ini hanya sebatas wacana saja. Jika itu hanya sekadar pernyataan yang tidak berkonsekuensi untuk merealisasikannya, maka omak-omak di kampung pun tahu bahwa kalau di daerah ini banyak kebun sawit, maka seharusnya minyak goreng tidak mahal dan tidak langka.

 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Berita Pilihan

Pertukaran Mahasiswa Merdeka: Transformasi Pendidikan Melalui Integrasi Edukasi dan Eksplorasi Budaya   

Penulis : Grace Pandora Sitorus mimbarumum.co.id - Beragam upaya dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang lebih baik demi menciptakan generasi penerus...